Memetakan Persoalan UGP Dan Upaya Menemukan Solusi Alternatifnya

Oleh :Awaludin Arifin, S.I.Kom*

Pembicaraan tentang Universitas Gajah Putih (UGP) hingga sampai saat ini masih sering dibcarakan oleh berbagai kelangan masyrakat terutama masyarakat yang berada di wilayah tengah Aceh, akademisi, dan mereka yang menaruh harapannya kepada UGP. Ada yang merasa pesimis, resah, dan apatis menyikapi berbagai problematika UGP yang sampai saat ini masih menyisakan berbagai pertanyaan mendasar di tengah masyarakat, mahasiswa dan kita semua.

Berawal dari pergerakan mahasiswa dalam melakukan aksi demonstrasi yang kerap terjadi sebagai akses menuntut berbagai pembenahan terhadap kualitas pelayanan akademik yang  selama ini dijalankan. Aksi demonstrasi pun berlanjut hingga runtuhnya tembok  pertahanan  Rektor UGP Mirda Alimi dari kursinya sebagai orang nomor wahid di UGP  karena dianggap tidak legal dalam mata Undang-undang.

Konon, aksi mahasiswa tersebut hingga sampai saat ini juga masih berlanjut, hanya saja dalam jumlah massa yang lebih sedikit dengan itensistas yang cenderung berkurang dan juga dengan isu yang berbeda. Jika dilihat dari rentetan aksi protes mahasiswa tersebut menunjukkan betapa besar harapan mahasiswa dan masyarakat agar terjadinya pembenahan secara masif di alamater ini.

Disamping itu terkesan pihak Perguruan Tinggi hanya memilih diam dalam menyikap tuntutan mahasiswa. Kendati pendekatan-pendekatan dialogis antara Perguruan Tinggi dan mahasiswa sering dilakukan dengan difasilitasi oleh berbagai pihak, namun berkali-kali juga menemukan jalan buntu dan tidak ada titik temu dan benang merah yang dihasilkan. Sedangkan rektorat maupun yayasan tidak memberikan penjelasan secara terbuka kepada publik baik melalui media massa maupun masyarakat, sehingga wajar jika masyarakat bertanya-tanya tentang keberlanjutan UGP.

Memetakan Persoalan

 Menyikapi polemik UGP yang tak kunjung selesai hinggai sampai saat ini, penting kiranya pihak pengelola Perguruan Tinggi dan juga Yayasan untuk memetakan persoalan yang  sebenarnya, dengan mencari sumber permasalahan hingga keakar-akarnya dengan melibatkan berbagai komponen elemen masyarakat, akademisi, profesional, dan bahkan pimpinan UGP terdahulu. Hal tersebut dilakukan bukan untuk mencari “kambing hitam” sebagai pemicu persoalan. Melainkan sebagai upaya untuk menemukan cara terbaik dalam menyelesaikan permasalahan. Bagaimana mungkin persoalan akan terselesaikan, jika pemetaan terhadap permasalahan tidak dilakukan, sebab tanpa pemetaan yang dilakukan secara komperhensif, maka bukan permasalahan yang terselesaikan, justru masalah yang baru akan terus datang silih berganti.

 Saya melihat ada berbagai persoalan yang harus disegerakan untuk ditemukan solusinya. Diantaranya yaitu; pertama, peningkatan sumber daya manusia (SDM) terutama tenaga pendidik dan dosen. Masih banyaknya dosen-dosen yang masih berkualifikasi pendidikan strata satu (S-1) di beberapa program studi tertentu. Diusia UGP yang sudah puluhan tahun berdiri (dari sekolah tinggi) hingga sampai saat ini belum ada dosen murni UGP yang sudah bergelar S-3 serta dosen tersertifikasi. Tentu ini bukanlah kondisi ideal bagi perguruan tinggi sehat.

