Oleh : Drs. Jamhuri, MA
A. Pendahuluan
Para ahli bidang pendidikan selalu memperdebatkan bagaimana pola pendidikan yang sebaiknya dilakukan, salah satu aspek yang selalu menjadi sorotan adalah tentang pemberian hukuman kepada anak didik. Seriusnya perhatian terhadap pemberian hukuman ini membuat banyak lembaga yang terlibat, diantaranya keluarga, LSM, kepilisian, kejaksaan sampai pada lembaga peradilan bahkan berakhir pada Lembaga Pemasyarakatan (LP).
Semua orang tidak bisa manapikan, bahwa ketika ia sekolah pernah mendapat hukuman dari guru, Tapi untuk sebagian orang hukuman bukan merupakam aspek yang penting dipersoalkan dalam proses pendidikan.
Sebagai pelaksana dan pemerhati pendidikan penulis merasa takut satu saat generasi kita akan lupa apa yang pernah terjadi dalam sejarah pendidikan di Gayo, karena itu tulisan ini kami turunkan walaupun sifatnya sangat subjektif, dan kami berharap tulisan ini dapat dijadikan sebagai bandingan.
B. Pendidikan Formal
Ketika bersekolah di MIN pada tahun 1970 sampai dengan 1980 an, kami belum pernah mendengar nama minyak rambut dengan berbagai merk, belum mendengar sabun mandi dengan berbagai merk, juga tidak pernah mendengar istilah hand and body dan seterusnya. Untuk minyak rambut terkadang di jalan kami gunakan buah alpukat, ketika mau berangkat sekolah karena tangan dan betis kami kering kami hanya mengusapnya dengan minyak goreng (minyak makan) dan terkadang jeruk sayur, kami berangkat sekolah beramai-ramai dengan berjalan kaki sejauh 2 kilo meter dengan melewati kebun kopi rakyat, padang rumput dan ilalang serta perkuburan umum. Pada saat itu perkuburan umum di kampong kami tidak di rawat, rumput memanjang dan karena ada juga perkuburan orang yang berasal dari suku Jawa kuburan mereka di buat rumah, tapi rumahnya sudah rusak ada yang atapnya bocor dan ada yang hampir terbalik ditiup angin. Biasanya sesampai di perkuburan itu kami harus berlari dengan sekuat tenaga sambil bercerita dikuburan itu ada kucing kakinya lima, ada hantu pakai jubah, ada apah (jin) dan macam-macam cerita mengerikan lainnya diceritakan sambil berlari.
Modal kami bersekolah adalah bisa membaca, kalau tidak bisa membaca maka pada setiap mata pelajaran kena hukuman. Bentuk hukuman semuanya hukuman fisik dipukul dengan rotan, kayu dan pakai rol dengan posisi rol miring di belakang telapak tangan, di punggung dan di pantat. Ada lagi bentuk hukuman yang diberikan bagi yang tidak bisa membaca dengan berdiri di depan kelas dengan menjinjitkan kaki sebelah dan tangan secara bersilang memegang telinga.
Lebih teringat lagi saya pada seorang guru yang memberi hukuman kepada kami yang tidak bisa membaca adalah memegang kedua telinga dengan menarok sedikit pasir di jarinya dan menggeleng kepala kami ke kanan dan ke kiri dalam posisi berdiri kemudian hal serupa juga dilakukan dalam posisi jongkok dan dalam hitungan yang lumayan banyak. Hukuman fisik yang lain adalah di cubit diperut, hukuman ini biasanya bukan diberikan kepada mereka yang tidak bisa membaca tetapi kepada mereka yang nakal dan suka mengganggu.
Pada masa itu belum dikenal yang namanya biaya pendidikan free (Gratis) , karena itu kami diwajibkan membayar uang sekolah (SPP) dari beras dan itupun tidak ditimbang dengan Kg (kilo gram) tapi hanya disukat dengan batok kelapa (belah kal) dan dipastikan ukuran batok kelapa setiap rumah berbeda walaupun jumlah yang wajib dibawa sama, Itulah bentuk bayaran SPP kami pada saat itu. Orang tua kami dan orang lain juga di kampong kami dan kampong yang berdekatan sama, mereka sangat sulit mencari uang walaupun tinggal di kebun, ada buah ubi yang tumbuh di kebun untuk menjualnya sangat susah karena tidak ada transportasi dan ketika hendak menjual hasil kebun harus menyeberangi alur yang dalam dan harga yang di dapat biasa hanya untuk gula, garam satu ekor ikan dan minyak makan serta cukup untuk minum cendol karena lelah menempuh perjalanan jauh.
Ketika kami pulang sekolah hari sudah siang, kami pulang serantak seolah berhambur dari pintu kelas menuju jalan untuk pulang, dari pintu gerbang sekolah ada sekitar setengah kilo meter jalan sudah dilakukan pengerasan dengan kondisi yang berlubang-lubang. Kawan-kawan saat itu berpikir cerdas dan memanfaatkan jalan berbatu untuk main kejar-kejaran dengan cara siapa yang tidak menginjak batu dan dapat ditangkap maka dia jaga demikian juga yang lain dengan menggunakan ketangkasan dan kecerdasan bermain.
