Malam ini di gedung Little Tree Sunset Road Kuta. Diadakan acara nonton bareng Stand Up Comedy yang memutarkan rekaman show Stand Up Comedy yang direkam satu hari menjelang Imlek tahun ini di Gedung Kesenian Jakarta.
Show ini menampilkan 5 orang Comic (istilah untuk seorang Stand Up Comedian) etnis Cina. Dwika Putra, Barry Williem, Vania “Alonk” Margonoharto, Yullianto dan dikomandani oleh Ernest Prakasa. Yang mengusung bendera Ernest Prakasa & The Oriental Bandits. Di bawah naungan Merem Melek Management.
Menyaksikan acara ini, tidak menyangka kalau sekarang Stand Up Comedy sudah menjadi sebuah show yang penontonnya bisa ditarik karcis dengan harga mahal dan bisa melakukan show ini di gedung pertunjukan dengan sewa mahal dan dipenuhi penonton pula.
Bahkan nonton bareng rekamannya ini pun dikenai karcis pula, dengan harga rata-rata Rp. 25.000, dengan bonus secangkir kopi. Dan kalau pengorbanan itu diukur dengan tawa yang keluar selama pertunjukan. Jumlah uang yang lumayan yang dikeluarkan itu ternyata tidak sia-sia. Karena kurang lebih selama 2 jam kami yang menonton dibuat tertawa tanpa henti.
Di samping kelucuan yang ditampilkan yang membuat tertawa. Satu yang sangat menarik dari penampilan Ernest Prakasa adalah materi yang dia sampaikan itu selalu mengusung tema SARA. Diskriminasi dari mayoritas terhadap minoritas. Sebagaimana kita ketahui Ernest ini adalah seorang etnis Cina yang merupakan etnis minoritas yang sering mendapat perlakuan tidak adil di negeri ini.
Pertunjukan ini dibuka oleh Barry Williem, seorang Comic etnis Cina yang tidak berasal dari keluarga berada. Kelucuan yang dibangun oleh Comic ini dibangun dari kisah diskriminasi yang dia alami. Di kalangan pribumi dia dianggap orang kaya, sementara di kalangan etnis Cina dia juga kurang diterima karena dia bukan dari kalangan kaya.
Kalo Cina biasanya kuliah di Atmajaya, Binus atau minimal TriSakti. Lah Gue di BSI katanya. (BSI adalah kampus dengan biaya paket hemat yang membuka ruang kuliah dimana-mana, biasanya di ruko-ruko ). Dia membuat penonton terpingkal-pingkal, ketika dia menyebut marganya LIM, dengan nama orang-orang terkenal seperti Lim Sioe Liong yang kemudian dia sebutkan nama Lim yang dipikir oleh penonton salah satu orang kaya dan terkenal pula. Ternyata itu nama bapaknya yang bekerja sebagai karyawan bengkel.
Kemudian muncul berturut-turut Yullianto seorang COmic asal Bali, yang juga menceritakan bagaimana susahnya jadi Cina. Di Indonesia didiskriminasi karena Cina, tapi ketika pergi ke negeri Cina sana pun mereka mendapat diskriminasi karena tidak bisa berbahasa mandarin. Lalu muncul seorang Comic perempuan Vania “Alonk” Margonoharto yang mencela habis boy band. Dan pembuka ini ditutup oleh Dwika Putra yang menurut Ernest pernah dikejar-kejar pakai Kapak pada kerusuhan tahun 1998 karena dia Cina.
Sebagai orang Gayo yang merupakan etnis minoritas di Aceh. Sedikit banyak penulis bisa merasakan apa yang dirasakan oleh keempat comic ini.
Dan setelah keempatnya tampil. Muncullah Ernest Prakasa, sang bintang utama dalam pertunjukan ini. Penampilan Ernest benar-benar mengundang tawa, tapi tidak seperti motto Opera van Java, yang penting bisa tertawa. Apa yang disampaikan oleh Ernest untuk mengundang tawa benar-benar dalam dan bermakna. Kalau yang dijadikan alat ukur adalah banyaknya tawa penonton. Ernest sebenarnya tidak tampil lebih superior dibandingkan empat Comic pembukanya.
Tapi ketika kita nilai berdasarkan kedalaman materi. Apa yang disampaikan oleh Ernest benar-benar mendalam dan menyentuh berbagai sisi kelemahan bangsa ini dan menariknya disampaikan dengan humor dan tawa, sehingga pihak yang tersentil sulit untuk tersinggung.
Ernest misalnya menyinggung Ahok yang jadi wakil Gubernur di DKI yang menurutnya dulu tidak pernah bisa dia bayangkan. “Dulu lo katain gue cina…cina, noh sekarang rasain wakil gubernur lo Cina”. Katanya.
Kemudian di salah satu babak, Ernest menunjukkan terang-terangan kekaguman dan rasa terima kasihnya pada Gus Dur. Di sini dia mengutip peraturan diskriminatif Orde Baru yang mengharuskan perayaan Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina mendapat izin tertulis dari pemerintah yang dicabut oleh Gus Dur dan menggantinya dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967. Untuk itu mengajak penonton tepuk tangan untuk mengapresiasi Gus Dur lalu Tepuk tangan pun membahana. Kemudian, Ernest minta penonton memberi tepuk tangan untuk Megawati yang memutuskan Imlek jadi hari libur nasional. Tapi nggak perlu lama-lama, katanya.