Hal tersebut pun kian parah dampaknya disaat terbitnya peraturan Negara yang membatasi Pegawai Negari Sipil (PNS) non-dosen untuk menjadi dosen dan menduduki jabatan tertentu di Peguruan Tinggi. Atas dasar peraturan tersebutlah menjadi alasan kuat mahasiswa untuk melengserkan Mirda Alami dari kursi rektornya.

 Kedua, menyinergikan antara Yayasan Gajah Putih dengan pihak Rektorat (Universitas). Dalam membangun UGP lebih baik, bekompetitif, dan menjadi Perguruan Tinggi sehat dengan mengacu kepada standarisasi yang ditetapkan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI) tentu sungguh amat sulit jika tidak ada kerja sama yang baik antara kedua belah pihak. Tarik ulur kebijakan dan persimpangan kepentingan antara kedua belah pihak (yayasan dan rektorat) semakin memperparah kondisi UGP. Kedua belah pihak seyogyanya saling duduk berdampingan, dan saling menumbuhkan kepercayaan bukan malah saling mencurigai bahkan tidak sangat tidak patut jika saling menyalahkan terhadap polemik yang terjadi.

Ketiga, pembenahan internal UGP. Dengan terpilihnya rektor yang baru Adnan, SE., M.Si setidaknya pertanyaan mendasar masyarakat bahkan mahasiswa terhadap legalitas rektor sudah terjawab, opini publik yang selama ini menganggap rektor UGP tidak sah kini tidak lagi dipersolkan. Dengan demikian Adnan telah “legal” dimata Undang-Undang dan masyarakat, dan mahasiswa akan tetapi belum tentu mendapatkan “legistimasi” masyarakat.

legistimasi masyarakat terkait dengan keperayaan masyarakat, dosen, mahasiswa dan yayasan terhadap kepemipinannya dengan menunjukkan kapabilitasnya sebagai pemimpin yang dianggap  patut  dan layak untuk menyelesaikan persoalan UGP. Memang, amanah sebagai rektor bukanlah yang sederhana, telebih dengan rangakaian polemik UGP yang kian pelik. Akan tetapi, yakinlah bahwa Allah tidak akan pernah memberikan persoalan kepada hambaNya kecuali hamba tersebut mampu untuk melewatinya.

Setidaknya pekerjaan rumah (PR) utama ialah pembenahan mendasar dan sangat fundamental ialah dengan membenahi internal UGP itu sendiri, dengan menempatkan sesesorang sesuai dengan tempatnya. Kita patut mengapresiasi trobosan baru yang dilakukan oleh Pak. Rektor dengan adanya upaya untuk “mere-strukturasi” di berbagai bidang dengan mengurangi bidang tertentu dan menambahkan bidang lainnya. Akan, tetapi jika upaya re-struktur tersebut tidak dilakukan dengan profesional, maka yang terjadi justru akan menjadi “boomerang” bagi Pak. Rektor. Maka, upaya tersebut haruslah dibarengi dengan komitmen untuk melepaskan dari berbagai kepentingan dan bisikan dari orang-orang yang berkepentingan. Sehingga organisasi yang berdiri  menjadi organisasi bersih dan jauh terhindar dari kepentingan pihak-pihak tertentu yang mencoba untuk memanfaatkan kondisi UGP.

 Dalam upaya restrukturasi tersebut juga perlu diperhatikan beberapa hal mendasar, apakah semata-mata sebagai upaya efesiensi keuangan yang sekarang konon menjadi permasalahan mendasar UGP? Jika hal tersebut benar maka sudah dapat dipastikan pembenahan tersebut tidak berdampak secara langsung dan signifikan terhadap peningkatan pelayanan akademik. Memang, penggemukan pegawai di UGP  saat ini sudah tidak sesuai dengan pemasukan uang yang didapatkan dan sudah dianggap tidak wajar sehingga hal tersebut dianggap perlu dilakukan. akan tetapi jika berdampak buruk terhadap peningkatan kualitas dan perkembangan organisasi, maka perlu untuk meriview kembali kebijakan tersebut.

