Ir. Onno W Purbo, M.Eng.Ph.D, Intelek yang Humoris

Catatan Win Ruhdi Bathin

Di hari Sabtu, akhir bulan April 2011, Pembantu Dekan III, Fakultas Teknik Universitas Gajah Putih Takengon, Zulfikar Ahmad ST, datang bersama serombongan orang. Aku mengenal dua dari delapan orang rombongan Fikar, panggilan akrab Zulfikar Ahmad yang juga sebagai pegawai di Dinas Perhubungan, Informasi dan Komunikasi Kabupaten Aceh Tengah. Fikar juga dikenal sebagai warga Takengon yang mahir Informasi Tehnologi (IT). Sebelumnya Fikar bekerja di Kantor Bappeda. Karena perubahan kantor, badan dan dinas, Fikar kemudian dimutasi.

Saat di Bappeda, Fikar meluncurkan sebuah situs yang cukup popular kala itu, sebagai sebuah terobosan anyar di Takengon. Arigayo.com. Situs ini kemudian mati. Padahal sangat banyak diakses warga Takengon di antero dunia.

Selain Fikar, aku mengenal ketua Jurusan Fakultas Tehnik Universitas Gajah Putih Takengon. Tapi aku lupa namanya. Dua orang dari ‘Air Putih”,  Selain itu, ada lelaki berpostur sedang, berkacamata tebal dan mengenakan batik. Bersama seorang perempuan muda, juga berperawakan sedang, agak gemuk.

Mereka memesan makanan di Kantin Batas Kota . Kepadaku, fikar memesan empat gelas kopi Americano. Sebagai pelayan di Kantin Batas Kota , aku menyiapkan empat gelas Americano.

Sebelumnya, Fikar mengatakan kepadaku bahwa fakultas Tehnik Informatika UGP Takengon akan mendatang Onno W Purbo, seorang pakar IT ternama Indonesia . Aku bertanya pada Fikar, bagaimana mendatangkan Onno W Purbo ke Takengon.

“Kebetulan ada penghubungnya di Jakarta”, kata Fikar kala itu datang bersama keluarganya sepekan sebelumnya, minum black coffee dan dua gelas latte untuk dua anaknya.

Aku tak memperhatikan benar apa pembicaraan Fikar bersama tamu jauhnya itu. Namun ekor mataku melihat mereka berbicara sangat santai sambil menunggu pesanan makanan.

Saat mengantarkan empat gelas Americano, Fikar memperkenalkan aku pada Onno W Purbo. “Ini mantan jurnalis yang kini beralih profesi”, kata Fikar pada Onno. Aku menyalami Onno. Tangannya lembut. Tidak seperti tangan petani didaerahku. Kasar dan tebal karena melalu memegang “pulpen” berupa parang dan cangkul mengolah kebun kopi mereka.

Onno W Purbo tampaknya tidak minum kopi yang dipesan karena kopi yang kutempatkan dihadapannya, tampak digesernya kepada beberapa orang yang bersamanya. Onno memegang sebuah hp berwarna menyolok.

“Silahkan pak!”, kata pada Onno sambil memegang pundaknya, kemudian kembali ke tempat kerjaku, mengoperasikan mesin espresso BFC Junior Plus. Satu grup. Mesin espresso yang kini menjadi andalanku sebagai alat mencari rezeki.
Aku tentu saja tidak mengenal Onno W Purbo. Karena bidang yang kugeluti bukan IT. Sehingga nama Onno W Purbo melintas di memoriku, seperti nama –nama lain yang baru kukenal saat berkenalan.

Tapi dari pandanganku sekilas, Onno W Purbo tampak seperti lelaki biasa. Santai, sederhana, tidak formil dan sering ngakak layaknya manusia merdeka yang tidak terikat aturan protokoler. Lelaki bebas.

Setelah makan siang di Sabtu yang cerah itu. Syukri asisten II Pemkab Aceh Tengah yang sedang duduk bersama beberapa wartawan berinisiatif mengajak wartawan mewawancarai Onno W Purbo.

Syukri adalah salah seorang pelangganku yang suka minum dua gelas black coffee. Dia penikmat berat kopi . Juga perokok berat, jenis mild. Mahya dari Serambi, Khairul Akhyar dari Waspada, Jurnalisa dari Tabloid Radja Post, Khalisuddin dari TGJ dan Lovegayo.com, segera menyerbu Onno.

Kepada wartawan di Takengon, Onno W Purbo mengatakan akan memperkenalkan pembuatan Tower Handphone dengan  peralatan Base Tranciever Station (BTS) Open Source.

“Dengan uang Rp.10 juta, satu area kampus bisa memakai telepon seluler tanpa pulsa”, kata Onno. Bisakah semurah itu? Menurut Onno W Purbo, sesungguhnya berinternet dan menggunakan hanphone bisa sangat murah. Bahkan dengan modal hanya Rp.70 juta saja, sebut Onno.

Caranya, Open Base Tranciever Station GSM berbasis software .Cara ini memungkinkan handphone GSM untuk menelepon tanpa menggunakan jaringan operator selular.

Apa yang dilakukan Onno di Kampus UGP Pegasing Kecamatan pegasing Aceh Tengah, menurut Onno yang pertama dilakukan di Indonesia dengan open source pertama dari protokol standard industri GSM.

Bahkan, hanya bermodalkan uang sekitar Rp.70 juta, sebuah peralatan pendukung ditambah tower, tambah Onno satu wilayah Kecamatan bisa bertelepon ria gratis. Tapi Onno kemudian menyatakan , akibat dari bertelepon gratis, tentu ada pihak yang akan merasa dirugikan. Tentu saja operator telepon seluler yang selama ini menangguk keuntungan berlipat ganda dari jasa operator seluler.

“Gua cuma mengajarkan ilmunya saja. Akibatnya kalian yang tanggung”, ungkap Onno tertawa yang nyaris menutup matanya. Namun, peralatan yang dipakai Onno yang memungkinkan sebuah wilayah bebas biaya telepon seluler, perangkat yang digunakan harus didatangkan dari luar negeri. “ Biaya cukainya sangat mahal”, sebut Onno.

Pun begitu, tambah Onno menurut UU IT, sebuah daerah bisa menggunatak BTS jika tidak mendapat layanan seluler  dan didaerah bencana. Satu keinginan Onno yang belum kesampaian adalah membuat BTS di daerah Barat Indonesia , Papua.

