Batang Gelingang Raya, Peserta Termuda dalam Didong Massal

Batang Gelingang Raya bersama penyair Fikar W Eda.(LG | ist.Edy Saputra)
Batang Gelingang Raya bersama penyair Fikar W Eda.(LG | ist.Edy Saputra)

BELUM lepas dari ingatan masyarakat Gayo akan euforia di Lapangan Sengeda Bener Meriah, dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun adik dari Kabupaten Aceh Tengah tersebut, yang mencatatkan sebuah sejarah baru dalam mempublikasikan Gayo keluar. Dengan mencatatkan Didong (sebuah kesenian khas gayo) dalam Meseum Rekor Indonesia (MURI), sebanyak 2013 orang mencatatkan nama nya dalam Didong massal, Minggu 13 Januari 2013 lalu.

Tak lepas pula dalam aksi tersebut, tampak seorang anak kecil yang menari mengikuti irama syair puisi yang dibacakan penyair nasional kelahiran Gayo, Fikar W Eda dan Salman Yoga. Anak itu meliuk-meliuk menirukan gerakan yang disebut “Guru Didong” mengikutigerakan yang dimainkan oleh Fikar W Eda.

Anak itu bernama Batang Gelingang Raya yang masih berumur 5 tahun dengan mencatatkan namanya sebagai peserta termuda dalam moment tersebut. Batang Geligang Raya merupakan warga Aceh Tengah yang kini masih menempuh pendidikan di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Takengon.

Yah, memang darah seniman sudah mengalir diri  anak itu, hal ini dapat dilihat dari gaya Batang begitu anak itu dipanggil yang mampu menirukan gerak “Guru Didong”, meski gerakan yang dimainkannya belum sesempurna seperti yang dimainkan orang dewasa pada umumnya.

“Saya kagum melihat anak itu, sebelumnya saat latihan anak itu tidak terlihat, akan tetapi pas penampilan anak itu yang akhirnya saya tahu namanya Batang Gelingang Raya, tampil menghebohkan, secara otomatis saya menjadi bersemangat dan menjadi motivasi bagi diri saya untuk tetap mempertahankan budaya ini”, ungkap seorang peserta.

Tak luput Batang, anak dari Aman Ine (sapaan akrab orang tuanya) menjadi sasaran foto bagi para pemburu moment yang ingin mengabadikan kegiatan tersebut di kamera mereka. Hal ini menunjukkan, pelestarian budaya Gayo dalam hal ini didong harus ditanamkan kepada anak usia dini, sebagai cikal bakal penerus budaya Gayo kedepan.

Semakin banyak anak negeri ini, merasa cinta akan kesenian dan budaya nya sendiri, maka secara otomatis kesenian dan budaya Gayo akan terus lestari, hal ini merupakan cara yang paling efektif dalam mempertahankan khazanah kesenian dan budaya Gayo.

Tinggal bagaimana, cara penguasa negeri ini untuk membina anak-anak tersebut untuk tetap mencintai budaya nya sendiri. Semoga sedikit saja kita semua berbuat untuk “tanoh tembuni”, akan bermanfaat.(Darmawan Masri)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.