Takengen | Lintas Gayo – Aset Provinsi Aceh yang berada di daerah bagaikan bom salju yang siap meledak. Bila dibiarkan berlarut, bukan hanya menimbulkan keresahan namun akan memunculkan perpecahan di tengah masyarakat.
Salah satu asset provinsi yang kini menjadi pembahasan dan menimbulkan nuansa politik perpecahan, berupa tanah 122 hektar di Blang Bebangka, Pegasing, Aceh Tengah. Diatas tanah ini sudah berdiri puluhan kantor pemerintah. Banyak tanah yang masih kosong, namun dilapangan ada yang diperjual belikan di bawah tangan.
“Kasus tanah Blang Bebangka bagaikan bom salju, perlu diselesaikan secepatnya dengan bijak,” sebut Adam Muhklis Aripin, ketua Pansus IV DPR Aceh, menjawab Waspada sehubungan dengan semakin hangat persoalan lahan UGP.
Kasus ini kembali mencuat ketika mahasiswa Universitas Gajah Putih (UGP) Takengen, mempertanyakan status dan lokasi lahan kampus yang dijanjikan seluas 30 hektar. Sampai sekarang lahan UGP tidak jelas, walau sebelumnya pada masa Gubernur Irwandi Yusuf sudah menyetujui lahan untuk UGP.
Saat persoalan tanah UGP menjadi pembahasan, salah seorang anggota DPRK Aceh Tengah ,Syirajuddin dari PAN, mengembalikan sertifikat tanah. Menurut Syirajuddin, tanah di Blang Bebangka yang sudah disertifikatkan kepadanya, merupakan “kado haram”, dan ironisnya lahan UGP sampai saat ini tidak jelas.
30 anggota dewan dan sejumlah pejabat lainya disebut-sebut mendapatkan tanah. Namun benarkah tanah itu merupakan aset tingkat satu di daerah? Selain itu dilapangan, masyarakat juga membeli tanah di bawah tangan. Asset provinsi ini tumpang tindih.
“Pemerintah daerah hanya bisa menghimbau agar pembeli di bawah tangan ini tidak membangun rumah atau yang lainya, karena status tanahnya masih hak pakai nomor 1 milik provinsi Aceh. Namun kami hanya bisa menghimbau, karena wewenang itu ada ditingkat satu,” sebut Nasaruddin, Bupati Aceh Tengah.
Soal tanah yang sudah bersertifikat dan dibagi-bagikan kepada anggota dewan serta sejumlah pejabat, itu bukan tanah asset tingkat 1. “Tanah tersebut milik PT. Novasan Banda Aceh, yang sudah dibebaskan pada tahun 1996. PT Novasan sudah membayar ganti rugi kepada negara seluas 15 hektar,” sebut bupati.
Tanah negara di Blang Bebangka ini sebelumnya luasnya 137 hektar, namun setelah dibebaskan untuk PT Novasan, tinggal 122 hektar. Aset provinsi ini sudah berubah bentuk. Di atas tanah itu sudah ada bangunan perkantoran, Polsek, Kantor Camat, RSU, whorkshop, lapangan pacuan kuda, perumahan seniman, rencana Makodim 0106, rencana Mako Brimob, rencana kampus UGP, serta sejumlah gedung lainya.
Selain itu, sebagian lagi sudah dikuasai masyarakat. Aset tingkat satu ini tumpang tindih. Sementara untuk UGP, Pemda sudah mengusulkan agar kampus ini memiliki lahan seluas 30 hektar, namun pemerintah Aceh belum memberikan jawaban.
“Persoalan asset provinsi ini rumit bagaikan bom salju. Setelah Pansus ini, kami nanti akan menginisiasi diadakan Pansus kembali khusus membahas persoalan asset tingkat satu di daerah, bukan hanya soal tanah, namun banyak asset lainya yang kurang terurus,” sebut Adam Muhklis, anggota DPR Aceh. (b32/ Harian Waspada edisi Jumat 28 Mei 2015).