Karena di Papua, wilayah yang sangat jauh dan terpencil dimana tidak ada akses telepon seluler .Lantas jangan dikira orang Papua tidak memiliki hp. ‘Warga Papua memakai hp untuk mendengar musik”, kata Onno, tertawa. Onno berharap kepada M.Syukri yang mewakili Pemda Aceh Tengah bisa mendukung apa yang dilakukan Fakultas Tehnik UGP.Sebelumnya Pemda Aceh Tengah sudah sukses membuat Taman Internet Gratis diseputaran Kampus Gajah Putih Takengon. Tepatnya di areal Gedung Olah Seni dan Kampus UGP.

Zulfikar Ahmad, dosen Tehnik UGP mengaku sangat bangga bisa menghadirkan Onno W Purbo ke Takengon. Fikar yang kerap disapa Abati ini, berharap terjadi loncatan-loncatan pemikiran dari mahasiswa UGP dibidang tehnologi.

“Kampus bisa jauh di pedalaman Aceh tapi ilmunya tak kalah dengan universitas ternama”, harap Fikar. Ditambahkan Fikar, merupakan sebuah prestasi karena Onno W Purbo memperkenalkan tehnologi ini pertama sekali di Indonesia di Kampus Gajah Putih Takengon. Fikar kemudian ingin tehnologi yang diajarkan Onno akan berkembang di Takengon yang wilayahnya merupakan kawasan pegunungan .

Dimana penduduknya terpisahkan secara geografis oleh lembah dan gunung serta hutan. “Saya bermimpi, warga Pamar bisa mengakses telepon serta internet dan mengetahui perkembangan daerah lainnya”, ungkap Fikar.

Karena dikejar waktu. Onno W Purbo bersama rombongan Fikar berangkat ke Kampus UGP Pegasing setelah makan siang dan minum kopi. Aku sempat mendengar rumors yang mengatakan bahwa idealnya Onno W Purbo lah yang menjadi Menteri Telekomunikasi . Namun karena pertimbangan politik SBY, dipilihlah Tifatul Sembiring dari PKS.

Tapi menurutku, untung saja Onno tak jadi menteri. Karena kalau saja Onno menjadi menteri, tentu dia tak sebebas dan semerdeka saat ini. Apalagi kalau melihat cara tertawa dan omongannya yang ceplas ceplos. Bagaimana mungkin Onno bisa tertawa seperti itu dihadapan Presiden yang penuh protokoler dan kaku .Hehehe

Minggu, awal Mai 2011, sebagai pelayan, aku tetap bekerja. Targetku hari ini adalah berselancar mencari siapa sesungguhnya Onno W Purbo yang disebut-sebut Pakar IT Indonesia yang suka menentang arus dengan ilmunya yang dibuka luas untuk siapa siapa saja sehingga mengancam operator seluler Indonesia ?.Open Science.

Hasil pencarianku tentang Onno W Purbo, lelaki yang kusalami kemarin itu cukup mengagetkanku, lihatlah apa yang pernah ditulis Onno W  Purbo, bekas PNS dan dosen ITB, akhir Juli 2000.
———————————

 

Menuju Indonesia Baru

Saya yakin kita semua akan merasa sangat bahagia jika bisa hidup di lingkungan & masyarakat yang  aman & damai. Tidak ada lagi tawuran, tidak ada lagi pengemis, tidak ada lagi gelandangan, tidak ada lagi rasa takut di jarah, di todong, di perkosa & tidak ada lagi orang yang hidup sengsara.

Walaupun masih dalam perdebatan, saya pribadi masih percaya bahwa penyebab semua itu adalah proses pembodohan bangsa yang telah berlangsung lama & sistematik. Berapa sih jumlah orang yang
berpendidikan S1 ke atas di Indonesia ? Berapa jumlah wajib pajak di Indonesia ? Berapa jumlah pengguna Internet di Indonesia? Berapa jumlah mahasiswa di Indonesia ? Berapa persenkah lulusan SMU / SMK yang tertampung di perguruan tinggi? – jawabannya akan sangat menakjubkan karena saat ini semua-nya berkisar di angka dua (2) juta orang saja dari jumlah bangsa Indonesia yang 200 juta manusia itu. Tidak heran jika sebagian besar bangsa ini masih hidup menggunakan otot-nya bukan kekuatan otak-nya.

Satu-satu-nya cara yang akan memberikan effek jangka panjang hanyalah dengan cara memandaikan bangsa ini. Saya yakin bahwa hanya dengan memandaikan bangsa ini maka dunia usaha, dunia pendidikan, dunia perdagangan, dunia industri di Indonesia akan semakin marak. Jelas utangan ke IMF, Bank Dunia, ADB bukan solusi yang baik!

Proses pemandaian yang paling sederhana adalah menyebarkan ilmu yang sempat kita miliki, sempat kita kumpulkan ke masyarakat banyak. CD-ROM yang di usahakan oleh rekan-rekan di APKOMINDO seperti rekan
Hoky, rekan Michael & banyak di sponsori oleh para pengusaha komputer Indonesia merupakan salah satu usaha sederhana untuk memandaikan bangsa ini. CD-ROM merupakan media yang sederhana & murah dalam penyebaran pengetahuan dibandingkan dengan buku.

Saya pada kesempatan ini ingin menyampaikan ucapakan terima kasih sebesar-besarnya pada semua rekan-rekan yang telah berpartisipasi dalam membantu penyebaran pengetahuan ini ke masyarakat banyak. Saya yakin sekali usaha teman-teman tidak akan sia-sia. Bagi rekan-rekan pembaca, saya sangat berharap agar anda dapat menyebarkan kembali ilmu yang anda peroleh ke rekan, tetangga, pacar, mertua, orang tua, kakek, nenek, oom, tante, opa, oma dsb agar semua orang di Indonesia dapat
merasakan manfaat yang baik dari teknologi informasi.

Mudah-mudahan usaha ini dapat di-ikuti oleh rekan-rekan terutama yang berada di perguruan tinggi untuk keluar dari menara gading-nya & secara real memberdayakan bangsa Indonesia . Agar semua ini menjadi awal sederhana dari sebuah proses panjang, mengangkat martabat & derajat bangsa Indonesia ke tingkat yang lebih baik, lebih beradab.