Jalan berbatu (pengerasan) yang akan diaspal entah kapan waktu itu saya tidak tahu habis kami lewati dengan permainan dan rasa senang, kami mulai melewati jalan tiga jalur (pada saat itu dikampong kami sudah ada jalan tiga jalur). Pembuatan tiga jalur ini tidak termasuk dalam renstra bupati dan juga tidak temuat dalam program PU, tapi dia jadi secara alami karena jalan tersebut tidak pernah dilewati mobil dan hanya dilewati oleh gerobak yang di tarik oleh kerbau, jalur tengah kalau di Jakarta sekarang untuk Bus Way tapi di kampong saya untuk tempat laluan kerbau dan jalur kanan kiri untuk laluan roda gerobak. Kami pernah ramai-ramai naik gerobak pulang sekolah yang kebetulan lewat, walau pun barangnya penuh kami tetap naik di atas barang, kerbau jalannya lamban tidak sama dengan kuda sehingga terkadang sampainya di rumah sekalian dengan kawan-kawan lain yang berjalan kaki malah ada juga yang berlari.
Pulang sekolah dengan berjalan kaki sambil berlari lebih sering kami lakukan karena gerobak yang lewat hanya kadang-kadang waktu saja, yang menyenangkan terkadang kami pulang sekolah tidak melalui jalan tiga jalur yang telah disebutkan, kami pulang melalui kebun-kebun kopi sambil memanjat jeruk, mengambil pisang yang masak di pohon, nangka yang kami belah dengan kayu dan nenas yang belah dengan memukulnya ke pohon lamtoro, semua itu kami makan sambil pulang sekolah. Ketiaka pulang sekolah waktu siang kami lapar, karena kami pada waktu itu belum mengenal jajan mie, donat, burger, es cream, somai, bakwan, pisang goreng yang ada hanya gula tarek, sampai-sampai penjualnya kami panggil lilik gula tarek dan uang jajan kami hanya lima sampai sepuluh rupian (bon-bon waktu itu lima rupiah lima buah).
C. Pendidikan Non Formal
Malam hari kami mengaji di rumah tengku, materi yang diajarkan biasanya mulai dari buku juz ‘amma sampai tamat Al-Qur’an ditambah dengan buku tulisan jawi. Pelajaran sejarah nabi, tentang hari qiamat biasa dicerikatan dalam bentuk cerita lisan (kekeberen) dengan rangakaian kata yang menarik dan mudah di ingat. Pelajaran tentang shalat diajarkan dengan langsung peraktek, kalau shalat sendiri tengku menyuruh satu-satu orang secara bergantian dan kalau shalat berjama’ah disuruh murid yang senior jadi imam.
Pengajian di rumah tengku dilakukan setiap malam, dimulai shalat maghrib berjamaa’h dan ditutup dengan shalat isya juga berjama’ah dengan pelaksanaan waktu shalat isya agak terlat. Ketika menjelang maghrib kami berangkat kerumah tengku, kami wajib membawa air satu timba satu orang, karena setelah shalat isya kami tidak pulang kerumah lagi, jadi kami menginap di rumah tengku dan air satu timba yang kami bawa digunakan untuk wudhuk shalat subuh. Kami baru pulang setelah shalat subuh, malamnya kami tidak pulang karena kampong kami dikelilingi kebun kopi dan semak-semak serta alur yang pada saat itu kami belum pernah mendengar yang namanya listrik.
Pemberian hukuman tidak ada perbedaan antara di sekolah dengan tempat pengajian, di samping tengku selalu tersedia rotan. Hukuman diberikan kepada kami-kami yang susah sekali mengerti ketika di ajar dan juga kepada siapa yang main-main ketika shalat. Pernah satu malam kami latihan shalat jama’ah seorang diantara kami jadi imam, ketika sedang latihan shalat ada kawan kami yang tertawa, pada saat itu tengku duduk di depan, tengku langsung bangun dan menampar kawan kami yang tertawa sampai terjatuh. Alhamdulillah diantara kami ada yang jadi orang pintar dan tidak ada yang tidak bisa mengaji.
Orang tua zaman sekarang tidak terima kalau anaknya dihukum oleh guru, meskipun anaknya nakal, mereka berharap anaknya bisa berubah tingkah lakunya di tangan sang guru tanpa ada perlakuan khusus terhadap anaknya, dan satu lagi penghargaan orang tua terhadap guru sangat minim kalau boleh dikatakan hampir tidak ada.
Beranikan diri bercerita terhadap apa yang pernah dialami karena itu akan menjadi sejarah dan itu warna kemajuan bangsa khususnya tanoh gayo. didiklah kita mengenal sejarah tokohnya paling kurang orang tuanya
Pola pendidikan dulu beda dengan pola pendidikan sekarang bang, dulu kita rela dan senang pergi sekolah walaupun dari Batin Atas ke Pondok Baru yang jauhnya kira-kira 4 KM, dan menerima hukuman apapun dari guru. Tapi sekarang anak kita banyak yang protes bila berjalan kaki dan diberi hukuman. Saya fikir perlu menyikapi Undang-Undang Perlindungan anak secara arif dan bijak.