dari Linge, Sejarah itu Dicatat

Catatan Akhir Pekan a.ZaiZa

TANPA terasa, akhir pekan ini merupakan pekan terakhir dari bulan Januari. Banyak peristiwa yang tersajikan di media online yang saudara-saudara baca saat ini. Mulai dari yang duka sampai yang suka.

Catatan duka bisa kita rasakan betapa pilunya dan sedihnya masyarakat di Kampung Buntul Kemumu Kecamatan Permata Kabupaten Bener Meriah. Pada Selasa (22/1/2013), si jago merah melalap 20 rumah toko (ruko). Tidak ada yang tersisa, harta benda warga hangus dimangsa jilatan api.

Kabar duka juga datang dari Gayo Lues, dimana burung murai batu Pining, kini terancam kepunahan. Habitatnya makin terganggu, oleh serakah manusia yang mencari kesenangan, dari nyanyian pilu murai batu tersebut.

Disisi lain, kabar suka dan membanggakan juga terus terukir oleh anak-anak Gayo. Seperti halnya yang di ukir anak-anak SMAN 15 Takengon yang mampu meraih juara dua pada lomba cerdas cermat 4 pilar kehidupan berbangsa di Banda Aceh.  Selain SMAN 15 Juara III-nya diraih  SMA Unggul Binaan Bener Meriah.

Yang tak kalah hebat lagi, lagu etnik Gayo Lues milik Band Laskar Gayo, Persalaman Saman dan Saman diputar di tiga radio dunia, yakni Radio BBC London World music, NHK World Jepang, dan Radio Televisi Malaysia (RTM) Malaysia. Ketiga lagu  tersebut dianggap layak diputar karena inovasi Saman dalam Musik Dunia.

Semua keberhasilan tersebut merupakan catatan sejarah. Meski sekecil apapun torehan sejarah itu tercatat, namun akan abadi sepajang anak negeri ini selalu bangga akan sejarah yang tertoreh untuk selanjutnya mencatat sejarah yang lebih besar lagi dimasa mendatang.

Sebenarnya, dari amatan penulis ada satu catatan sejarah yang tergolong besar ditoreh dalam pekan ini. Yakni, 10 petue kampung di Kecamatan Jagong Jeget mengikuti uji baca Al-Qur’an. Mereka di uji kemampuannya sebelum dikukuhkan sebagau Petue kampung yang nantinya akan memimpin masyarakat.

Kesepuluh kampung tersebut merupakan kampung-kampung yang sudah defenitif. Teridri dari Kampung Jagong, Jeget Ayu, Bukit Kemuning, Paya Tungel, Bukit Sari, Paya Dedep, Gegarang, Telege Sari, Berawang Dewal dan Merah Said. Sementara ada 2 kampung lainnya masih berstatus persiapan, yaitu kampung Tawar Bengi dan Gading Jaya.

“Mampu membaca Al-Qur’an merupakan syarat utama untuk menjadi Petue Kampung,” tegas Abu Musodik, SHI penghulu KUA Jagong Jeget selaku salah seorang Tim Penguji.

Jika tak salah, ini merupakan yang pertama dilakukan dalam penetapan Petue kampung di Aceh secara umum. Ini artinya juga pada level tataran pemerintahan terendah, di daerah kekuasaan Reje Linge sudah mulai mencatat sejarah baru dimasa modern sekarang ini.

Dari bekas kerajaan Linge ini juga, peradapan Islam it uterus mengukir, dimana sebelumnya Kerajaan Linge terkenal dengan awal dari peradapan islam di Negeri Gayo ini. Dari catatan sejarah menyebutkan, Kerajaan Linge adalah sebuah kerajaan kuno di Aceh. Kerajaan ini terbentuk pada tahun 1025 M (416 H) dengan raja pertamanya adalah Adi Genali.

Adi Genali membangun Negeri Linge pertama di Buntul Linge bersama dengan seorang perdana menteri yang bernama Syekh Sirajuddin yang bergelar Cik Serule. Catatan sejarah ini mengambarkan bahwa Linge itu dibangun dengan seorang ulama yang bergelar Syehk.

Kebesaran Linge dengan peradabannya ini dari penulusuran penulis dari berbagai sumber menyebutkan, pada masa kerajaan Linge ada “45 Pasal Edet Negeri Linge” Dari naskah tua ini peradaban Kerajaan Linge terys berkembang secara pesat.