Saya pribadi tidak akan pernah bisa membalas amal & ibadah yang telah anda-anda berikan. Akan tetapi, saya yakin Tuhan tidak akan pernah salah menghitung pahala & riski yang sesuai dengan amal & ibadah yang telah anda berikan.

Terima kasih
Akhir Juli 2000
Onno W. Purbo
————————————-

 

Siapakah Onno W Purbo, saat ini?

Bekas Pegawai Negeri Sipil (PNS) & mantan dosen jurusan teknik elektro Institut Teknologi Bandung (ITB). Bidang yang diminati
adalah Internet & sekitar-nya. Masih aktif sebagai provokator di Computer Network Research Group CNRG ITB & Knowledge Management Research Group KMRG ITB. Saat ini telah menjadi orang bebas & lebih banyak bekerja sendiri di rumah untuk menulis artikel & buku dengan tujuan supaya orang Indonesia pandai di bidang IT. Tidak bekerja pada siapa-siapa kecuali di kejar deadline oleh rekan-rekan di media & organizer seminar / workshop. Telah menulis ratusan artikel & paper yang di publikasi di seminar, workshop & konferensi nasional & internasional. Jumlah buku yang
diterbitkan di Elexmedia Komputindo (kelompok Gramedia) paling tidak ada sepuluh (10) buah; salah satu best seller-nya adalah “Teknologi Warung Internet” – sehingga akhirnya menyebabkan di angkat sebagai provokator Asosiasi Warung Internet (AWARI) dengan pangkalan tetap-nya di asosiasi-warnet@egroups.com.
Dalam semua tulisan tentang Onno W Purbo, tidak disebutkan satupun tentang title yang pernah diraih dan disandang Onno W Purbo. Kecuali tulisan Onno W Purbo saja. Tapi jika melihat apa yang ditulis di wikipedia.org, kira-kira, embel-embel yang menyertai nama Onno adalah, Ir. Onno W Purbo.M.Eng.Ph.D.
Nama lengkapnya adalah  Onno Widodo Purbo. Lahir di Bandung Jawa Barat pada Tanggal 17 Agustus 1962. Pada Agustus nanti, usia Onno adalah 49 tahun. Mengambil strata satu di ITB, jurusan Tehnik Elektro.(1987).
Tahun 1989, kuliah di Kanada pada McMaster University . Tahun 1993 mengambil strata tiga (S3) di Universitas Waterloo , Kanada.
Jika ingin tahu siapa pun Onno selanjutnya, lihat saja di internet, antaranya http://onno.vlsm.org/v09/onno-ind-1/, http://onno.vlsm.org/, Index of /bebas/v14/v09/onno- ind -1/physical dan sejumlah keterangan lainnya.
———————–

 

Sebuah Tulisan lengkap tentang Onno , dibuat Agus Sofian di Majalah pantau . Ini dia.
Oleh AGUS SOPIAN

AWAL September 2000. Sebuah berita dimuat koran-koran: polisi menangkap Adrie Taniwidjaya, seorang insinyur teknik fisika lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB). Ia dituduh mencuri pulsa telepon.

Penangkapan bermula dari aktivitas Taniwidjaya mengoperasikan Voice over Internet Protocol (VoIP), suatu temuan teknologi terkini yang memungkinkan konsumen dapat berhemat besar-besaran saat berhubungan telepon. Untuk jangkauan lokal, telepon VoIP mungkin tidak istimewa-istimewa amat. Tapi cobalah gunakan untuk SLI (sambungan langsung internasional), seumpama ke Amerika. Telepon VoIP hampir dapat dipastikan super irit. Orang hanya perlu merogoh kocek sekitar Rp 2.000 per menitnya atau kurang lebih 20 persen dari tarif normal.

Onno Widodo Purbo punya cara sederhana untuk menjelaskan mengapa VoIP tidak bisa diidentikan dengan pencurian pulsa. Ia mengambil analogi bisnis kendaraan bus. Taruhlah PT Telkom sebagai pengusaha bus, yang kemudian menyewakan busnya kepada seseorang. Si penyewa bisa saja mengubah kapasitas kursinya, yang semula diperuntukkan tiga orang menjadi delapan orang.

VoIP dengan sendirinya tidak bisa dianalogikan memparalelkan saluran telepon atau mencatut listrik milik Perusahaan Listrik Negara. Ini karena pengusaha VoIP tetap menggunakan kabel telepon secara biasa, membayar abonemen secara biasa dan membayar tagihan pulsa pun secara biasa. Yang tak biasa, lalulintas data suara VoIP diatur oleh provider internet atau ISP (internet service provider). Apa artinya buat Taniwidjaya?

“Adrie enggak salah apa-apa kok. Tuduhannya kan mencuri pulsa. Padahal leased line dia bayar ke Telkom, padahal akses internet dia bayar ke ISP-nya, padahal abodemen telepon dia bayar ke Telkom, engga ada pulsa yang dicuri,” ungkap Purbo.

Purbo bukanlah anonim dalam jagat telematika. Bersama Asia Internet Interconnection Intiatives (AI3) Project, organ riset internet paling berpengaruh di Asia, dan Computer Network Research Group (CNRG), lembaga yang diprakarsainya, Purbo ikut memberikan cetak biru terhadap pengembangan internet di Indonesia. Untuk ketekunan dan kepakarannya, sederet penghargaan telah diraihnya. Sebut saja Golden Award for Indonesian Telematika Figure dari Kamar Dagang Indonesia (2000), ASEAN Outstanding Engineering Achievement Award dari ASEAN Federation of Engineering Organization (1997), atau Penghargaan Pemenang Adhicipta Rekayasa dari Persatuan Insinyur Indonesia , selain tercatat dalam buku American Men and Women of Science (1992). Masyarakat internet bahkan menggelarinya ‘profesor internet’, sebagian mendaulatnya jadi ‘menteri internet’-suatu penghargaan yang acap membuat Purbo merasa geli.

“Modal saya,” kata pria yang biasa menuliskan namanya Onno W. Purbo ini, “betul-betul modal dengkul. Saya tidak pernah belajar formal tentang teknologi informasi, tidak pernah belajar formal tentang internet. Saya jelas lebih bodoh daripada adik-adik mahasiswa di ITB. Lha wong sering nanya ke mereka kok saya ini. Terus terangnya, saya praktis tidak punya apa-apa secara formal.”