Ernest juga menyoroti ketimpangan pembangunan, dengan mengangkat sosok Baby Sitter-nya yang berasal dari Lebak, Banten. Melalui sosok Baby Sitternya yang lugu, menyoroti bagaimana daerah yang cuma sepelemparan batu dari Jakarta ini, baru menikmati aliran listrik di tahun 2008. Penonton dibuat tertawa terpingkal-pingkal ketika dia menggambarkan bagaimana ketiadaan listrik yang merupakan bencana besar bagi warga Jakarta, oleh warga lebak dianggap sesuatu yang biasa. Oleh Ernest ini digambarkan melalui jawaban lugu baby sitter-nya ketika ditanya. “Terus kalau belajar bagaimana”, “ya pake lilin pak”, “memang bisa?”, “bisa pak tapi nggak boleh ketiduran, kalo ketiduran rambut terbakar”.
Kemudian Ernest juga menggambarkan bagaimana buruknya pelayanan kesehatan di Lebak.
“Kamu satu keluarga berapa”
“Sebenarnya delapan pak, tapi mati dua, sekarang tinggal enam”, jawab pembantunya dengan polos dan lugu tanpa sedikitpun merasa bahwa kematian saudaranya itu sebagai sesuatu yang serius karena itu merupakan tanggung jawab pemerintah dalam menyediakan pelayanan kesehatan. Sebagaimana dipahami oleh orang-orang kota.
Satu hal lain yang menarik bagi kita di Gayo disampaikan oleh Ernest dalam show-nya ini adalah pengakuannya tentang pacar pertamanya. Dalam pengakuan Ernest pacar pertamanya adalah cewek Cina yang berasal dari TAKENGEN. Ya benar, Takengen kita. Yah, tidak susah untuk mencari siapa saja etnis Cina di Takengen, tapi ketika saya desak Ernest tidak mau menyebut namanya.
Cuma ilustrasi Takengen di sini, disampaikan Ernest untuk menunjukkan bagaimana penyebaran Cina di Indonesia. Bayangkan Alfamart aja belum nyampe ke sana tapi kami udah duluan, katanya. Dan bagaimana pacarnya itu dan keluarganya yang asal Takengen itu ternyata jauh lebih ketat dalam menerapkan budaya Cina dibanding dia sendiri.
Cerita tentang Takengen ini dia sampaikan di bagian yang menurut saya paling menarik dari stand up ini. Di sini Ernest menceritakan bahwa siapapun yang menjadi mayoritas tampaknya sudah kodratnya cenderung menindas minoritas. Ernest menceritakan, dari SD, kemudian SMP, dia di sekolah yang muridnya mayoritas pribumi. Di sana dia sering mendapat intimidasi. Tapi ketika SMA, dia bersekolah di sekolah yang justru mayoritas muridnya etnis Cina (di sinilah dia bertemu dengan pacarnya yang asal Takengen). Di sekolah ini kata Ernest, di kelasnya cuma ada dua pribumi. Dan di sekolah ini, justru temannya yang pribumi inilah yang menjadi bulan-bulanan.
Mendengar ini saya merenung, ada benarnya apa yang dikatakan Ernest. Aceh adalah contohnya, dulu ketika Aceh dikuasai sepenuhnya oleh Jakarta, Aceh benar-benar didiskriminasi, hak-hak mereka tidak dipenuhi. Bahkan untuk bekerja di proyek vital yang ada di Aceh pun mereka harus mengalah oleh pekerja yang dikirim dari Jakarta. Tapi ketika mereka berkuasa, mereka jadi lebih parah daripada Jawa, dalam mendiskriminasi etnis-etnis minoritas di bawah mereka. bahkan seorang anggota DPRD dan Wakil Gubernur pun bisa dengan santai mengucapkan kalimat-kalimat rasis di depan awak media.
Dikaitkan dengan gerakan pemekaran yang sekarang marak di Gayo. Apa yang disampaikan Ernest Prakasa ini bisa menjadi perenungan kita. Kalau ALA nanti berdiri, Gayo akan menjadi mayoritas. Kalau kita tidak hati-hati, euforia berlebihan pasti akan menjerumuskan kita menjadi mayoritas yang rasis.
Lalu, cerita Ernest tentang pacarnya yang asal Takengen yang masih sangat kuat memegang tradisi Cina. Saya juga jadi malu sendiri, saya teringat bagaimana seorang adik saya, yang kebetulan terlahir dengan kulit putih dan bermata sipit. Diiris dengan silet pahanya oleh teman sekolahnya karena tidak bisa memberi uang yang diminta temannya itu. Dan dia harus memberi uang, karena temannya itu mengira adik saya ini seorang Cina.
Pointnya, di sini kita Gayo teriak didiskriminasi oleh Aceh. Tapi tanpa kita sadari, kita pun dalam diri kita sebenarnya menyimpan bibit-bibit arogansi.
Sebelum terlambat, marilah ini kita perbaiki.
Sebab seperti dikatakan Ernest dalam acara ini, mengutip ucapan George Carlin, comedian asal Amerika Serikat.
“Orang itu enggak seharusnya bangga dengan etnis atau suku apa pun yang dia punya. Kenapa? Karena itu bukan prestasi, bukan sesuatu yang dapat diperjuangkan. Itu pemberian Tuhan, sudah dari sananya,“
(Win Wan Nur)