TRADISI BERSAWAH DALAM MASYARAKAT GAYO
(bagian Pertama dari dua tulisan)
Drs. Jamhuri, MA
A. Pendahuluan
Kehidupan masyarakat Gayo yang agraris sampai tahun 80-an belum tersentuh tekhnologi, system pengolahan tanah masih menggunakan tenaga manusia ataupun hewan. Tenaga manusia digunakan dalam seluruh aspek pertanian dan perkebunan, sedangkan tenaga hewan digunakan khusus dalam pengolahan pertanian dan kalaupun tenaga hewan digunakan untuk perkebunan hanya untuk mengangkut hasil.
Kehidupan bertani adalah kehidupan yang keras yang memerlukan kekuatan otot sejak dari mulai mempersiapkan penanaman benih sampai kepada panen mengambil hasil, untuk penanaman benih karena tidak luas tanah yang harus diolah maka secara keseluruhan petani mengerjakan sendiri dan tidak membutuhkan bantuan orang lain.
Pembahasan tentang dua aspek kehidupan bertani dan berkebun sangat luas maka dalam tulisan ini kami mencoba membatasi pada aspek pertanian yang lebih khusus lagi adalah bertani padi. Alasan memilih bahasan bertani padi karena sebenarnya masyarakat Gayo pada awalnya semua orang memiliki sawah dan tidak semua orang punya kebun.
Data yang dituangkan dalam tulisan ini bersifat subjektif yaitu berupa pengalaman dan pengamatan pribadi penulis sampai tahun 80-an, dengan dasar pengalaman dan pengamatan tersebut kemurnian adat dan resam masih terjaga. Untuk itu juga kritik dan saran dari semua pembaca merupakan upaya kelengkapan dari tulisan ini.
B. Mumelah dan Mudue.
Masyarakat yang hidup di dataran tinggi Gayo untuk menanam padi sangat tergantung pada musim, musim yang ditunggu tunggu yaitu musim hujan, ketika sebulan setengah menjelang musim hujan masyarakat mulai mempersiapkan penanaman benih (nos penyemen), pengolahan penanaman benih dimulai dengan menyangkul tanah seluas satu petak atau satu setengah petak tergantung pada luasnya sawah atau banyaknya sawah yang akan ditanami, setelah tanah dibongkar masyarakat petani mencari kayu untuk dijadikan tiang pagar (betersik) dan mencari pohon bambu (uluh regen) yang selanjutnya di belah dua (belide), pohon bambu ini diikat ke tiang dengan menggunakan rotan. Tanah yang sudah dibongkar dan dipagari dialiri air untuk dibajak dengan menggunakan kaki dan selanjutnya bibit padi disemai dan dibiarkan selama empat puluh (40) hari untuk selanjutnya ditanam.
Sambil menunggu bibit padi (seme) dapat di tanam petani punya waktu untuk membongkar tanah dengan menggunakan cangkul, pekerjaan ini dilakukan oleh kaum perempaun dan laki-laki dan terkadang sampai memakan waktu dua atau tiga minggu. Pekerjaan ini bisa lebih cepat dilakukan apabila tanah sawah tersebut dibongkar dengan menggunakan tenaga kuda dengan memakai alat yang disebut dengan nengel. Nengel dikendalikan seorang laki-laki yang ditarik oleh seekor kuda, kuda yang digunakan juga biasanya kuda jantan yang gagah dan besar.
Pekerjaan yang dilakukan dengan tenaga kuda (nengel) biasa untuk bagian pinggir dekat pataL harus dirapikan dengan menggunakan cangkul (ngaki) kerjaan ini biasanya di kerjakan oleh kaum perempuan sambil menunggu siap dibongkar atau juga tenaga kuda digunakan hanya untuk setengah hari dan setengah hari lagi petani memanfaatkan waktu untuk merapikan bagian pinggir dekat patal (ngaki). Tidak hanya itu tanah yang dibongkar dengan menggunakan tenaga kuda banyak yang tidak terbongkar dan ini harus dicangkul ulang (bele)
Patal yang penuh dengan rerumputan selama tidak bersawah harus dibersihkan (terlis) dengan cangkul dan keindahan patal ini biasa sangat tergangtung kepada nilai seni seseorang, dan juga pekerjaan yang rapi ini dikerjakan oleh mereka yang baru menikah.