Purbo agaknya telah memperkaya khazanah humor dunia, melengkapi dongeng Albert Einstein yang mampu menciptakan teori relativitas yang terkenal itu padahal ia pernah mendapat nilai D untuk fisika; atau kisah pemikir ekonomi kaliber doktor sekelas Karl Marx yang justru hidup dalam lembah kemiskinan.

ONNO W. Purbo tumbuh dalam lingkungan keluarga yang mencintai ilmu dan memuliakan pendidikan. Ia sulung dari tiga adik: Heru Wibowo Poerbo, Lita Widayanto Poerbo, dan Benyamin Wirawan Poerbo. Empat bersaudara ini menamatkan program kesarjanaannya di ITB. Nama Poerbo yang mereka sandang berasal dari ayahnya, Hasan Poerbo; juga alumnus ITB. “Semua anak ibu memakai ejaan seperti bapaknya. Hanya dia sendiri tuh yang ndak mau,” ungkap Tini, sang ibu, menerangkan ‘keganjilan’ ujung nama si sulung.

Poerbo senior meninggal tahun lalu dalam usia 74 tahun. Jabatan terakhirnya, direktur Pusat Penelitan Lingkungan Hidup, lembaga subordinan kementrian negara lingkungan hidup, yang pernah dikendalikan salah seorang teman lamanya, Emil Salim.

Sebagian besar waktu Poerbo dihabiskan untuk mendidik-seperti juga leluhurnya, Ki Hajar Dewantara, pendiri Taman Siswa, lembaga pendidikan bumi putra di zaman kolonial Belanda. Sebagai pendidik, Poerbo mengajar di ITB, selain di Universitas York , Amerika Serikat dan Universitas Waterloo, Kanada.

Hasan Poerbo disebut-sebut orang pertama dari Indonesia yang berhasil menembus program beasiswa Universitas Liverpool, Inggris, salah satu institusi pendidikan tinggi terbaik dunia. Ia meraih master dalam studi desain perencanaan kota , melengkapi kesarjanaannya dalam disiplin arsitektur. Selama belajar di sana , ia sempat digoda Presiden Soekarno untuk segera pulang. Keahlian Poerbo diperlukan untuk menggarap sejumlah proyek mercusuar sebagai bagian dari propaganda politik penguasa dalam menghadapi kekuatan Barat. Poerbo tak bergeming. Ia memilih belajar sampai khatam.

Rezim Soeharto rupanya mencium juga potensi kepakaran dalam diri Poerbo. Namun, belum lagi potensi tersebut dapat digali secara optimal, kasus Taman Mini Indonesia Indah (TMII) menyurutkan langkah Poerbo untuk masuk ke dalam lingkaran kekuasaan.

Masih segar dalam ingatan Tini, suatu sore rumahnya didatangi oleh sejumlah orang yang mengatasnamakan utusan Soeharto, presiden kedua Indonesia . Mereka meminta Poerbo untuk segera ke Jakarta menemui orang nomor satu itu. Dengan bekal uang belanja sehari-hari, Poerbo berangkat. Tak tahunya, ia harus menghadap Tien Soeharto, ibu negara, yang selama ini sering menghubunginya via sejawatnya di ITB. Tien Soeharto mengemukakan keinginannya untuk membuat sebuah miniatur semacam kompleks Madurodam di Belanda, yang kelak dinamakan TMII.

Poerbo menyanggupi. Syaratnya, pembangunan dilakukan pada rencana pembangunan lima tahun berikutnya. “Sebaiknya tidak sekarang,” kata Poerbo sebagaimana dikutip Tini, “Sekarang ini masanya kita mengembangkan sarana dan prasarana untuk pembangunan ekonomi, sekolah-sekolah dan puskesmas.” Puskesmas yang dimaksud adalah pusat kesehatan masyarakat, klinik tempat orang berobat yang sebagian besar dana operasinya ditanggung oleh pemerintah.

Tien Soeharto berang, dikabarkan meninggalkan tempat pertemuan. Poerbo tak urung kena interogasi pasukan pengawal kepresidenan dan aparat intelijen selama dua hari. “Saya cemas. Tapi saya bersyukur akhirnya dia pulang. Soalnya, dulu itu, yang kontra suka dibuang ke pulau Buru . Bapak diselamatkan oleh Ali Sadikin,” ungkap Tini.

Di mata anak-anaknya, Tini-bersepupu dengan Karlina Leksono, aktivis masalah perempuan, istri Ninok Leksono, wartawan Kompas-ibu yang penuh tanggung jawab. Ia memilih berhenti mengajar di sebuah sekolah menengah atas di Jakarta kemudian memusatkan diri sepenuhnya pada rumah tangga. Ia menjadi pengasuh yang teliti bagi anak-anaknya, dan manajer yang cekatan bagi suaminya. Seluruh kegiatan suaminya, ia organisasikan dengan rapi mulai jadwal memberikan kuliah, menyampaikan ceramah di luar kampus, sampai merapikan buku, makalah, dan karya tulis lainnya. Di kemudian hari, Tini menjadi prototipe buat para istri anak-anaknya.

PADA Jumat Kliwon, 17 Agustus 1962, menjelang subuh di Bandung . Onno W. Purbo lahir dari sebuah kecelakaan. Sang ibu terpleset gara-gara menginjak sabun kala usia kandungannya masih delapan bulan. “Bleeding. Darah di mana-mana,” kenang Tini.

Sebagai anak yang lahir prematur, Purbo harus hidup dalam inkubator. Setelah beberapa hari, ia harus diangin-anginkan untuk mendapat udara yang cukup dan mempertinggi kekebalan tubuhnya. Pelan-pelan Purbo jadi bayi normal. Namun, memasuki usia ke seratus hari, Purbo terserang batuk ganas. Mulutnya tak jarang mengeluarkan darah segar. Padahal, di kandungan ibunya sebentar lagi akan lahir seorang adik. “Ibu melahirkan setahun sekali,” ucap Tini.

Apa akal? Purbo pun dilarikan ke eyangnya di Jakarta . Selama berbulan-bulan, Purbo diselimuti panasnya udara Jakarta . Ini ternyata banyak menolong memulihkan kesehatannya. Pada usia 11 bulan, Purbo ditarik ke Bandung . Empat tahun kemudian ia disekolahkan.

Masa sekolah dasar dan menengah Purbo dihabiskan di lembaga pendidikan Taruna Bakti. Semuanya di Bandung. Selama sekolah, prestasi Purbo biasa-biasa saja. Sekalipun demikian, ia tidak ditekan-tekan untuk belajar lebih giat, memungsikan otaknya lebih optimal lagi.

