Oleh : Muhamad Hamka*
Kematian Nelson Mandela, mantan Presiden Afrika Selatan beberapa waktu yang lalu menyisakan duka yang mendalam bagi jutaan warga dunia di seantero jagad. Betapa tidak, tokoh yang selama hidupnya konsisten menentang rasialisme ini, berhasil menjembatani sekat-sekat primordial yang kerap menganggu stabilitas tatanan mondial.
Guru bangsa-bangsa ini—meminjam istilah Andreas Harefa—berhasil membebaskan Afrika Selatan dari ganasnya cengkraman politik Apartheid (pemisahan ras) yang dijalankan oleh Inggris. Bahkan perilaku keji Inggris yang mengisolasi warga pribumi Afrika Selatan yang berkulit hitam pada suatu wilayah dengan system hukum yang terpisah, tak dibalas oleh peraih Nobel Perdamaian ini dengan cara serupa. Tapi, dengan jiwa kenegarawananya, Nelson Mandela justru membangun rekonsiliasi antar warga kulit hitam dengan kulit putih dengan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (sumber: Wikipedia).
Sikap terpuji dan bermartabat Mandela diatas menjadi rule model bagi para pemimpin di dunia dalam mengatasi konflik yang berbau rasial dan primordial di negaranya. Mandela berhasil membuka mata dunia bahwa egalitarianisme adalah sebuah keniscayaan dalam menjaga harmoni dan kedamaian pada dataran peradaban mondial.
Wali Nanggroe
Namun semangat egalitarianisme Nelson Mandela di atas justru tidak berlaku di Provinsi Aceh. Padahal, Kesultanan Aceh Darussalam dulunya terkenal di seantero jagad sebagai kerajaan yang sangat kosmopolit dan egaliter, jauh sebelum Mandela mengkhutbahkan egalitarianisme.
Hari ini, semangat kosmopolitanisme dan egalitarianisme tersebut justru terdegradasi oleh derasnya syahwat kekuasaan yang menggerus nalar elit politik Aceh. Demi langgengnya dinasti kekuasaan, semangat egalitarianisme yang pernah di wariskan oleh Indatu/Datu zaman dahulu di campakan.
Wali ‘kelompok’ Nanggroe yang dilantik Senin (16/12) merupakan perwujudan derasnya syahwat kekuasaan, sehingga menguburkan spirit kebersamaan di Bumi Serambi Mekkah. Kita sangat mendukung MoU Helsinki di mana salah satu isinya adalah pembentukan Lembaga Wali Nanggroe (LWN). Tentunya, Lembaga Wali Nanggroe yang dibentuk tersebut adalah Lembaga yang dapat menjaga kearifan dan marwah Aceh dengan segala kekhasanya. Dan yang tak kalah penting Lembaga ini di harapkan menjadi ‘rumah’ berteduh bagi semua masyarkat Aceh; seluruh etnis yang ada.
Namun kenyataanya, Qanun Lembaga Wali Nanggroe yang merupakan payung hukum dari Wali Nanggroe justru menghadirkan disharmoni dan paradoks di tengah masyarakat Aceh. Lembaga yang diharapkan menjadi pemersatu seluruh elemen masyarakat Aceh, malah berubah wujud sebagai pemecah belah harmoni dan kebersamaan di tengah masyarakat. Untuk menyebut contoh, frasa yang menyatakan ‘calon Wali Nanggroe (WN) harus fasih berbahasa Aceh’ secara gamblang menegaskan sebuah upaya sistematik dalam mengubur eksistensi suku minoritas di Aceh.
Peniadaan eksistensi suku-suku minoritas semacam Gayo, Alas, Singkil, Aneuk Jamee, Kluet dan Tamiang adalah tindakan yang sama sekali jauh dari spirit Wali Nanggroe itu sendiri sebagai ‘rumah’ berteduh seluruh rakyat Aceh. Tindakan ini secara substantif bisa di kategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan. Sehingga bagi suku-suku minoritas yang memang sudah tak berdaya dengan segala ‘kedigdayaan’ suku mayoritas ini akan semakin ciut pada area peripheral.
Kritikan pelbagai elemen masyarakat Aceh terhadap Qanun yang rasis dan diskriminatif ini sama sekali tak ditanggapi oleh elit politik (yang di dominasi Partai Aceh) di DPR Aceh. Ada indikasi, elit politik yang menguasai Aceh hari ini cendrung anti kritik. Padahal kritik merupakan sarana yang efektif untuk meminimalisir terjadinya absoluditas dan korupsi kekuasaan yang notabene kian menemukan lahan suburnya di Aceh saat ini. Meminjam refleksi seorang Sosilog Jerman, ‘kritik yang tidak jemu-jemunya dan dari saat ke saat menjaga agar pohon kekuasaan tidak bakal bertumbuh mencakar langit.’
Urgensi Provinsi ALA
Maka bagi suku minoritas mengambil jalan berpisah (mufarakah) dengan Provinsi Aceh merupakan sebuah keniscayaan. Tuntutan pemekaran dari Wilayah Tengah (ALA) dan Wilayah Selatan (ABAS) merupakan ikhtiar yang rasional dan bermartabat dalam membangun daerahnya agar tidak terbonsai oleh arogansi kehendak privat (res-privata) elit politik yang menguasai Aceh hari ini.
Bagi Wilayah Tengah (Gayo, Alas, dan Singkil) pemekaran Provinsi Aceh Leuser Antara (ALA) merupakan hal yang urgen dan mendesak. Selama bernaung dengan Provinsi Aceh, Wilayah Tengah kerap di anak-tirikan dalam pelbagai aspek pembangunan. Harapan akan adanya kesejahteraan secara ekonomi, partisipatif secara budaya, keadilan secara sosial, dan demokrasi secara politik hanya menjadi harapan semu. Yang terjadi justru sebaliknya, di mana kesejahteraan di reduksi, budaya di bonsai, keadilan di kebiri, politik di diskriminasi, hingga pendidikan pun di restriksi. Hal ini semakin di pertegas oleh Qanun Wali Nanggroe dan Qanun Lambang dan Bendera Aceh yang diskriminatif dan tidak aspiratif..
Untuk itu, bagi elit politik yang menguasai Aceh hari ini di minta jiwa besarnya agar jangan lagi menghalangi perjuangan masyarakat Wilayah Tengah untuk membentuk Provinsi sendiri. Karena pembentukan Provinsi ALA adalah perjuangan kemanusiaan dalam memosisikan eksistensi Wilayah Tengah pada tangga yang bermartabat.
Tulisan ini sudah pernah dimuat di Situs Berita nasional www.okezone.com
Analis Politik*
“Bahasa Indonesia menimbulkan semangat persatuan, bahasa Aceh menimbulkan semangat perpecahan….” by wwn
ini lah orang gak tahu kita yang mana bunyi kentut sama bunyi suaranya
bahasa indonesia penindasan terhadap bahasa melayu yang dilakukan oleh orang2 jawa, secara statistik suku melayu adalah suku terbesar di asia tenggara meliputi indonesia malayasia, thailand, brunei, filiphina, ngomong win wan nur jangan sesuai dengan suka atau tidak suka(nggak usah ngeles), udah gitu semua muka india dia katakan muka aceh, makanya dia benci dengan yang berbau india termasuk pengungsi dari arakan alasannya karena mukanya persis sperti muka orang aceh… orang seperti wwwn ini anggap aja ngomong kentut