Jakarta | Lintas Gayo : Perjalanan terbitnya buku biografi A.R. Moese nampaknya mulai menunjukkan titik terang setelah pihak keluarga menginginkan akan meng-handle penerbitan buku tersebut. Demikian pernyataan Yusradi Usman al-Gayoni, penulis biografi A.R. Moese kepada Lintas Gayo (16/4).
“Tadi siang, ama Moeawiyah Sabdin, adik Moese, menghubungi saya via telepon dan dalam waktu dekat, kami akan ketemu,” ujar Yusradi.
Bulan lalu, lanjut Yusradi, ine Ani, istri almarhum sempat mengontaknya dan memberitahukan bahwa keluarga besar Sabdin sedang berkumpul di Takengon, yang salah satunya membicarakan soal biografi A.R.Moese.
Sebelumnya, kata Yusradi yang juga ketua Research Center for Gayo (Recef Gayo) Pemkab Aceh Tengah sempat berjanji akan membantu biaya percetakan biografi tersebut.
Hal tersebut sebagai wujud penghargaan kepada A.R. Moese merupakan sang maestro. “Saya berkomunikasi langsung dengan bupati Nasaruddin ketika itu. Dan dia ungkapkan sangat mendukung ide dan usaha penulisan tersebut.
Namun, sejak riset dan penulisan dimulai tahun 2008 sampai sekarang, dukungan yang dimaksud tidak pernah terwujud. Pemkab Aceh Tengah beralasan bahwa dana APBK sangat terbatas. Konsekuensinya, Pemkab Aceh Tengah tidak bisa membantu,” ungkap Yusradi.
Karena masalah ini bersifat lokal dan pembacanya terbatas, kedepannya, Pemerintahan yang ada di Gayo (Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Lues, dan Bener Meriah) harus memberikan perhatian khusus soal buku Gayo, tambah Yusradi.
Perhatian itu bisa dengan mencetak langsung, memberikan bantuan dana riset dan percetakan, serta pemberian insentif kepada penulis buku-buku Gayo. Yang bertujuan agar para penulis bisa fokus, maksimal, dan semakin termotivasi untuk meneliti dan menulis.
Kalau buku non-Gayo, sudah banyak yang menulis, meski bukan orang Gayo. Tapi, kalau buku (sumber bacaan) Gayo masih cukup terbatas.
Disamping itu, lanjutnya, penulis-penulis Gayo yang menulis buku pun masih bisa dihitung dengan jari. Kita bisa lihat, dari budayawan, setelah A.R.Hakim Aman Pinan, siapa lagi yang mau menulis Gayo? Begitu juga dari akademisi, setelah Prof. DR. M.J.Melalatoa, siapa lagi?.
“Untuk sastra, kita masih punya L.K. Ara, sejarah ada A.K. Jacobi dan Mahmud Ibrahim.
Kemudian, berapa banyak buku Gayo yang diterbitkan tiap tahunnya, khususnya oleh Pemkab atau Badan/Dinas terkait ? tanya Yusradi.
“Walaupun tidak seperti proyek fisik, masalah ini harus benar-benar dipikirkan. Pada akhirnya, Gayo tidak akan mengulangi kemiskinan dokumentasi dan buta akan sejarah dan budaya sendiri,” tegas Yusradi
Pernyataan miskinnya referensi ilmiah tentang Gayo juga pernah disampaikan Lucas Partanda Koestoro, arkeolog dari Balai Arkelogi (Balar) Medan kepada Lintas Gayo saat Lucas berada di Takengen dalam rangkaian penelitian Loyang Mendale akhir Maret 2011 lalu.
“Secara ilmiah, pegangan saya tentang budaya Gayo hanya buku yang ditulis MJ Melalatoa yang berjudul Kebudayaan Gayo yang diterbitkan pada tahun 1982 silam dan hingga kini belum ada buku lain yang diterbitkan,” kata Lucas sambil menunjukkan buku yang dimaksud. (Win Kin Tawar/Windjanur)