“Penggunaan otak optimal nanti saja saat kuliah. Kalau masih sekolah, biarkan saja apa adanya. Yang penting, harus ditumbuhkan keberanian berpikir dan mengambil inisiatif. Jangan lupa pula aspek rekreatifnya,” kata Tini.

Tini biasa memberikan lalapan daun antanan tiga lembar sehari agar Intellegence Quotient (IQ) berkembang. Antanan, yang berdaun seluas kuku jempol, ini banyak ditanam di halaman belakang rumahnya, di Bandung. “Khasiat Antanan sudah diriset di Beijing lho.”

Dan soal otak, Tini punya kisah yang tersimpan dalam benaknya.

Saat Purbo duduk di kelas keempat sekolah dasar, gurunya datang ke rumah. Sang guru mengeluhkan Purbo yang berkali-kali tidak mengerjakan PR (pekerjaan rumah). Katanya, selain bisa menghadirkan preseden jelek buat teman-temannya, hal itu pun besar kemungkinan akan melahirkan kebiasaan buruk bagi Purbo sendiri. Ia bisa menjadi siswa malas.

“Kenapa ndak mengerjakan PR?”tanya Tini saat sarapan. Bagi keluarga Hasan Poerbo, acara sarapan, demikian pula makan siang, bukan sekadar mengisi perut, tapi juga ajang komunikasi dan berbagi hati.

“Pusing,” Purbo buka mulut.

“Pusing? Pusing tidak bisa atau pusingÉ”

“Pusing aja.”

“Maksudnya sakit? Pening gitu?”

Purbo mengangguk.

Pertanyaan yang sama diulang-ulangnya. Jawaban Purbo tetap itu-itu juga.

Tini memutuskan membawa Purbo ke dokter. Sekurang-kurangnya, kata dokter, ada sepuluh penyebab sakit kepala, di antaranya duduk siswa yang terlalu jauh dari papan tulis atau justru terlalu dekat. Bahkan mata kena kapur tulis pun bisa membangkitkan rasa pusing. Nasihat dokter berikutnya yang masih diingat Tini kurang lebih, “Bawa saja anak ibu ke dokter bedah. Di sana kan ada rontgen.”

“Dokter bedah?” Tini terbeliak.

Berat hati campur deg-degan, Tini melarikan Purbo ke dokter bedah. Kepala Purbo difoto. Bertolak dari rontgenogram, dokter menyarankan agar otak Purbo dibedah saja.

“Dibedah?” Tini makin terbeliak.

Ragu-ragu dengan diagnosis dokter, Tini meminta foto ulang, sekalipun untuk itu ia harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.

Tidak sia-sia. Gambar yang dihasilkan kali ini benar-benar menggembirakan. Tak ada bintik apa pun di otak Purbo. Ia dinyatakan tak memiliki kelainan. Tapi hasil itu tidak membuat rasa pening di kepala Purbo jadi berkurang. Tini pun mengikuti saran dokter agar Purbo diperiksakan juga ke dokter mata. Tini baru tahu, ternyata ada kelainan di mata Purbo.

“Sejak itu ia memakai kacamata,” kata Tini.

KETIKA lulus dari ITB, Onno W. Purbo menyandang predikat mahasiswa terbaik fakultas teknik elektro. Itu tahun 1987. Ditengok ke belakang, predikat tersebut sepertinya lebih merupakan buah dari keuletannya. Sejak duduk di bangku kelas tiga menengah pertama, Purbo memang sudah memformat otaknya dengan pernak-pernik elektronik. Ia mulai dengan mengotak-atik tabung radio bekas; mencoba membuat pesawat radio amatir. Ia berhasil mewujudkan impiannya meski hanya bisa berkomunikasi lewat bahasa morse.

Di sekolah menengah akhir, keahliannya makin terasah, terutama setelah dia mendapat buku elektronika dari teman sekelasnya, Krishna Ariadi Pribadi. Berbagai tabung radio bekas pakai-model 6V6, 6L6, 807, dan lainnya-ia kumpulkan dan dirakit jadi pesawat radio amatir. Waktu perakitan hanya memerlukan waktu dua hari. “Yang lama cari komponennya,” kata Purbo.

Berbekal pesawat bikinannya, ia hampir tak punya lagi kendala untuk mengudara. Ia merasa, radio amatirlah yang membentuk karakter dan pola pengembangan diri dalam berinteraksi dengan dunia elektronika, termasuk komputer yang mulai dikenalnya sejak tahun 1981.

Perkenalan dengan komputer diawali oleh persahabatannya dengan Bachti Alisyahbana, putra Iskandar Alisyahbana, salah seorang guru besar ITB. Tidak hanya mencoba menjalankan dan menangguk kegunaannya, Purbo yang dasarnya suka ‘ngoprek’, mengobok-obok komputer itu. Di lain waktu, ia mencoba membuat program BASIC (Beginner’s All-purpose Symbolic Instruction Code), bahasa program aljabar sederhana dan mudah dipahami, yang kemudian banyak diaplikasikan dalam penghitungan bisnis dan industri.

Merasa dirinya banyak dibantu oleh teman-temannya, terutama fasilitas peralatan elektronik, suatu hari ia datang kepada ayahnya untuk meminjam kendaraan. Ia mengutarakan niatnya untuk berangkat ke Jakarta , membeli komputer. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung; 10 unit. Uang ini hasil patungan dengan teman-teman kuliahnya. Komputer-komputer inilah yang turut menghidupkan kegiatan ekstrakurikuler mahasiswa di lingkungan fakultas teknik ITB. Satu komputer, disewakannya Rp 500 per jamnya. Untuk urusan ini, Purbo sampai memutuskan cuti kuliah selama satu semester.

Pertengahan 1980-an, Purbo mulai menaruh perhatian besar pada pengembangan gabungan teknologi radio dan komputer. Hingga menjelang kuliahnya berakhir, di udara ia melakukan kontak intens dengan amatir senior seperti Robby Soebiakto dan Achmad Zaini atau IGK Manila untuk berdiskusi. Dari diskusi dan belajar informal, Purbo mendapat banyak pengetahuan.

Bersama teman-teman udaranya, ia merintis teknik komunikasi band 40 meteran (27 MHz). Teknik ini dikenal sebagai packet radio. Modusnya, radio disambungkan ke komputer lewat modem. Ia terkagum-kagum melihat layar komputer bisa bercakap melalui kibor.

