Berbalas “Pantun” Soal Tanah Bandara Rembele

Persoalan tanah di Bandara Rembele bagaikan berbalas pantun. Bupati Bener Meriah yang digugat keluarga Oesin Setie Gunung. Namun bupati memberikan balasan jawaban somasi. Sidang di PN Takengen tetap berlanjut.

Ruslan Abdul Gani, Bupati Bener Meriah dalam surat jawabanya menjelaskan, tanah yang menjadi obyek perkara, bukanlah tanah adat seperti yang diklaim penggugat, namun merupakan tanah negara, sesuai dengan UU no.5 tahun 1960.

Tanah yang menjadi obyek perkara kini sudah dijadikan bandara itu, sebelumnya merupakan asset PT. Alas Helau (AH) yang menyediakan bahan baku pinus untuk kertas. Sejak pengelolaan PT. AH berahir, maka tanah tersebut menjadi milik negara, sebut bupati dalam jawabanya.

Namun surat bupati itu kembali dibalas oleh Wajadal Muna, Tamarsyah dan Mujahidsya, selaku kuasa hukum penggugat. Persoalan tanah adat yang disengketakan itu, dalam gugatan sebelumnya (obyek sengketa tanah yang lain), sudah mendapatkan putusan tetap dari Mahkamah Konstitusi.

Dalam berkas perkara no.35/PUU-X/2012, tertanggal 16 Maret 2013, MK, dalam amar putusanya menjelaskan, bahwa hutan adat tidak lagi menjadi bagian dari hutan negara, melainkan bagian dari hutan hak. Silakan saja bupati menyebutkan tanah negara, namun hukum nanti yang akan menyatakan tanah siapa, jelas Muna.

Persoalan pengalihan dari PT AH menjadi tanah negara seperti yang disebutkan bupati, keluarga Oesin juga memiliki “jimat”. Mereka mengantongi surat dari pimpinan PT AH, tertanggal 14 April 1999, dimana T Muda Ariaman, pimpinan PT AH menyebutkan, bahwa HPH PT. AH itu adalah milik Reje Osien Setie Gunung.

Ganti Rugi
Gugatan terhadap tanah bandara ini, bukan hanya dari keluarga Oesin, namun berlapis-lapis. Saat ini saja di PN Takengen sedang digelar 3 kasus perkara persoalan tanah bandara di lembah merapi ini. Persoalan tanah itu tumpang tindih.

Bupati menyebutkan dalam suratnya tanah tersebut tanah negara, namun bupati juga menyatakan pihaknya tidak akan menangguhkan pembayaran ganti rugi. Karena pembangunan bandara untuk kepentingan umum.

Bagaimana tanah negara diganti rugi? “Kalau dikatakan tanah negara, mengapa bupati menyibukkan diri membayar ganti rugi. Tanah negara diganti rugi oleh Pemda. Ini luar biasa,” sebut Muna.

Persoalan ganti rugi ini dijawab bupati sehubungan dengan permintaan kuasa hukum penggugat pada majlis hakim yang menggelar perkara tersebut, agar dana ganti rugi itu dititipkan di Pengadilan Takengen.

Siapa yang akan menerima ganti rugi, setelah adanya a putusan tetap. Kalau persoalan pembangunan bandara silakan diteruskan, namun uang ganti rugi itu yang dipersoalkan kuasa hukum penggugat, agar dititipkan di PN. Namun bupati tetap dengan prinsipnya melanjutkan pembangunan bandara, dan akan segera membayar ganti rugi.

Persoalan lahan bandara Rembele ini, bukan hanya kali ini yang mencuat kepermukaan. Di sana kepemilikan overlaving. Muncul gugatan. Bahkan dalam bulan ini, PN Takengen sedang menyidangkan 3 kasus tanah bandara dengan penggugat yang berbeda.

Areal yang digugat juga luas, hampir mencapai 100 hektar. Namun di sisi lain, pembangunan bandara di kabupaten “anak kandung” Aceh Tengah ini tetap dilanjutkan. Sengketa jalan terus, pembangunan tidak berhenti. Kasus tanah bandara bagaikan berbalas pantun, sampai kapan? (Bahtiar Gayo/Waspada Senin 11 Mei 2015)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.