 Keempat, mengembalikan kepercayaan mahasiswa dan masyarakat. Kedua unsur tersebut adalah hal terpenting yang haruslah difikirkan dengan cermat. Mahasiswa adalah mitra kampus dalam menjalankan tugas dan peranannya. Dapat dibayangkan bagaimana perguruan tinggi dapat berdiri dengan tegak dan kokoh jika mahasiswanya tidak memiliki kepercayaan (sense of beelong) terhadapa almamternya.

Melupakan unsur masyrakat (terutama masyarakat yang mendiami wilayah Tengah) merupakan kecelakaan besar. Sebab tanpa adanya masyarakat UGP tak berarti apapun. Peranan masyarakat dalam pembangunan yang dikenal dengan Civil society yang menempatkan pergerakan masyarakat sebagai kekuatan yang dapat mengubah banyak hal merupakan modal utama dalam membangun UGP. Yaitu, dengan mengembalikan kepercayaan mereka kepada UGP

Mengembalikan Peranan Masyarakat

Kiranya permasalahan UGP semena-mena kita embankan kepada rektor yang baru Pak. Adnan , tentu sebagai manusia yang memiliki berbagai kekurangan sangatlah tidak “adil”. Terlebih kita “mem-bully-nya” dan menempatkannya sebagai orang yang patut disalahkan  ketika UGP tidak menemukan titik terang yang dapat mencerahkan kita semua bukanlah cerminan warga negara yang baik. Menaruh harapan kepadanya memang suatu yang wajar karena begitulah hakikat pemimpin.

Dari berbagai diskusi yang saya lakukan dengan para pendiri UGP (the founding father) tersebut selalu mengatakan bahwa UGP ini adalah didirikan oleh rakyat, dan juga untuk kepentingan rakyat,  keterlibatan masyarakat dalam membangun UGP merupakan sesuatu yang sangat diharapkan, karena begitulah prinsip pembangunan yang partisipatif. Lantas apakah yang dapat dilakukan oleh masyarakat saat ini?

Demokrasi telah menjadi cerminan kepada kita bahwa kedaulatan rakyat adalah kekuatan yang tidak dapat dikalahkan oleh apapun dan siapapun. Rektorat dan Yayasan haruslah dapat memanfaatkan kekuatan masyarakat dengan jalan memfasilitasi dan mengadakan pertemuan (gathering) dengan tokoh-tokoh dan pemuka masyarakat untuk menerima masukan, karena tanpa masyarakat UGP tidak berarti apapun.

Di tengah pembenahan yang sedang dilakukan, dibutuhkan kepercayaan masyarakat kepada UGP. Kepercayaan masyarakat kepada UGP adalah modal utama bagi pengelola UGP dalam mengepakkan sayapnya.

Jika masyarakat, yayasan, dan rektorat telah memiliki visi yang sama, tetapi tidak akan dapat berbuat banyak jika pemerintah daerah tidak berperan apapun. Dukungan  pemerintah dalam pembebasan lahan guna pengembangan UGP patut juga kita apresiasi. Sebagai pemegang otoritas tertinggi di Tanah Gayo pemerintah hendaknya memberi perhatian kepada UGP sebagai wujud pemerintah dalam mencerdaskan masyarakatnya.

Dengan demikian keberadaan beberapa unsur yaitu  yayasan, rektorat, masyarakat, dan pemerintah dengan duduk bersama untuk melihat lebih mendalam dan cermat terhadap berbagai persoalan UGP guna menemukan solusi-solusi yang konstruktif demi kepentingan mahasiswa dan masyarakat.

Semoga!

Dosen dan Ketua Prodi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosia dan Ilmu Politik Universitas Gajah Putih*

 

Berita Terkait : #UGP

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments

  1. Banyak hal yg hrus d kaji dlm ugp dan hrus segere d tuntas kn oleh pihak terkait… Sbagai generasi bangsa kami berkewajiban memperjuangan hak kami smenjak tahun 2011 tahun lalu atas persengketaan lahan yg blum jlas status dan surat pinjam pakainya