Oleh: Siti Aminah
Sudah lama Ibu menanti sosok bertahun-tahun Ia rindukan. Sesekali mulutnya bertasbih tak henti menyebut Asma Allah. Do’a pagi dan petang pesan dari Hasan Al-Banna kerab Ia amalkan. Ia berharap semua mantra Ilahi bisa mendatangkan orang yang dirindukannya. Meskipun belum ada bayangan kehadiran putra sulungnya itu, Rusmi tak henti meminta di seperdua malam agar separuh hatinya yang telah pergi bisa utuh kembali.
Ibu selalu menyapa Tuhan lewat do’anya. Ia tak tau do’a mana yang akan termustajab. Karena Ia yakin do’anya di dengar, maka setiap nafasnya kini adalah rangkaian dari do’a. Dulu, sebelum Ayah meninggal dunia, Ia sering memarahi Ibu karena Ibu sosok perempuan yang mudah menangis. Air matanya adalah senjata untuk meluluhkan hati Ayah. Tapi, kini Ia menangis bukan karena kepergian separuh jiwanya. Melainkan, putra sulungnya Ilham yang pergi meninggalkan rumah beberapa tahun yang silam.
Sebelum Ayah pergi, Ilham adalah sosok yang sangat dirindukan. Setiap kali tidur, Ayah menyebut dan memeluk foto lelaki berkulit saoh matang bertubuh kekar itu. Setiap kali Ia menatap foto itu, detik itu juga kerinduannya mengebu. Ibu tak tega melihat tubuh Ayah yang berbaring terus dirudung kesedihan. Ibu memutuskan untuk menyuruh Ilham pulang untuk menjenguk Ayah sedang sakit di kampung halaman.
“Ma’af Bu, Ilham belum bisa pulang. Dalam minggu ini harus mengikuti ujian di pondok pasantren. Kalau sudah selesai, pasti akan kembali” Itulah jawaban Ilham saat Ibu menghubunginya. Meskipun hati Ilham sesak mendengar kabar Ayahnya sedang sakit, namun Ia juga berniat pulang tapi setelah mengikuti ujian. Rencana Ilham pulang dengan membawa oleh-oleh untuk Ayahnya. Itulah niat yang terbesit dalam hati Ilham.
Ilham dalam keluarga tersebut sangat mengesankan. Selain akhlaknya mulia, santun, bersahaja, Ia tak pernah menyakiti kedua orang tuanya tersebut. Pekerjaan perempuan seperti mencuci baju, menyetrika, masak, menyapu sering Ia kerjaan tanpa harus disuruh oleh kedua orang tuanya. Padahal, Ia mempunyai dua adik perempuan. Tapi, Ilham tak berharap adik-adiknya yang akan mengurusi rumah. Itulah alasan mengapa Ayah selalu merindukannya. Tapi kali ini Ilham merasa sangat menyesal seumur hidup. Ketika, Ia pulang nafas Ayah sudah terhenti, wajahnya mulai pucat, tubuhnya terbaring tak berdaya. Hanya ada kain putih yang menjadi selimutnya. Oleh-oleh itu sama sekali tak membawa makna, Ia mendekat penuh dosa karena sudah mengabaikan perintah Ibu untuk pulang lebih awal.
Malam terus larut, hari-hari membisu ditelan kesunyian. suara gaduh kini telah lenyap, panggilan menyapa menggema dalam ruangan seolah terlintas suara Ayah memanggil nama Ilham. Hanya ada foto nan gagah berdiri tegap bersama tokoh nasional H. Amien Rais. Ayah memang selalu terlihat gagah, apalagi kalau Ia tersenyum. Kerinduan itu membalik dilubuk hati Ilham. “ Aku tak ingin lagi berlayar Ayah, Aku ingin menjaga yang tersisa yaitu Ibu” Itu adalah janjinya untuk menjaga Ibunya.
Ilham tak ingin lagi kembali ke pondok. Setiap kali Ia mendengar kata-kata pasantren, maka Ia selalu membayangkan hawa kepergian, ujian, dan penyesalan. Ia tak ingin bayangan itu membunuh pikirannya. Perencanaannya dalam tahun ini adalah pergi merantau untuk mengubah nasib. Katanya, nasib itu tak akan di dapatkan di kampung halamannya, Ia tak ingin jadi bujang kampung yang bergelar status penggangguran. Kini, Ia bertekad untuk pergi meninggalkan kampung halaman demi sebuah harapan dan impian. Apalagi tiga mantra sudah Ia dapatkan sebagai bekal perjuangan, “Man jadda wajada, man shobaru zhafira, man yazro’ yahsud. Siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil, siapa yang sabar akan beruntung, siapa yang menanam akan menuai yang ditanam” Kalimat ini sudah Ia tanam dalam jiwanya.