Sejak malam hari air sudah dialirkan ke petak sawah yang sudah di bongkar, gunanya untuk memudahkan petani dalam membajaknya. Tanah di kampong kami sangat gembur dan subur tidak menyimpan air, sehingga kalaupun air dialirkan sejak malam yang terisi air pada paginya hanya dua atau tiga petak. Pagi hari sebelum shalat subuh kami sudah bangun untuk membajak sawah dengan menggunakan tenaga kerbau, kerbau dihalau mengelilingi sepetak sawah dengan arah yang sama dengan jarum jam sampai tanahnya berlumpur, seolah segenggam tanahpun tidak ada lagi yang tidak hancur. Menghalau kerbau tidak cukup dengan membawa ranting kayu untuk disebatkan ke badan atau kaki kerbau tetapi juga harus dengan suara dari penghalau yang mengisyaratkan kerbau itu harus berjalan, ketika bagian samping kiri belum kena pengahalau meneriakkan “kiri rapat sagi ya” (merapat ke pinggir kiri), katika ada sedikit bongkahan tanah yang tidak terinjak oleh kerbau penghalau member komando dengan menagatan “he bele oya (dengan menyebut panggilan kerbau) ” dan begitulah seterunya setiap petak dilakukan dan penghalau juga tidak pernah berhenti walau sesaat untuk memberi isyarat kepada kerbau.
Matahari mulai nampak seolah menjadi kewajiban kaum perempuan untuk mengantarkan makanan (sarapan pagi) untuk sang suami dan anak laki-lakinya yang sedang menghalau kerbau, ditempat yang berlumpur dan badan yang juga dipenuhi lumpur itu biasa makan pagi dengan sajian yang sangat sederhana, sedikit sayur, ikan dan yang paling istimewa adalah hidangan kuah nasi dari susu segar yang baru diperah pada pagi dan dipanaskan dengan api dan ditaruk garam sedikit, tak terasa nasi satu panci habis dan ditutup dengan segelas kopi dan satu balutan rokok daun bagi orang tua.
Ketika penghalau sedang makan semua kerbau yang jumlahnya terkadang sampai tiga puluh (30) atau lebih diistirahatkan dalam petak sawah tersebut dan kerbau tersebut semuanya patuh mereka tidak lari dan keluar dari petak tersebut, dan biasanya kalau ada yang lari kerbau yang lari akan mendapat hukuman dari penghalau dengan pukulan memakai kayu sebesar pergelangan orang dewasa, sehingga kerbau tersebut juga tidak ada yang berani lari. Halauan menghacurkan tanah petak-perpetak dilanjutkan sampai jam 10 pagi, pada saat ini matahari sudah mulai panas kerbau sudah mulai lapar. Maka pada saat seperti ini biasa semua kerbau tidak mau lagi kerja dan seperti ada komando dari masing-masing mereka untuk saling bergantian lari dari petak sawah yang dibajak. Karena itu sebelum kerbau ini membuat ulah para petani memahami dan biasa memberhentikannya untuk disambung pada keesokan harinya.
Bagi kami dan kawan-kawan lain yang pada saat itu masih sekolah, kami membantu sampai pada makan pagi setelah itu kami bergegas mandi atau hanya mencuci tangan dan kaki tidak mandi karena dingin kemudian pergi sekolah.
Seolah sebagai kesepakatan dalam pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan, kaum laki-laki menambal patal yang sudah dibersihkan dengan lumpur bekas bajakan sambil meratakan tanah mungkin ketika dibajak ada yang lebih tinggi ditolak kepada yang lebih rendah dengan menggunakan alat yang berbentuk huruf T di ujungnya terbuat dari papan dan gagang pohon kayu sebbesar genggaman orang dewasa yang disebut dengan serde
Saat orang laki-laki menambal patal dan meratakan hasil bajaka ibu/orang perempuan menjaga kerbau, biasa di tanah yang tidak ditanami kopi atau tanaman lain. Kegunaan kerbau ini di jaga adalah biar tidak masuk ke sawah yang telah ditanami padi atau kebun-kebun kopi masyarakat di sekitar persawahan.
Bagian keduanya
http://www.lovegayo.com/5426/tradisi-bersawah-dalam-masyarakat-gayo-2.html#comment-1319