“Itu mula pertama saya berkenalan dengan teknik komunikasi data yang relatif canggih,” katanya.

Pada saat itu, kenang Purbo, jumlah amatir yang menggunakan packet radio dapat dihitung dengan jari. Asal tahu saja, Organisasi Radio Amatir (Orari) pertama di Indonesia yang bekerja di packet radio adalah Lokal Orari Cibeunying, yang dibangun Purbo bersama kawan-kawannya.

Tak sebatas kongko dengan sejawatnya di dalam negeri, Purbo juga berkomunikasi dengan amatir di luar negeri. Pada tahap ini, Purbo memang sudah sampai pada penggunaan jaringan store-and-forward PBBS (Packet Bulletin Board System) amatir radio, yang kini lebih dikenal dengan email.

“Komunikasi digital sederhana ini,” ungkapnya, “kami lakukan di tahun 1986, mungkin belum terbayangkan oleh sebagian besar dari kita yang menikmati internet pada hari ini. Kekaguman demi kekaguman terus dirasakan dan mendorong untuk terus membaca dan mempelajari teknik-teknik komunikasi data secara otodidak.”

Selepas ITB, Purbo berangkat ke Kanada untuk meneruskan program belajar strata 2 (S-2). Ia merasa beruntung memilih kota Hamilton . Di sana , ia satu-satu-nya orang Indonesia . Ini memaksanya dirinya untuk lebih fasih berbahasa Inggris. Lebih beruntung lagi, di kota tersebut terdapat perkumpulan packet radio yang terbilang aktif: Hamilton Amateur Packet Network yang berhasil mengembangkan peralatan packet radio sendiri. Purbo tertarik dan bergabung.

Purbo memandang perlu mendalami sisi teknologisnya, kemudian menafsirkannya dalam bahasa sederhana, agar pengetahuan itu bisa dibagikan kepada siapa saja yang sehobi. Baginya, teknologi radio mendesak untuk dimasyarakatkan dan digunakan seoptimal mungkin untuk mengatasi kendala-kendala komunikasi di Indonesia , yang dideterminasi oleh hambatan geografis dan psikografis masyarakat.

Hambatan geografis yang dimaksud adalah luasnya wilayah, yang belum terkoneksi semuanya oleh infrastruktur transportasi. Sedangkan hambatan psikografis datang dari masih banyaknya warga yang masih buta huruf, selain masih rendahnya budaya baca. Kedua hambatan ini sulit dipenetrasi oleh suratkabar atau media-media cetak lainnya. Hanya radio dan televisi yang dapat memberikan jawaban jitu karena keduanya bekerja melalui gelombang udara.

Masalahnya, tutur Purbo, di Indonesia, gelombang udara diidentifikasi sebagai sarana transportasi udara dan menjadi sumber daya alam yang “terbatas.” Ini bentuk hambatan lain yang akan memperlamban sirkulasi informasi. Ceritanya akan lain, sekiranya rakyat kecil di pedesaan diberikan keleluasaan untuk membuat pemancar-pemancar siaran. Tak perlu berkekuatan pancar 100 kilowatt seperti izin yang diberikan kepada pengusaha-pengusaha radio, rakyat di dusun cukup diberi 10 watt saja. Mungkin tidak bisa digunakan untuk adu gengsi, tapi kekuatan sebesar itu cukup untuk menggeber komunikasi interaktif: murni dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.

DARI Kanada, pada 1994, Purbo membawa pulang dua gelar akademik. Dari Universitas McMaster, ia meraih master dalam bidang laser semikonduktor dan fiber optik. Dari Universitas Waterloo, ia mendapatkan doktor dalam bidang devais silikon dan rangkaian terintegrasi.

Tiba di Indonesia, Purbo langsung menyingsingkan baju untuk ikut membenahi sistem jaringan komputer dan internet di Indonesia . Ia memulainya dari lingkungan terkecil, tempatnya mengajar itu: ITB. Ia punya ambisi besar, yakni mewujudkan gateway internet pendidikan yang bisa mengaitkan berbagai lembaga pendidikan yang ada.

Kebetulan ITB masuk ke dalam jaringan kerja Asia Internet Interconnection Intiatives (AI3) Project yang bermarkas di Jepang. Proyek ini dimotori oleh dua samurai internet yakni Jun Murai, pelopor internet pendidikan di Jepang yang menyandang gelar profesor doktor, serta Suguru Yamaguchi, ilmuwan muda berusia 30 tahun, juga seorang profesor doktor. Yamaguchi adalah pemipin langsung AI3.

Purbo senang, sebab satuan tugas AI3 ITB-yang dipimpin Widiadnyana Merati, ketua Lembaga Penelitian ITB-mendapat dukungan penuh sivitas akademika, hingga timnya dapat bekerja lebih leluasa tanpa gangguan birokrasi ini-itu. Kelak, ITB akhirnya mampu mewujudkan gateway pada kecepatan 2 Mbps, selain memasang serat fiber optik sepanjang 11 kilometer, yang mengikat kawasan kampus menjadi sebuah kesatuan. Warga ITB bisa menikmati internet dengan harga superhemat: Rp 10 ribu per bulan.

Purbo pun punya perhatian lain pada pengembangan organisasi riset informal. Di mata Purbo, riset swadana bisa menghasilkan energi kreatif yang tidak terkira. Semua yang terlibat tak perlu harus cemas dikejar target, dan dengan demikian, inisiatif dapat berkembang bebas, inspirasi mengalir lepas. Ia kemudian memprakarsai pendirian Computer Network Research Group (CNRG) pada 1994. Segera CNRG membuktikan kata-katanya.

Institusi itu, yang ia sebut OTB alias organisasi tanpa bentuk, kurang dari lima tahun mampu menjadi salah satu pendorong jaringan internet pendidikan di Indonesia yang mengaitkan sekurang-kurangnya 25 lembaga pendidikan.

Di awal tahun 1999, ketika Purbo mengepalai Perpustakaan Pusat ITB , ia membawa sempalan eksponen CNRG untuk mengembangkan pengelolaan perpustakaan di Knowledge Management Research Group (KMRG). Hasilnya, Digital Library & Library Network terbentuk. Jaringan ini merangkaikan sedikitnya 20 unit perpustakaan di seluruh Indonesia . Ismail Fahmi, sejawat Purbo, lantas memotori etape selanjutnya hingga menjelma jadi Indonesia Digital Library Network (IDLN).

