Oleh: Muhammad Darul *
Mendengar wacana provinsi Ala, penulis merasa tergelitik dan ngeri-ngeri sedap, seolah-olah seperti rapat BPUPKI yang mempercepat terbentuk republik ini. Berbeda halnya dengan ALA, suara yang mengeras diseantero publik Aceh maupun Negeri antara menjadi hiasan headline media lokal, tapi pejabat di pusat setingkat menteri dalam negeri maupun dirjen Otda tidak ada yang mengeluarkan statemen resmi bahwa ALA masauk dalam daftar Provinsi baru, melainkan mereka hanya berbalas pantun dengan issu Wali Nanggroe dan bendera. Berarti ini menandakan bahwa ALA tidak masuk dalam pembahasan issu strategis daerah yang dibahas oleh elite nasioanal, atau jangan-jangan lobi wacana ALA hanya sampai enang-enang dan cot panglime.
Hal ini dilakukan apakah, karena ada faktor yang berkaitan dengan politik ataupun mengenai stabilitas keamanan. Sering kita amati tokoh-tokoh ALA mengangkat issu ini sampai ke senayan pada saat menjelang pesta politik, apakah ini ada pengaruh agenda terselubung untuk memuluskan hajat politik dari daerah untuk menjadi perwakilan rakayat ke senayan.
Kenapa tidak sebelum perhelatan politik mengenai issu provinsi ALA dievaluasi dan dikoreksi sejauh mana sudah hasil capaian yang telah diperjuangkan oleh tokoh-tokoh ALA, semestinya rakyat yang terdiri dari daerah lintas tengah dan tenggara mengetahui hal tersebut dengan terbuka. Kalau hal tersebut dilakukan maka masyarakat tidak menduga-duga dan berprasangka “…?”.
Dalam hal ini perlu adanya evaluasi dan koreksi terhadap wacana ALA tersebut. Jika melihat kondisi ini sangat disayangkan dan ironi, isu pemekaran Provinsi ternyata hanya sebatas dagangan politik yang menguntungkan beberapa pihak dan kelompok. Seharusnya mereka memikirkan kepentingan masyarakat wilayah Tengah dan Tenggara secara keseluruhan yang mempunyai konsep dan grand desain yang terukur untuk hadirnya Provinsi baru.
Sejarah melihat bahwa wilayah tengah dan tenggara sudah lama ingin mekar dari Provinsi Aceh, namun ini tidak terwujud. Dari pantauan penulis, hanya delapan daerah yang diusulkan dan telah disetujui oleh senayan yaitu Provinsi Pulau Sumbawa, pemekaran dari Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi Papua Selatan, pemekaran dari Provinsi Papua, Provinsi Papua Tengah, pemekaran dari Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat Daya, pemekaran dari Provinsi Papua Barat, Provinsi Tapanuli, pemekaran dari Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Kepulauan Nias, pemekaran dari Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Kapuas Raya, pemekaran dari Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Bolaang Mongondow Raya, pemekaran Provinsi Sulawesi Utara. (Sumber: radarmerauke.com/2013/10/).
Ketika masyarakat mendengar dan melihat daftar delapan Provinsi ini ternyata ALA tidak masuk kedalamnya, sontak hati mereka seperti tersayat dan merasa kecewa. Karena setahu penulis 14 tahun silam tepatnya tahun 1999 wacana usulan pemekaran provinsi ALA sudah mulai menggeliat dari pelosok desa hingga ke senayan, sampai-sampai mengerahkan 2000-an perangkat desa termasuk kepala desa dan sekdes seluruh wilayah daerah ALA. Penulis juga pernah mendengar dari salah seorang anggota dewan yang tidak perlu disebut namanya, bahwasannya provinsi ALA sudah masuk dalam grand desain daerah pemekaran Provinsi baru yang ada di wilayah Indonesia. Tapi nyatanya sampai hari ini, harapan masyarakat daerah ALA tersebut tak kunjung tiba.
Dalam hal ini, saya berharap agar para tokoh ALA jangan hanya membawa issu ini cuma sebatas politik praktis semata untuk menuju pentas politik 2014 saja atau dalam bahasa Gayo sering disebut sebagai “Politik ni Jema Bimeren” karena ini bisa mengandaskan perjuangan wujud nyata Provinsi baru Gayo Louser Antara.
Penulis, Sekjend Forum Aspirasi Rakyat Gayo*
Hehehe, Jakarta itu Licik bung.
Orang-orang yang berpikir tentang otonomi sebagai suatu tawaran paling baik untuk tujuan kesejahteraan rakyat dalam suatu wilayah/daerah itu adalah konyol.
Ketika Otonom itu sebuah penawaran dan diterima adalah merupakan sebuah kekalahan dalam berdiplomasi diatas meja runding.
Otonom itu adalah suatu strategi pusat untuk melunakkan dan menekan tokoh-tokoh daerah yang berantena bengkok. Ketika Otonom disepakati dan diterapkan dlm suatu daerah berarti pusat sudah menang secara politik dan ekonom.
Dengan otonom tersebut pemerintah pusat telah memiliki kekuatan untuk menekan daerah secara ekonomi (embargo ekonomi)bila suatu saat berkonflik dan berselisih dengan pusat.
Contohnya: Aceh yang kita lihat sekarang ini, perekonomian aceh ditekan secara politik.
Orang gayo tidak setia di pemerintahan baik di provinsi mau pun di pusat. Sebaik nya pemerintah aceh dan pusat mengambil etnis jawa atau aceh untuk mewakili aceh tengah dan bener meriah ke tingkat provinsi dan pusat. Kalau di pemerintahan di huni oleh penghianat sangat berbahaya itu dan pemerintahan tersebut akan runtuh
Bukan masalah etnis siap bisa memimpin…. sekalipun arab yang Islam pertama diturunkan disana, kalau mental pengkhianat biar etnis apapun itu pasti ada…….. itu mental yg berlaku umum, @ Sarwo Edi kayaknya harus diluruskan cra pikirnya……
Aceh adalah daerah khusus/satu2 nya negara federal di indonesia arti nya aceh tidak bisa dimekarkan karena dengan pemekaran sama dengan menjadikan aceh menjadi negara berdaulat. Sesuai dengan MoU helsinky aceh daerah otonom khusus punya kepala negara di bawah presiden RI, bendera sendiri, partai sendiri, undang2 sendiri, bidang pertahanan sendiri, kebijakan dala negri (khusus aceh) sendiri, kebijakan financial sendiri dan lain2, yg bergantung ke indonesia cuma bendera merah putih, tentara/polisi dan kebijakan luar negri.