Oleh : Ramli Prayoga*
Negara yang demokrasi adalah negara yang memberikan kebebasan kepada rakyatnya dalam menyampaikan aspirasi dan memberikan hak pilih pada setiap pemilihan yang berlangsung. Diantara pemilihan yang dinyatakan rakyat berhak memiliki hak pilih adalah pemilihan Kepala Desa, Bupati/Walikota, Gubernur, DPRD/RI, DPD, dan Presiden. Sehingga makna demokrasi dipahami dari rakyat dan oleh rakyat. Karena dalam dunia politik misalnya, yang menentukan elit-elit politik adalah rakyat sendiri dan atas kehendak rakyat untuk memilih siapa yang mereka anggap mampu dan cakap dalam memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat.
Dalam hal ini, kedaulatan rakyat memiliki kekusaan yang tinggi untuk mempertimbangkan dalam memberikan hak pilih dan dipilih. Kedaulatan rakyat maknanya rakyat bebas bersikap, tanpa merasa dipengaruhi oleh apa dan siapapun. Koridor kedaulatan adalah undang-undang mengatur hubungan sesama warga dan mengatur hubungan warga negara dengan negara dan etika bernegara. Kebebasan, dalam kaitannya dengan negara adalah bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang dideklarasikan PBB (1946) sebagai antitesa atas sistem fasis-isme/nazi-isme yang nyaris memporak-porandakan nilai-nilai kemanusiaan.
Golput penghianatan pada negara
Sejarah mengingatkan kita untuk tetap meningkatkan partisipasi politik dalam negara indonesia yang dikenal dengan sistem demokrasinya. Partisipasi dalam politik sangat diperlukan untuk menunjang kualitas pemimipin yang akan ditetapkan. Partisipasi yang dimaksud adalah mendukung dan memberikan hak pilih dalam sistem pemilihan. Baik dalam pemilihan pilkades, pilkada, pileg, dan pemilu. Semakin besar tingkat partisipasi masyarakat dalam proses politik atua pemilihan maka akan semakin baik bagi negara demokrasi. Namun, apabila tingkat partisipasi rendah dalamsuatu pemilihan maka sistem politik itu akansemakin buruk dan tidak memiliki antusiasme dari masyarakat.
Dalam dunia poltik yang tingkat partisipasinya rendah dan tidak memilih salah satu peserta calon dalam proses pemilihan dinamakan dengan Golongan Putih (Golput). Golongan putih ini terjadi pada setiap proses pemilihan. Hal ini menunjukkan tingkat partisipasi masyarakat dalam politik masih rendah. Karena dari tahun-ketahun tetap saja ada masyarakat yang tidak memberikan hak pilihnya dalam suatu pemilihan. Sedangkan negara Indonesia adalah negara demokrasi yang memiliki hak untuk menentukan hak dipilih dan memilih.
Data yang menunjukan angka golput sejak pemilu tahun 1955 cenderung terus naik. Bila dihitung dari pemilih tidak datang dan suara tidak sah, golput pada pemilu 1955 sebesar 12,34%. Pada pemilu 1971, ketika golput dicetuskan dan dikampanyekan, justru mengalami penurunan hanya 6,67%. Pemilu 1977 golput sebesar 8,40%, 9,61% (1982), 8,39% (1987), 9,05% (1992), 10,07% (1997), 10.40% (1999), 23,34% (Pemilu Legislatif 2004), 23,47% (Pilpres 2004 putaran I), 24,95% (Pilpres 2004 putaran II). Pada Pilpres putaran II setara dengan 37.985.424 pemilih. Ada pun pada Pemilu Legislatif 2009 jumlah golput 30% bila dikalikan dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT) sesuai dengan Perpu No. I/2009 sebesar 171.265.442 jiwa. Jadi, jumlah golput setara dengan 51.379.633 pemilih. Lihat (http://history.blogdetik.com Pada tanggal 14 Juli 2009).
Dari data yang tercantum diatas dapat kita ketahui bahwa, tingkat partisipasi rakyat dalam memberikan hak pilihnya masih terhitung rendah. Jelas memang dalam UU tentang Pemilu yaitu UU No.10/2008, disebutkan di pasal 19 ayat 1 yang berbunyi: “WNI yang pada hari pemungutan suara telah berumur 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.” Jelas kata yang tercantum adalah “hak”, bukan “kewajiban”. Sehingga Ramlan Surbakti berkata, ”Dalam UU, tidak ada larangan untuk tidak memilih, Karena (Golput) itu hak pribadi. Misalnya sudah terdaftar, tapi tidak memilih, itu hak rakyat’’. Namun, kewajiban KPU untuk menyosialisasikan kepada semua anggota masyarakat untuk menggunakan hak pilih. Adapun soal keputusan ada di tangan rakyat.
