Mengobrol lepas dalam suasana santai, tanpa dikondisikan layaknya seminar, sarasehan dan bentuk lainnya ternyata berguna juga untuk saling tukar informasi dan pengalaman sesama teman. Bukan ngobrol “gere mepat ojong ralik” seperti yang saya alami saat menyantap semangkuk miso, Minggu (17/4) sore bersama teman-teman di Kota Takengen, .
Salah seorang teman saya dalam acara santai tersebut adalah Tina, seorang guru muda yang mengajar mata pelajaran ekonomi di SMA 15 Takengon yang bercerita saat ia masih mengajar di SMA 10 Celala Kabupaten Aceh Tengah.
Di SMA ini mengedepankan bimbingan konseling terhadap para murid, hal ini terkait dengan keputusan sang Kepala Sekolah, Azhari SPd, yang menyatakan bahwa bukan saatnya lagi sekolah memberlakukan sistem tinggal kelas.
Jika si anak murid malas masuk sekolah dan kurang bisa menangkap pelajaran di kelas disitulah peranan seorang wali kelas dan guru Bimbingan Konseling dibutuhkan untuk mencari tahu permasalahan yang dihadapi oleh si anak murid.
Bahkan tak jarang guru bidang studi di sekolah tersebut mendatangi sendiri rumah sang murid, guna bertemu dengan orang tua mereka. Dan sistem seperti ini membuahkan hasil yang cukup signifikan.
Fakta yang terjadi saat ini di kebanyakan sekolahan adalah saat anak bandel, membolos, langsung memanggil orang tua dan dihadapkan kepada kepala sekolah.
Namun untuk SMA 10 Celala ini, mereka punya tahapan-tahapan khusus dalam menghadapi murid-murid seperti itu dengan merunut tahapan tersebut mulai dari Guru Bidang Studi, Wali Kelas, Guru Bimbingan Konseling, Wakil Kepala Bagian Kesiswaan dan Kepala Sekolah.
Jika masih tidak bisa berubah perilaku siswa tersebut barulah diambil keputusan untuk dikeluarkan dari sekolah. Sehingga tidak perlu adanya istilahnya tinggal kelas.
Menurut Tina, guru Bimbingan Konseling yang kompeten dan benar-benar memahami tentang kejiwaan murid di Takengon masih sangat langka.
Seharusnya guru bimbingan konseling bisa memberikan motivasi, memberikan arahan kepada murid bukan sekedar memberi tahu bahwa apa yang mereka lakukan adalah salah atau benar, apalagi sampai menggunakan kekerasan fisik.
Tidak menutup kemungkinan guru bidang studi lain yang sekiranya memahami permasalahan yang dialami murid ikut andil dalam memberikan motivasi belajar. Seperti yang sering dilakukannya pada jam terakhir, murid-murid cenderung susah menangkap pelajaran yang diberikan dengan berbagai alasan, maka ia tidak segan memberikan sesi permainan atau sekedar mendengarkan keluh kesah para murid.
Tina terus berusaha memotivasi murid-muridnya agar betah di sekolah. Tina tidak ingin menjadi seorang guru yang monoton, menghabiskan kurikulum yang menjadi silabus mata pelajaran di sekolah, namun tetap memberikan poin-poin penting pada mata pelajaran tersebut.
*Pemerhati pendidikan, berdomisili di Takengen
Ass”kum..mohon maaf sy numpang nulis kata2 ya.wlaupun sy masih mhsiswa, boleh dong nulis disini?emm….saya sependapat serta mendukung dngan paparan diatas?klo tidak salah itu namannya kolaburasi antara guru BK dengan guru terkait dalam upaya meningkatkan motivasi dan prestasi belajar siswa?saya pernah punya pengalaman bersama siswa di salah satu SMP yg intinya guru BK sebagai puncak dari sebuah keputusan di ruangannya dan jadi terkesan ruang BK seperti kantor polisi”ujar Salah satu siswa disekolah Itu”, hal itu terjadi karena kebanyakan siswa dipanggil ke ruang BK setelah siswa itu bermasalah?nah terlintaslah dibenak pikiran saya”perasaan dikampus tidak da dosen yg mengajarkan peran BK yg seperti itu?itulah kenapa guru BK sering disebut siswa polisi sekolah guru paling ditakuti?padahal jika pelaksanaannya sesuai dgn pa yg diajarkan dikampus yg menentang keras kalo Bk bukan polisi sekolah?mungkin siswa akan senang dengan guru BK?jika siswa merasa punya keluahan baik pribadi, prestasi,kluarga dll siswa akan datang sendiri menemui guru BK.karna siswa percaya guru BK dapat membimbingnya dalam mengatasi maslahnya?Salam kenal?trimakasih dan Wassalam
Memang sudah seharusnya seperti itu, mengingat saat ini, pendidikan bukan lagi hal yang sulit, dalam arti setiap individu dapat bersekolah, , sehingga jangan karena persoalan guru yang otoriter (Emangnya sekarang jamannya Hitler), , peserta didik menjadi tertekan dan kehilangan semangat dan motivasi dalam belajar alias (keterehen)…anyway belum tentu hanya peserta sari kota yang cerdas2 dan pinter, , jema ari kampung lagu kami ni pe ara wa si encer utok ke hanya sadja kalah informasi dan kalah kesempatan… Inti ni cerak ni adalah…”Enti Kena Hal Kucak Generasi2 Ari Kampung Lagu Kami ni Gere Pas Mukemang Kena Keterehen Ken Guru”…Berijin…:)