Takengen|Lintas Gayo-Lembaga Swadaya Masyarakat Jaringan Anti Korupsi Gayo (LSM-JangKo) berharap kepada seluruh komponen masyarakat, untuk memantau dan mengawasi proses rehabilitasi dan rekontruksi (rehab rekon) pasca gempa bumi di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah. Hal tersebut dikatakan Idrus Saputra, Ketua Jang Ko, Jumat (12/7/2013) di Takengen.
Masa tanggap darurat bencana gempa bumi di Aceh Tengah dan Bener Meriah, berdasarkan surat keputusan yang ditandatangani pada 8 Juli 2013 oleh Gubernur Aceh Zaini Abdulah bahwa masa tanggap darurat berlaku sejak tanggal 3 Juli sampai dengan 17 Juli 2013.
Gempa bumi gayo berkekuatan 6,2 SR yang terjadi pada Selasa, (2/7/2013), telah menjadi perhatian masyarakat nasional dan internasional. Bantuan dari berbagai sumber terus mengalir, baik yang disalurkan langsung ke masyarakat korban di tempat-tempat pengungsian dan juga bantuan yang didistribusikan melalui posko utama daerah.
Posko satuan penanggulangan bencana yang ada di dua kabupaten hingga sekarang tidak mampu mendata atau menghitung secara keseluruhan berapa jumlah bantuan yang masuk dalam masa tanggap darurat ini.
Bantuan dalam bentuk dana hingga saat ini belum jelas. Ada beberapa catatan menyebutkan bahwa bantuan dalam bentuk dana yang diberikan untuk Aceh Tengah dan Bener Meriah dalam masa tanggap darurat dari BNPB sebesar Rp 500 juta. Gubernur Aceh, dr Zaini Abdullah beberapa waktu yang lalu menyatakan bahwa pemerintahannya akan mengalokasikan dana tanggap darurat bencana gempa bumi di Aceh Tengah dan Bener Meriah dari Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) sekitar Rp 64 Miliar.
Jumlah dana ini tentunya belum termasuk dengan sejumlah lembaga atau kelompok masyarakat dalam masa tanggap darurat yang langsung mendistribusikian bantuannya ke lokasi bencana. Tentu hal ini tidak dapat terdata seberapa besar sudah dana-dana bantuan yang mengalir ke dua kabupaten ini.
LSM JangKo berharap, Pemerintah Aceh dan BNPB yang nantinya sebagai pihak yang mengatur dan menangani penuh proses pemulihan daerah bencana dalam rehab dan rekon agar menciptakan sistem yang baik, terkoordinir, dan tidak berbelit-belit. “Yang sangat penting bagi masyarakat dalam mengawal proses pemulihan daerah pasca bencana, perlunya transparasi dari pihak-pihak yang memiliki kebijakan dalam penaganan dan pemulihan daerah bencana di Aceh Tengah dan Bener Meriah,” kata Idrus dalam pers rilis yang diterima, Jumat (12/7/2013).
Jelasnya, bahwa pengalaman-pengalaman masyarakat di dua kabupaten tersebut, setiap ada pembangunan ataupun bantuan sosial yang jumlahnya cukup besar sering kali terjadi konflik, secara vertical maupun konflik antar masyarakat (horizontal).
Bercontoh pada pengalaman gempa tsunami Aceh 2004 lalu, proses rehab rekon yang dikomandoi oleh Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi (BRR) penuh dengan carut marut dan kesannya di masyarakat, dana rehab rekon Gempa Tsunami Aceh yang lalu dihabiskan untuk sektor-sektor yang tidak penting bagi masyarakat korban.
Jang-Ko berharap ke depan ini proses rehab rekon yang akan dilakukan di Aceh Tengah dan Bener Meriah benar-benar terlaksana sebagaimana mestinya di bawah komando Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) atau Badan Nasional Penaggulangan Bencana (BNPB).
“Kita tidak inggin proses rehab rekon nantinya justru malah mencederai masyarakat korban dan menciptakan peluang pihak-pihak atau oknum tertentu untuk melakukan manipulasi dan korupsi dan penggunaan dana rehap rekon pasca gempa bumi di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah,” harap Jang-Ko.
Untuk hal itu, LSM JangKo menghimbau kepada pihak yang akan menangani proses rehab rekon ini agar sejak awal menciptakan transparasi baik itu data dan juga informasi terhadap segala bentuk proses pembangunan dan juga bantuan-bantuan yang akan disalurkan kepada pihak korban dengan mewujudkan media center atau pusat informasi yang permanen dan independen. “Kita tidak ingin gara-gara kurang informasi, masyarakat salah menilai dan pada akhirnya terjadi konflik, konflik karena bantuan yang tidak jelas,” pungkas Idrus Saputra. (rls\wyra)