Pemilu, Pestamu Dukaku

Oleh: Zulkifli*

Zulkifli

Era reformasi yang telah dimulai tahun 1998 yang ditandai dengan berakhirnya pemerintahan Orde Baru (Orba) merupakan babak baru dalam sistem pemerintahan di Indonesia yang meletakkan landasan bernegara dengan sistem demokrasi.

Dinamika perubahan ini kemudian memiliki dampak yang sangat besar terhadap penguatan fungsi dan peran parlemen dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Realita ini sangat kontra dengan kehidupan bernegara dimasa Orde Baru (Orba) karena parlemen terposisikan sebagai lembaga stempel untuk legalisasi kekuasaan eksikutif dan legislatif.

 Dengan banyaknya pendirian partai-partai politik maka terjadi pula peningkatan kuantitas anggota masyarakat yang terjun dalam dunia politik, terutama menjelang pelaksanaan pemilihan umum terbuka peluang masyarkat yang untuk ikut serta dalam proses rekrut anggota parlemen, caleg, timses, dan simpatisan.

Pemilu Yang Ternoda

Pemilihan umum (Pemilu) adalah salah satu cara dalam sistem demokrasi untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di lembaga perwakilan rakyat, serta salah satu bentuk pemenuhan hak asasi warga negara di bidang politik. Pemilu dilaksanakan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat. Sebab, rakyat tidak mungkin memerintah secara langsung. Karena itu, diperlukan cara untuk memilih wakil rakyat dalam memerintah suatu negara selama jangka waktu tertentu. Pemilu dilaksanakan dengan menganut asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Pengertian pemilu di Indonesia bisa dibilang pesta demokrasi rakyat dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya pada bidang pemerintahan Indonesia. Sebagai negara yang yang menganut paham demokrasi, Indonesia menjalani Pemilihan Umum (Pemilu) pada setiap kurun waktu tertentu, sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Pemilu Di Indonesia merupakan wujud dari kedaulatan rakyat terhadap hak-haknya untuk memilih para pejabat negara pada sistem pemerintahan di Indonesia. Pemilihan umum adalah salah satu mekanisme demokrasi pada Negara Kesatuan Republik Indonesai yang tercantum pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa rakyat memiliki kekuasaan (kedaulatan) yang tertinggi. Mekanisme terhadap penyerahan kedaulatan rakyat ini, akan dilakukan melalui wakilnya (representative democracy) adalah melalui Pemilu.

 Indonesia adalah negara yang sangat kaya dengan Sumber Daya Alam (SDA)nya, ada ladang minyak, Gas, Aspal, Emas, dan yang lainnya, namun ini tidak menjamin rakyat Indonesia semuanya hidupa di atas garis kemiskinan, namun kebanyakan kehidupan penduduk Indonesia dibawah garis kemiskinan, padahal rakyat Indonesia setiap lima tahun sekali selalu memilih pemimpin dan wakil rakyat yang baru, yang mereka semua selalu berkoar-koar saat kampanye bahwa merekalah pemimpin yang merakyat yang akan meningkatkan ekonomi rakyat Indonesia dan mengurangi angka kemiskinan.

 Indonesia sekarang ini tercatat sebagai negara termiskin di Dunia dengan urutan ke-68 yang torehan pertahunya adalah $3,900, (Kompas.com, 23-10-2012).

Menurut pakar ekonomi, Rahman Herry B Koestanto, S.E menyebutkan masuknya Indonesia kedalam negara termiskin di Dunia terjadi karena kurangnya pemanfaatann yang maksimal dalam pengolahan keuangan di Indonesia.

 Demokrasi di Aceh

Pasca penandatangan MoU Helsinki 15 Agustus 2005 silam, rakyat Aceh sangat berharap perkembangan ekonomi mereka meningkat, kedamaian yang tercipta saat itu bisa menjadi kedamaian yang kamil dan sepanjang masa selama sejarah Aceh, sehingga rakyat Aceh yang pernah didera konflik berpuluh-puluh tahun lalu bisa bernafas lega dan merasa tinggal ditanah kelahirannya sendiri.

Pesta demokrasi yang pertama pasca MoU adalah dengan terpilihnya Irwandi Yusuf sebagai Gubernur Aceh periode 2007 sampai dengan 2012, dan pemilu inilah yang berjalan dengan lancar di Aceh, tanpa ada konflik insternal atau eksternal.

Namun, pada akhir periode pemerintahan Irwandi Yusuf, suhu politik di Aceh sudah mulai terasa panas, gesekan-gesekan politisi dalam perbedaan pendapat mulai lahir, dan ini terbukti dengan lahirnya beberapa partai politik, yaitu PA, PRA, PDA, Sira, dan Indenpenden dari calon perseorangan pada Pilkada tahun 2012.

Dalam Pilkada tersebut untuk memperebutkan kursi panas pemimpin Aceh nomor satu, yaitu Gubernur Aceh, sudah terjadi politik keras, partai yang satu melemparkan kata-kata yang tidak sopan dan agamis kepada partai lain dan yang melaju melalui jalur perseorangan (indenpenden), begitu juga sebaliknya. Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf yang memenangi kompetisi sebagai Gubernur dan wakil Gubernur Aceh periode 2012 sampai dengan 2017 mendatang dari Partai Aceh (PA).

Menjelang pemilu legislatif  April 2014 mendatang, suhu politik di Aceh semakin panas, bahkan sudah mulai memakan korban harta, darah, dan nyawa. Ini membuktikan perbedaan segi pandang tentang kemajuan Aceh sudah sangat berbeda dan melenceng dari harapan rakyat Aceh.

Delapan tahun sudah Aceh damai pasca penandatangani MoU Helsinki (2005 – 2014), namun apa yang diharapkan masyarakat Aceh belum sepenuhnya tercapai, bahkan ada daerah-daerah di Aceh yang cuma baru beberapa persen tersentuh perhatian pemerintah, padahal dari 2006 sampai dengan 2014 orang-orang berdarah Aceh lah yang memimpin Aceh.

Rakyat Aceh tidak pernah bermimpi Aceh akan seperti Malaysia atau Brunai Darussalam, namun yang dibutuhkan rakyat Aceh adalah pengadaan rumah dhuafa bagi mereka yang memiliki rumah yang tidak layak huni, jalan yang teraspal semuanya, listrik yang tidak pernah padam-padam, air minum yang memadai, pendidikan gratis dan fasilitas yang memada, kesehatan gratis dan pelayanan yang bagus. Semoga asa rakyat Aceh kedepan bukan saja mimpi, tapi sebuah realita. Kalian yang terpilih sebagai wakil rakyat akan hidup yang layak, tapi kami rakyat jelata? Jangan sampai pemilu ini menjadi pestamu wahai pejabat dan duka ku sebagai rakyat.

*Alumni STAIN Malikussaleh Lhokseumawe dan Siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.