Oleh : Novarizqa Saifoeddin*
Saat pulang ke Depok menemui keluarga dan orang tua beberapa waktu lalu, saya sengaja menyempatkan diri untuk berbincang bincang dengan bapak Saifoeddin Kadir (nama pena : Zuska) mengenai kesenian Gayo, salah satunya adalah tari Resam Berume. Meski telah berusia 86 tahun, ingatan beliau relatif baik apalagi bercerita seputar seni budaya Gayo.
Ketika itu tahun 1960,
Atas prakarsa Ketua Pekuper Aceh Tengah/Dandim 0106 Tango Mayor Z. Aksyah yang mengutus Zuska, AR. Moese dan Sadimah untuk segera berangkat ke Banda Aceh mendampingi KGAAT Banda Aceh mempersiapkan atraksi kesenian Aceh Tengah yang akan bergabung dengan sanggar Pocut Baren dalam rangka menghadiri Kongres Pemuda di Bandung. Sanggar Pocut Baren yang yang menangani tari-tarian Aceh lainnya sudah berlatih lebih dulu dan telah siap untuk berangkat, demikian juga dengan grup seudatinya, sementara Aceh Tengah belum punya persiapan meski waktu keberangkatan ke Bandung tinggal menghitung hari.
Adalah AR. Moese yang mencetuskan ide untuk membuat sebuah tari yang menggambarkan kehidupan orang Gayo yang gotong royong dalam pekerjaan berume (bersawah). Tanpa berpikir lama, dengan kerjasama yang baik dalam waktu yang relatif singkat tari ini pun berhasil dirampungkan dan diberi nama Tari Resam Berume.
Saat kontingen Aceh tampil, tari Resam berume pertama ditampilkan, diiringi gitar dan suara vokal AR. Moese delapan penari pria dan delapan penari puteri tampak dinamis, padu dan kompak. M. Kasim AS salah satu penonton yang terkesima sampai sampai menamakan tari ini dengan tari Holupis Kuntul Baris. Menyusul kemudian tari Top Pade dari sanggar Pocut Baren dan tari Tarik Pukat dari grup Seudati dibawah pimpinan Bapak Ampun Ma’e. Ketiga tari ini menjadi satu dengan nama Tari Punca Utama.
Pelaku tari Resam Berume saat itu adalah :
Pengiring Tari, Vokalis, Gitar: AR. Moese
Penari Putera : S. Kilang, Bona Kasim, Zuska, Asri, Zulthain, Banta Tjoet, Yus, dan seorang lagi bapak tak ingat lagi namanya.
Penari Puteri : Sadimah, Jemilah, Siti Hajar, Chadijah, Zaleha, Fatimah, Rohana, Diniar Upik.
Beberapa saat setelah Kongres Pemuda, Urril Ajdam I Iskandar Muda dalam lawatannya ke Jawa dan Bali juga membawakan Tari Punca Utama. Sebelum berangkat ke Bali, Z. Aksyah memerintahkan Zuska agar penari puteri memakai baju seragam yang oleh Zuska kemudian dijahitkan pada Abdullah Aman Saleh Hakim. Di kesempatan inilah pertama kalinya penari putri Gayo punya seragam baju kerawang, sebelumnya tidak ada keseragaman antara penari satu dengan lainnya sehingga pernah dapat julukan penari puteri Gayo berseragam Ija Bruk, baik di PKA I 1958 maupun di Kongres Pemuda 1960.
(Bersambung)