Sekarang tugas Ilham adalah meminta restu Ibu. Ibu yang telah menyapihnya selama sembilan bulan, Ibu yang telah menyusuinya. Ibu yang telah membesarkannya hingga dewasa. Tanpa Ibu mungkin Ilham tak hidup. Ibu yang telah mengajarkannya seribu kebaikan, bahasa Ibu yang lembut, Ia takut niatnya untuk merantau bisa menyakiti Ibunya. Atau Ia akan memperoleh nasib yang sama. Ilham terus membayangkan masa depan yang suram. Masa depan yang mengerikan, padahal belum tentu menjadi sebuah kenyataan. Wajah Ayahnya masih membekas, sesekali Ia mengantikannya dengan wajah Ibu. Ait matanya semakin membasahi kedua pipinya. Ia benar-benar tak sanggup untuk mencabut kembali kata-katanya, bahwa Ia ingin manjaga Ibu yang tingga seorang diri.
Bagaimana dengan masa depannya? Apakah Ia terus-terusan menjadi pengemis kepada Ibunya? Yang seharusnya Ia harus memberi kepada Ibunya. Bukan malah meminta. Bukankah seharusnya sikap bijaksana seorang lelaki, tidak manja dan harus mandiri?
Ibu memperhatikan gerak gerik Ilham. Terkadang Ibu bertanya kepada Ilham dengan penuh kasih sayang. Pertanyaan itu membuat Ilham membisu. Diam adalah tanda masalah, masalah tak perlu didiamkan. Ibunya selalu berpesan, kalau memang ada masalah jadikan Ibu tempat cerita. Kini Ilham memberanikan diri untuk meminta izin kepada Ibunya. Ia tak ingin terlambat untuk membahagiakan Ibunya, kemiskinan adalah alasan yang kuat Ilham pergi untuk merubah nasib. Dengan uang Ia akan membelikan segala kepada Ibu.
Niat dan impian Ilham telah Ia utarakan kepada Ibu. Meskipun tak berniat menyakiti hati Ibu, tetap saja Ibu merasa sedih. Karena baru saja Ia mengalami kesedihan karena ditinggal oleh kekasinya, sekarang Ia harus merelakan kepergian anak sulungnya. Meskipun Ibu berat melepaskan Ilham, tapi ada rasa tegar dalam sosok lembutnya. Ia tak ingin membatasi cita-cita anaknya. Meskipun suatu saat Ia akan merasakan rindu sangat berat, atau akan pergi mengikuti jejak Ayah. Ibu tak ingin Ilham tau betapa Ia tak ingin pergi dari hatinya lagi. Di rumah tanpa jendela di kota dingin, di tanah Gayo itu Ilham terakhir kali menatap, mendekap, mencium telapak kaki Ibunya sebagai tanda bakti padanya.
Tanpa terasa lima tahun sudah Ilham merantau. Mendengar suara Ilham adalah pengobat rindu Ibu. Setiap malam, Ia menantikan Telphone dari anaknya merantau ke Jakarta. terkahir kali Ibu mendapatkan informasi, Ilham telah kuliah di Universitas Perkapalan Jakarta. Cita-citanya ingin berlayar ke negara Asing terwujud sudah. Ibu selalu mengingatkan Ilham agar tidak lalai beribadah kepada Allah, menjaga diri dan jangan pernah makan indomie. Sebenarnya Ibu saat ini sakit. Ia ingin sekali dikunjungi oleh Ilham, tapi Ibu selalu mengatakan baik-baik saja kepadanya. 30 Desember adalah hari ulang tahun Ibu. Ilham tentu mengingatnya, Ia juga tak pernah memberi kabar tentangnya kepada Ibu. Batapa Ngerinya Ia menghadapi maut saat kapal tempat Ia kerja tenggelam di selat Malaysia, betapa tersiksanya Ilham tak makan selama berhari-hari karena menaiki kapal Ilegal dan harus sidang di meja hijau. Betapa Ia ingin kembali ke pelukan Ibu, tapi tak ada sedikitpun uang dalam sakunya.
“Nak, kemanapun kau berlayar jangan mengoleh ke belakang. Lupakan masa lalumu, tapi jangan pernah melupakan kedua orang tuamu. Nak, negeri orang itu kejam, maka bertahanlah. Karena do’a Ibu selalu memasuki relung hatimu. Ibu baik-baik saja. Asal kau bahagia itu saja sudah cukup”. Itulah pesan terakhir Ibu kepada Ilham saat semua telah menjadi gelap.
Penulis adalah Pengurus Kohati Batko dan BPL HMI Cabang Banda Aceh, beberapa cerpen sudah pernah dibukukan. Email : Mina_jurnalis[at]yahoo.com*