Sekalipun mengambil domisili di ITB dan diawaki seluruhnya oleh orang-orang ITB, CNRG hampir tidak pernah mendapat dana riset dari ITB, kecuali dana awal sebesar Rp 100 juta melalui Lembaga Penelitian ITB. “Sebagian besar kegiatan pembangunan ini dilakukan secara mandiri dan swadana. Praktis tidak melibatkan langsung Bank Dunia, IMF, ADB. Hal ini paling tidak mengurangi rasa berdosa kepada rakyat,” kata Purbo.

Purbo mungkin layak membanggakan CNRG. Dari lembaga ini pula, sekitar 20 buku panduan mengenai konsep jaringan dan internet diluncurkan ke hadapan publik dalam bahasa dan metode sederhana, semisal konsep jaringan tanpa kabel (wavelan) atau konsep tentang warung internet. Harganya pun sederhana: antara Rp 15 ribu-Rp 20 ribu per buku.

Di luar buku, CNRG aktif mempresentasikan hasil-hasil penelitiannya di berbagai seminar, workshop, konferensi, dengan frekuensi rata-rata satu sampai tiga per minggu. Jika hendak diperpanjang, catatan lain menunjukkan, ribuan artikel disebarkannya lewat di majalah atau koran, selain dalam CD-ROM berkat uluran tangan Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Indonesia .

Di tingkat elit, CNRG pun ikut berbicara dalam komisi regulasi telekomunikasi, regulasi internet di Indonesia , selain memimpin penyuntingan naskah Nusantara 21.

“Tapi… yang menurut saya paling berkesan adalah pemantauan pemilu,” kata Basuki Suhardiman, sejawat Purbo yang kini mengendalikan CNRG.

Saat itu CNRG digandeng Forum Rektor. Peran yang dimainkan CNRG adalah melaporkan hasil perhitungan suara pemilihan umum (Pemilu) 1999 dari berbagai wilayah. Untuk peran ini CNRG sama sekali tak dibayar. Padahal, ditilik dari angka PvT (Parallel vote Tabulation), pemilu di Indonesia jelas terbesar di dunia karena melibatkan 300 ribu tempat pemungutan suara (TPS), dan 9.000 TPS di antaranya dijadikan sampel PvT. Sampel ini diperlukan untuk melihat validitas data perhitungan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

“Data-data inilah yang bisa diterima Carter Center ,” ujar Suhardiman.

Carter Center , bikinan mantan Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter, adalah salah satu lembaga internasional yang turut memantau pemilu 1999.

“Kalau nggak ada data-data itu?”

“Mungkin no opinion,” Suhardiman mengangkat bahu.

TAHUN 1999 adalah periode penting dalam hidup Onno W. Purbo. Ia menikahi Nurlina, seorang perempuan gesit, staf salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mengorganisasikan dana internasional untuk sejumlah LSM di Indonesia. Ini pernikahan kedua bagi Purbo, setelah dua tahun menduda. Sebelumnya, Purbo menikah dengan Nita Trejuningdyah pada 1988.

“Enak sekarang. Ada yang ngurus,” komentarnya, pendek.

Nurlina agaknya tahu impian Purbo selama ini. Itu sebabnya, ketika Purbo diberhentikan dengan hormat dari statusnya sebagai pegawai negeri sipil di ITB, Nurlina kalem-kalem saja. Sekalipun tetap di ITB, Nurlina tidak yakin Purbo bisa berkembang.

Nurlina mengungkapkan, pada mulanya Purbo hanya menginginkan mundur dari dosen tetap saja, untuk kemudian menjadi dosen paruh waktu. “Tetapi ternyata malah diberhentikan sebagai PNS.”

Basuki Suhardiman mengesani adanya kecelakaan dalam kasus ini. Menurutnya, akan lain kisahnya bila Purbo membicarakan dulu rencana-rencananya dengan petinggi-petinggi ITB.

“Semuanya bisa dibicarakan dulu. Tapi Pak Onno selama ini diam saja dan memilih memakai jalur surat . Ya…di atas juga yang gila tidak kurang,” kata Suhardiman. Ia memelankan suaranya, “Kita doakan saja biar dia selamat.”

Purbo berada di lingkungan ITB sebagai pegawai negeri sipil sejak tahun tahun 1989. Lantaran tak pernah mengurusi kenaikan pangkat, dalam sebelas tahun perjalanan karirnya, Purbo hanya mampu menempati jenjang kepangkatan III-B atau hanya beda satu tingkat dari lulusan strata 1 (S-1) yang begitu menjadi PNS langsung III-A. Jabatan terakhir yang diemban Purbo adalah kepala Perpustakaan Pusat ITB.

Total gaji yang diterima Purbo sebagai pegawai negeri sipil dan kepala perpustakaan sebesar Rp 760 ribu. Jumlah ini jauh lebih kecil dari penghasilannya sebagai penulis artikel, buku, penceramah, selain konsultan teknik jaringan komputer dan internet. Sekadar contoh, satu buku saja-berukuran semi pocket setebal 150-an halaman-Purbo dibayar sekitar tiga juta rupiah.

Kalau Purbo bersikap enteng-enteng saja terhadap pemberhentian dirinya, itu barangkali bukan lantaran ia merasa jalan hidup yang ditempuhnya bakal bertabur rupiah. Ia menerjemahkan pemberhentian tersebut lebih sebagai suatu permulaan untuk membumikan prinsip-prinsip yang diyakininya selama ini. Prinsip-prinsip untuk menyebarkan ilmunya ke masyarakat tanpa sekat-sekat birokrasi dan akreditasi.

“Selama mengajar di ITB dan memberikan seminar di luar,” ungkap Purbo, “lama-lama melihat ada gap dari sisi keilmuan antara ITB dengan masyarakat umum.”

Dalam pandangannya, tantangan terbesar di era cepat ini adalah bagaimana mensintesa secara serius ilmu pengetahuan untuk disebar kepada masyarakat secepatnya, seluas-luasnya. Keadaan ini bukan saja akan dapat mengakselerasi terbentuknya masyarakat pintar, institusi pendidikan yang berfungsi sebagai produsen informasi pun akan menarik manfaatnya.