Hal ini bisa diliihat dari “Turun ni edet ari Pute Merhum (Reje Linge) Ukum ari Cek Serule”. Ini penggalan Isi dari Pasal 1 dalam Naskah Tua berjudul “45 Pasal Edet Negeri Linge”. Artinya kurang lebih: Reje Linge adalah yang pertama merumuskan mengenai Edet Gayo yang disusun bersama para ulama dan pemimpin Gayo pada saat itu (sekitar Tahun 450 Hijriah).

Tentang Edet Gayo apa saja yang disusun oleh Reje Linge, bisa dibaca dalam naskah tua berjudul “45 Pasai Edet Negeri Linge”, namun kira-kira inti dari isi pasal-pasal tersebut adalah mengatur pemerintahan, Hukum dan norma-norma sosial kehidupan bermasyarakat di Tanoh Gayo.
Sedangkan “Reje Musuket Sipet,Petue Musidik Sasat, Imem Muperlu Sunet,Rayat Genap Mupakat ” berasal dari Sistem Sarak Opat. Sarak Opat merupakan sistem pemerintahan tradisional masyarakat Gayo. Sarak berarti lembaga atau unsur, sementara opat berarti empat.

Empat unsur tersebut adalah Reje, Petue, Imem dan Rakyat. Maksud dari kalimat diatas kurang lebih, Negeri Linge bisa makmur dan sejahtera jika memiliki 4 unsur seperti Reje museket sipet (Raja yang Adil, dilihat dari konteks kekinian, Raja bisa berupa Bupati/kepala pemerintahan hingga yang terkecil), Petue musidik sasat (Cendikiawan yang memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas), Imem muperlu sunet (Imam memahami betul hukum Islam dan dapat menjadi tauladan untuk menjalankan yang Halal, dan menghindari yang haram) Rakyat genap mupakat (segala persoalan masyrakat diselesaikan dengan musyawarah).

Banyak cerita dan tutur sejarah yang terungkap dari Kerajaan Linge ini, namun banyak juga orang mempertanyakan apakah benar Kerajaan Linge ini ada. Maka, tak salah bila lanjutan penelitian dari Arkeolog Balar Medan, masih ditunggu pembuktiannya secara nyata.

Dalam penelitian yang pernah dilakukan, Arkeolog Balar Medan menemukan serpihan  sisa benda dari zaman sejarah. Meski berbentuk fragmen (serpihan atau pecahan), namun dari sinilah Arkeolog Balar Medan akan  memulai menggali  keberadaan sejarah Kejayaan Linge pada masanya.

Ketua tim arkeolog, Lucas Partanda Koestoro mengungkapkan, sebagaimana di lansir harian Waspada Meda, meski ekskavasi  yang dilakukan masih di luar  benteng kerajaan Linge, namun,  selain fragmen keramik dan gerabah, juga  telah ditemukan  serpihan tulang (bovidae).  Khusus temuan pecahan benda, diketahui  berasal dari negeri China dan Eropa.

Fragmen bercorak tembikar ini merupakan barang bernilai pada masa itu. Ini memperlihatkan bahwa Linge sebagai daerah kerajaan  di Pedalaman Sumatera memiliki hubungan budaya dan dagang dengan daerah lain yang berjauhan (pesisir).

***

Kembali pada pembahasan awal, sejarah yang tercatat masih perlu pembuktian. Karenanya kita tunggu saja. Namun, yang ingin saya garis bawahi dari cacatan akhir pekan ini, bahwa kegiatan uji baca Al-quran bagi para petue di Jangon yang merupakan bagian dari berdirinya sejarah Linge, selangkah lebih maju dari peradaban Aceh secara umum.

Hal ini bukan tidak beralasan, sebab untuk seorang Wali Nanggroe yang notabene merupakan simbol adat istiadat dan kebudaayaan di negeri berjuluk “serambi mekah” ini, tidak dibutuhkan kemampuan baca Al-quran. Sungguh ironi memang, sebuah negeri yang mengaku menjalankan Syariat Islam secara kaffah, tokoh sentralnya tak perlu memperlihatkan kebolehannya membaca Al-quran. Sedangkan di level paling bawah saja, diuji baca Al-quran. Ini karena Al-Quran itu benar-benar pedoman hidup manusia di bumi Allah ini.

Sungguh ironi kawan. Bila seorang pemimpin sekelas wali Nanggroe tak perlu membaca Al-Quran, sebagai syarat utama menduduki posisi paling terhormat di bumi “serambi mekah” ini.(aman.zaiza[at]yahoo.com)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.