Takengen | Lintas Gayo : Kepala Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) Kota Takengen Kecamatan Kebayakan Kabupaten Aceh Tengah mengeluhkan sejumlah kekurangan yang dialami sekolah yang dipimpinnya guna memaksimalkan proses belajar mengajar.
Menurut Kepsek, Lukman S.Ag.MBA, Kamis (5/4), dari 81 siswa di sekolah ini, 32 diantaranya memilih tinggal di asrama yang telah disediakan oleh pihak sekolah. Yang perempuan tinggal di asrama utama sedangkan yang laki – laki di ruangan terpisah yang letaknya berhadapan dengan asrama utama.
“Walau guru mencapai 24 orang guru PNS dan honorer serta didukung 6 guru yang telah memiliki sertifikasi, sekolah ini masih terasa kekurang guru yang benar-benar mau berkecimpung dengan dunia anak-anak yang berbeda secara fisik dan psikologinya,” ungkap Lukman lulusan Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa (SGPLB) Yogyakarta ini.
Selain persoalan guru yang mau bekerja sepenuh hati, menurut Lukman, sekolah tersebut juga butuh tambahan ruang kelas. “Saat ini ada lima jurusan, sejatinya setiap jurusan memiliki 6 buah kelas sesuai dengan tingkatan SD kendatipun siswanya hanya beberapa orang saja. Namun eksistingnya sekolah ini hanya memiliki 8 ruangan dari yang seharusnya 30 ruangan,” kata Lukman.
Akibatnya, ruangan- ruangan tersebut harus disekat untuk memisahkan setiap kegiatan belajar-mengajar. Bahkan ruangan kepala sekolah pun harus berbagi dengan ruangan praktek bagi para siswa, tambah Lukman.
Dirincikan Lukman, ruangan–ruangan yang ada saat ini hanya berukuran 7 x 8 meter, padahal ruang kelas untuk para siswa di SDLB tidak perlu besar, cukup 4 x 6 atau 5 x 6 saja. “Ruang belajar sekolah ini perlu banyak, bukan perlu luas dan setiap jurusan memerlukan 6 kelas”, ujarnya
Lain lagi persoalan minimnya alat praktek untuk latihan kerja bagi para siswa seperti mesin jahit. “Kebanyakan alat tersebut sudah rusak dan tidak ada pembaharuan, sehingga siswa yang ingin belajar harus berganti –gantian memakai alat tersebut,” kata Lukman sambil menegaskan bahwa tujuan minimal dari pendidikan di SLB di semua tingkatan adalah bagaimana upaya agar anak didik mereka bisa mengurus diri sendiri akan tetapi tidak tertutup peluang lebih dari itu. Bahkan menjadi PNS.
Kondisi ini juga dikeluhkan Sriyana, salah seorang pengelola asrama. “Saat ini sudah tidak ada lagi pembelajaran ekstrakurikuler di luar jam sekolah seperti menjahit, melukis atau kesenian lainnya,” ujarnya.
Harusnya, menurut Sriyana jika ada dukungan peralatan praktek seperti tahun-tahun sebelumnya anak-anak bisa menciptakan hasil kerajinan. “Bahkan ada yang layak dijual,” pungkas Sriyana. (yy/ru)
Ayo pak Dikjar, atau dermawan, hartawan yang mau menyumbang bagi anak-anak kita yang “luar biasa” ini. Sehingga kelak mereka bisa mandiri…
Guru yang tidak serius penyebabnya waktu dulu tahun 80-an mereka masuk ke situ karena mudah diterima jadi pegawai, sekaranglah hasil keikhlasan. Demikian juga mereka yang masuk sekolah perawat, masuk juga untuk cari kerja sehingga ketika menjalan tugas juga tudak ikhlas yang menderita adalah masyarakat.