Berbicara masalah hak dan kewajiban mengenai hak pilih. Memang jelas bahwa memilih dan dipilih itu adalah hak dari setiap individu untuk memberikan hak pilihnya pada pemungutan suara berlangsung. Namun, pada dasarnya rakyat Indonesia telah memilih negara Indonesia sebagai negara demokrasi. Dimana rakyat diberikan kebebasan dalam memilih Kepala Desa, Bupati/Walikota, Gubernur, DPRD/RI, DPD, dan Presiden. Dengan pemilihan ini, rakyat akan lebih memilki peran dan fungsi sebagai penentu kemajuan daerah-daerah dan negara Indonesia melalui pimpinan yang ditentukan rakyat.
Sehingga jelas salah jika ada orang yang tidak memberikan hak pilihnya. Mereka yang golput adalah penghianat pada negara, karena atas nama rakyatlah negara Indonesia bisa melaksanakan pemilihan secara lansung. Namun masih ada orang yang belum memahami tentang hal ini, Sehingga angka golput tetap saja muncul pada setiap pemilihan.
Faktor pendorong dimana orang enggan untuk aktif berperan dalam pemilu menurut Syamsudin Haris: (1) Kekecewaan sebagian publik terhadap parpol; (2) Parpol sebagian kaya akibat money politics; (3) KPU dan pengawas di daerah minim melibatkan civil society; dan (4) Sistem pemilu yang rumit. Golput dalam pemilu bisa juga muncul karena kerumitan teknis mencoblos nomor dan atau tanda gambar dan atau nama caleg.
Pemilih Pemula Meningkatkan Golput
Menjadi pemilih pemula merupakan suatu kebanggaan bagi setiap individu yang sudah berumur 17 tahun atau telah menikah. Sehingga mereka berhak memberikan hak pilihnya ketika pelaksanaan pemilihan berlangsung. Pemilih pemula seperti ini biasanya memilki semangat yang tinggi untuk memberikan hak pilihnya. Karena belum memiliki kekecewaan terhadap partai politik atau memilki rasa ingin tahu yang lebih terhadap pemilihan.
Namun yang menjadi beberapa permasalahan bagi pemilih pemula adalah tidak adanya waktu untuk mengikuti pemilihan tersebut. Artinya, pemilih pemula berkisar pada usia 17-20 tahun. Umur 17-20 tahun ini merupakan umur yang berhadapan dengan pendidikan formal, biasanya berkisar pada kelas 3 SMA samapai mahasiswa. Masalahnya, pelajar dan mahasiswa yang berada diluar kota akan sedikit kemungkinan untuk memberikan hak pilihnya. Karena, jarang pelajar dan mahasiswa yang pulang ketika proses pemilihan berlangsung. Sedangkan mereka sudah terdaftar sebagai pemilih tetap.
Hal ini berbeda dengan pelajar dan mahasiswa yang berada diluar negeri, mereka sudah disiapakan tempat pemungutan suaranya dari tanah air, sehingga tidak perlu untuk pulang. Pelajar dan mahasiswa yang diluar kota hanya sedikit yang memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) di daerah yang mereka tempati. Sehingga untuk menjadi peserta terdaftar dalam memberikan hak pilih hanya ada pada daerah aslinya. Oleh sebab itu, angka golput juga dipengaruhi oleh kehadiran pemilih pemula.
Dengan demikian, suatu pemilihan akan dipandang baik dari kacamata demokrasi apabila angka golput rendah atau tidak ada sama sekali. Menurut hemat saya, kalau sudah tinggi angka parsitipasi politik masyarakat. Maka seluruh jajaran penyelenggara pemilu dan peserta pemilu sudah mendapatkan kepercayaan yang lebih dari rakyat. Karena, yang menjadi dasar banyaknya angka golput adalah karena kurangya kepercayaan kepada partai politk yang mengusung atau mencalonkan kader yang tidak disukai oleh masyarakat. Selain itu, banyaknya angka golput juga dipengaruhi oleh sulitnya teknis pemilihan. Tentu hal ini perlu kita pahami bersama untuk kemajuan. SEMOGA *