Siklus perputaran pengetahuan yang sangat cepat apalagi didukung teknologi informasi seperti internet, perpustakaan digital, dan manajemen yang tertata dengan rapi akan melahirkan umpan balik berupa kritik atau saran masyarakat. Berbasis kepada umpan balik, pemurnian pengetahuan kemudian dilakukan dengan menjalani siklus tersebut berkali-kali, hingga pengetahuan yang dihasilkan semakin hari semakin baik.

Kunci menuju sistem distribusi pengetahuan semacam tadi menurut Purbo adalah dengan membuka katup-katup proteksi ilmu pengetahuan. “Proteksi knowledge seperti hak cipta, paten dan akreditasi bukan mustahil justru pada akhirnya akan menghambat percepatan siklus pengetahuan dalam platform informasi yang demikian cepat.”

Itulah nasihat terakhir Purbo buat ITB. Juga dirinya.

KARIER akademik Onno W. Purbo mungkin berakhir. Tapi, komitmennya untuk membuat masyarakat pintar, setidaknya melihat lima juta anak bangsa masuk ke internet, belumlah padam. Untuk ini, ia memilih jalan lain, di luar jalur formal seperti memberikan kuliah di kampus-kampus. Jalan itu menulis.

Purbo membubuhi kepala emailnya: “Independent Writer.”

“Saya manusia malam,” ujar ayah dari Ito, Reza, Atik, Dery, dan Dzaq ini mengungkapkan caranya mengatur waktu. Ia menjelaskan, normalnya ia berangkat tidur pukul 21.00 dan bangun pukul 02.00. Di sela-sela keheningan, ia mengkonsentrasikan pikirannya menggauli bahasa, ikon, dan lambang-lambang ilmu pengetahuan untuk dituangkan ke dalam karya tulis dengan deskripsi sederhana, sehingga dapat disimak oleh mereka yang sama sekali tidak pernah bersentuhan dengan ilmu pengetahuan.

Tulisan-tulisan Purbo tersebar di berbagai media, seperti Kompas dan detikcom. Ia tak tertarik untuk mengarsipkan, apalagi menerakan hak cipta (copy right) terhadap karya-karyanya. “Saya sih copy left atau copy wrong saja… hehehe,” ujarnya. Selain tak punya waktu, ia tak yakin arsipnya akan terawat dengan baik. “Sekalinya bikin hard copy, dibuat berantakan anak saya, kali.”

Sejumlah temannya yang tahu benar gaya hidup simpel ala Purbo menghubunginya, dan meminta izin mengumpulkan tulisan-tulisannya itu, termasuk makalah dan kertas kerja lain. Purbo tak keberatan. Tulisan-tulisan Purbo pun kini mejeng di www.bogor.net. Ini melengkapi entri dirinya di dunia maya, yang melalui fasilitas mesin pencari Geogle, umpamanya, mencapai 2.370 entri.

Tulisan-tulisan Purbo, ditilik dari tingkah laku bahasa, agaknya belum bisa dikatakan siap saji, gagahnya press klaar atau fit to print. Ia masih suka keliru menerapkan kata depan dan awalan. Kosa kata bahasa asing pun, yang diambilnya secara mentah-mentah dan bertebaran di sana-sini, kadang-kadang terasa cukup berat membebani tulisan-tulisannya.

Purbo berdalih, bukannya tak ingin berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, namun ia memang tak tahu padanan yang tepat dari suatu istilah asing, sementaranya idenya tak dapat dihentikan oleh hal-hal teknis semacam itu.

Sekalipun teknik penulisan belum begitu prima, tulisan-tulisan Purbo tidak bisa dikatakan jelek. Ide-idenya, keberaniannya untuk melabrak definisi-definisi baku , memberi roh terhadap karya tulisnya, sekaligus menutup kelemahan teknis yang dimilikinya. Ditambah tulang punggung kepakaran yang melekat kuat pada dirinya, sepertinya Purbo bukan hanya ‘penulis biasa’ tapi telah menampilkan dirinya sebagai author, suatu jenjang semu yang hanya dipunyai oleh mereka yang tertib dalam mengeksplorasikan nalar dan intuisinya.

Karya tulis Purbo selalu diiringi tiga tema besar: pendidikan, penguatan arus bawah, pemberantasan monopoli sumber daya. Untuk yang disebut terakhir, Basuki Suhardiman, sejawat Purbo di ITB, kadang-kadang merasakan adanya kecenderungan pemikiran Purbo yang menyederhanakan masalah.

Dalam hal pemisahan (unbundling) di tubuh PT Telkom dan Indosat (Indonesian Satellite Corporation), misalnya, Suhardiman punya kritik untuk Purbo. Menurut Suhardiman, dipecahnya PT Telkom dan Indosat ke dalam beberapa perusahaan, yang menurut Purbo akan mendorong persaingan sehat di sektor komunikasi, justru bisa menghadirkan resiko ekonomis pada masyarakat luas.

“Divisi-divisi baru pasti akan membutuhkan biaya operasi yang lebih besar dibanding waktu seatap. Akibatnya, yang rugi ya masyarakat, ketiban kenaikan harga produksi,” ujar Suhardiman.

Perhatian Purbo terhadap PT Telkom dan Indosat, bukan cerita kemarin sore. Dalam ceramah, tulisan dan wawancara-wawancaranya dengan media massa , kedua badan usaha milik negara itu sering dicoleknya. Baginya, kebijakan unbundling akan menghindari terjadinya subsidi silang yang menghambat kompetisi sehat. Pada saat yang sama, para pemain baru dimungkinkan dapat langsung menawarkan layanan mereka di pasar tanpa perlu menggelar seluruh jaringan. Dalam jangka panjang, itu dapat mengerem PT Telkom atau Indosat untuk tidak mencoba sisa-sisa kekuatan monopolinya ke pasar, tetapi sebaliknya akan memberikan layanan secara nondiskriminatif berdasarkan harga dan perjanjian yang wajar. Ujung-ujungnya, masyarakatlah yang diuntungkan.

Sampai kapan konsistensi semacam itu akan bertahan? Tak jelas. Tapi, sejatinya Purbo bukan orang yang gampang berubah, setidaknya untuk kebiasaan-kebiasaannya. Ia masih terbiasa membalas email teman-temannya pada pagi hari, sekitar pukul 05.00. Ia juga masih terbiasa meminum bergelas-gelas susu, seolah masa kanaknya tak pernah bergerak. ***

Majalah Pantau, edisi September 2001
Posted by Agus Sopian

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments