Oleh: Ulfa Khairina*
Saya sempat tercengang ketika menerima selembar kertas baru yang keluar dari mesin print out di International Office. Nama saya tercetak dengan benar beserta nomor identitas siswa dalam aksara China, kecuali nama dan nomor identitas. Permohonan admission notice yang baru diterima. Lembaran dan buku identitas siswa yang baru segera saya bawa ke Faculty of Television, Arts and Journalism. Di bawah fakultas terbagi tiga departemen lainnya. Karena sudah mencari tahu semester lalu, saya tidak kesulitan mencari School of Jurnalism untuk mendaftar ulang. Penyambutan ketua jurusan ramah. Ia memberi petunjuk segala hal pada saya, meskipun saya sudah setahun di kampus ini.
Dia berkata, “Kamu mahasiswa Indonesia pertama program IJC di kampus ini. Saya senang sekali, karena ke depan kemungkinan akan banyak sekali studi Asia Tenggara untuk fakultas ini. Mungkin kamu akan terlibat dalam studi ini,” IJC singkatan untuk International Journalism & Communication.
Sebagai bentuk penghargaan, saya hanya membalas “Xie xie laoshi (terimakasih, profesor)” meskipun saya tahu realitas terburuk ke depan pasti ada. Semua mahasiswa asing tahu hal ini.
Itu sebulan yang lalu. Saat saya datang ke fakultas mendaftarkan diri di jurusan.
Ketika minggu pertama menjalani kelas, semuanya serba mengejutkan bagi saya dan dua mahasiswa asal Asia Tenggara lainnya, dari Kamboja dan Thailand. Sebelumnya kami sudah saling mengenal di grup wechat jurusan, kami juga selalu diberi pemberitahuan dua hari sebelumnya untuk membuat presentasi menggunakan powerpoint tentang diri sendiri untuk perkenalan di opening ceremonial.
Di Aceh, orientasi pengenalan kampus tidak berada di kelas dan memperkenalkan diri dengan presentasi. Berbeda dengan mahasiswa yang datang dari Eropa dan Amerika, mereka mempersiapkan sangat sempurna. Lengkap dengan avatar diri dan video lucu yang mengundang tawa. Presentasi saya hanya berisi informasi standar dan tidak menarik. Akhirnya saya terpaksa menerima banyak pertanyaan dengan hati dag dig dug. Pertanyaan mereka kadang terdengar aneh, kadang masuk akal, kadang-kadang tidak tahu harus menjawab apa.
Program magister jurusan IJC tahun 2014 terdiri dari kumpulan mahasiswa dari empat benua, tidak ada mahasiswa dari benua Australia. Masing-masing negara hanya memiliki satu perwakilan saja. Kecuali Serbia, Pakistan dan Inggris. Perwakilan dari negara mereka lebih dari satu. Pengalaman tahun lalu, mahasiswa yang tidak memiliki teman senegara akan leluasa berteman dengan mahasiswa dari negara lain yang berasal dari negara berbeda. Nasib persendirian mengikat emosi pertemanan menjadi teman dekat. Begitu pula sekarang.
Saat mereka berbagi pengalaman, saya membuat kesimpulan. Mereka bukan orang sembarangan. Meskipun datang dari negara yang tidak bisa dibilang maju dan kaya. Tapi pengalaman mereka sangat luar biasa. Berbagai macam latar belakang mereka. Ada yang sudah menjadi dosen dan lulus magister sekali di negaranya dan sekarang magister kedua yang ditempuh. Ada yang sudah bertahun-tahun menjadi wartawan untuk media asing dan macam-macam lagi. Semua mencengangkan.
Keutamaan masuk jurusan ini adalah harus mampu berbahasa mandarin, meskipun tidak lihai seperti yang kuliah di jurusan lain yang bahasa pengantarnya mandarin. Kemampuan bahasa mandarin mereka tidak bisa dipandang sebelah mata. Bahkan untuk mahasiswi asal Serbia mereka sudah lulus HSK 6 dan secara akademik sangat sempurna.
Tidak semua mahasiswa di jurusan ini memiliki latar belakang pendidikan Komunikasi atau Jurnalistik. Ada yang dari ekonomi, keuangan, informatika dan sastra mandarin. Bagi yang berlatar belakang jurusan komunikasi atau jurnalistik, mereka ingin mendalami dan kelak berharap menjadi profesional ketika kembali ke negara masing-masing. Sementara untuk yang bukan berlatar pendidikan linier, mereka ingin mengkombinasikan dua jurusan menjadi ilmu baru yang berkompeten di negaranya. Khususnya bagi mahasiswa Eropa dan Amerika. Sehingga prospek yang dihasilkan di masa depan juga menjadi lebih luas. Tidak terpaku pada satu lapangan kerja saja dan mempersempit peluang kerja karena persaingan.
Di antara mahasiswa asal Asia, Eropa, Amerika, hanya Afrika saja yang tidak diwajibkan mengambil kelas bahasa mandarin satu atau dua tahun. Mereka bebas memilih, bahasa dulu baru kuliah setelah lulus ujian HSK atau langsung kuliah. Mereka semua memilih langsung kuliah. Meskipun ketika proses belajar dan menjalani hidup di Beijing sangat terlihat perbedaannya. Alasan apa yang membolehkan mereka tidak wajib berbahasa mandarin belum saya ketahui hingga sekarang.
Perkuliahan yang kami jalani di sini juga berbeda. Mungkin ada beberapa jurusan atau universitas yang sudah mengubah sistem pendidikan menjadi lebih terarah. Satu mata kuliah kami lewati di kelas selama empat sampai lima jam. Jumlah yang membosankan. Tapi sistem yang dipakai tidak hanya satu arah, sehingga lima jam terasa hanya dua jam. Dosen tidak hanya berbicara di depan kelas, dosen membuka dialog interaktif. Setiap mahasiswa dibebankan mempresentasikan apa saja setiap pertemuan. Dua hari sebelum kelas juga dikirimkan materi dengan jumlah tak bisa dikatakan sedikit.
Materi yang dibagikan itu sama sekali tidak dibahas lagi di kelas. Dosen memberikan materi lain yang berkaitan. Materi-materi yang diberikan hanya untuk membuka pengetahuan dan menciptakan ribuan pertanyaan saja ketika di kelas. Karena mengkaji international, pengetahuan saya tidak terbatas pada Tiongkok dan Indonesia saja. Bahkan saya baru sadar di beberapa negara ternyata ada kasus tertentu.
Ketika belajar biasanya saya mendapat judul untuk dipresentasikan. Jadi dengan mudah hanya membaca materi bab tertentu lalu pindahkan menjadi makalah atau presentasi. Dosen membebaskan materi apa saja yang berkaitan dengan mata kuliah. Mahasiswa Eropa selalu muncul di depan untuk mengawali semua presentasi. Sehingga mahasiswa dari Asia dan Afrika mengikuti sistem mereka ketika presentasi.
Presentasi yang paling menarik adalah saat mengkaji perkembanga media masing-masing di negaranya. Buku-buku pegangan yang beredar di Indonesia tentang sejarah jurnalistik di dunia bahkan tidak mengkaji secara spesifik. Di sini pula saya baru tahu kalau di beberapa negara Afrika mereka hanya memiliki satu media komunikasi. Di Sierra Leone, mereka hanya mempunyai satu stasiun TV. Mahasiswa asal negara ini bekerja untuk BBC TV yang berdomisili di Inggris. Sungguh mengejutkan.
Sebelumnya saya tidak sadar kalau beberapa media di Eropa banyak dipengaruhi oleh media Rusia baik secara dana dan pemberitaan. Selama ini saya mempelajari secara dangkal.
Cara mereka berdiri di depan kelas saat presentasi juga sangat berbeda. Bukan karena mereka sudah punya pengalaman kerja yang banyak. Bahkan kalau pengalaman kerja banyak pun bila latar belakang tidak mendidik setiap mahasiswa menjadi mandiri juga tidak berjalan baik. Itu yang terbandingkan antara mahasiswa-mahasiswa timur dan barat. Mahasiswa barat lebih tegar dan cerdas meskipun tak tahu banyak. Mereka tahu caranya menguasai keadaan ketika terpojok. Kondisi ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu dari timur.
Seminggu pertama di awal perkuliahan saya merasa sangat tertinggal. Dari sistem pendidikan, pengetahuan dan pengalaman. Namun saya yakin bisa melaluinya dengan tenang. Apalagi saat melihat bagaimana mereka berinteraksi satu sama lain. Tidak ada persaingan mengejar nilai terbaik meskipun semua ingin menjadi terbaik. Satu sama lain bahu membahu untuk menolong teman-temannya.
Kemudian saya berpikir. Inilah kenapa saya ada di kampus ini. Berada di kelas yang datang dari berbagai bangsa dan budaya. Secara tidak langsung mereka menjadi cermin untuk belajar lebih banyak dari pengalaman mereka. Latar belakang berbada memberikan cara berpikir yang lebih terbuka terhadap dunia yang kata orang semakin mengerikan.
*Ulfa Khairina adalah mahasiswi magister International Journalism and Communication di Communication University of China, Beijing. Alumnus Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry dan MAN 1 Takengon.