Di Beijing, Buku Seperti Seloyang Pizza

Ulfa Khairina

                                                                        Oleh: Ulfa Khairina

Istilah ‘andai buku sepotong pizza’ sempat populer di dunia perbukuan dan kepenulisan. Hernowo mengandaikan ibaratnya buku adalah makanan yang paling banyak digemari akhir-akhir ini, yakni pizza. Buku yang ditulis oleh Hernowo dengan judul yang sama menguraikan bagaimana mudahnya merangsang minat baca setiap orang, khususnya bagi orang Indonesia yang minat bacanya masih cukup rendah.

Hal ini tidak berlaku di China. Karena di negeri tirai bambu, sebuah buku sudah seperti seloyang pizza. Bukan lagi sepotong. Jika melihat sekilas kehidupan dan candunya orang China terhadap membaca. Mungkin kita akan terpikir bagaimana toko-toko pizza tutup karena tidak ada pengunjung.

Padahal jika melangkah di Beijing, rumah makan fastfood seperti KFC, Mc Donald, pizza hut dan beberapa makana branded lainnya dengan mudah ditemui di sini. Pengunjunganya jangan tanya, antriannya bisa bermeter-meter dan tidak mudah menemukan meja untuk makan di tempat. Hal yang sama seperti di Aceh, rumah makan fastfood selalu penuh. Tapi toko buku selalu sepi. Di Beijing, toko buku dan rumah makan sama penuhnya. Khususnya pada akhir pekan.

Salah satu lokasi toko buku besar di Beijing berlokasi di Wangfujing street. Lokasi ini merupakan destinasi wisata international yang terkenal dengan makanan ekstremnya serta brand international sekelas Prada, Hermes, Chanel dan lain-lain. Ada dua toko buku besar di sini. Beijing Foreign Language Bookstore yang letaknya berseberangan dengan APM Mall, dan Wangfujing Bookstore yang bersebelahan dengan The Mall of Oriental Plaza.

Beijing Foreign Language Bookstore terdiri dari empat lantai yang kebanyakan menjual buku-buku dalam bahasa Inggris dan beberapa buku terbitan bahasa asing, termasuk di antaranya buku belajar bahasa Indonesia yang ditulis oleh pengarang Indonesia. Sementara Wangfujing Bookstore terdiri atas enam lantai yang menyediakan buku lebih banyak. Tidak terfokus pada bahasa asing saja.

Beijing Foreign Language Bookstore umumnya didatangi oleh orang asing yang kebetulan tinggal di Beijing atau pelancong. Hampir tidak ada pengunjung duduk manis di lantai sambil menikmati lembar demi lembar halaman buku. Berbeda degan Wangfujing bookstore, bila hari minggu, hampir tidak ada celah untuk melangkah di disudut ruangan. Tua muda, dari berbagai kelas sosial berselonjor menikmati buku-buku yang dijual secara gratis.

Saya pernah menghabiskan waktu satu jam di bgaian anak-anak untuk membaca cerita dalam bahasa mandarin. Saya tidak menyangka harus berebut tempat dengan anak-anak yang berusia di bawah 10 tahun untuk posisi aman. Mereka juga tidak datang sendiri, orangtua mereka datang bersama mereka dan duduk bersama. Membiarkan anaknya membaca dan memilih buku kesukaannya.

Buku di Beijing tidak mahal. Untuk buku cerita anak-anak hard cover dengan kertas full colour dan bergambar harganya kurang dari 50 RMB. Mungkin fantastis bila dikurs kedalam rupiah. Tapi bila melihat kualitas kertas dan lain-lain, harga ini tidak akan pernah kita temui di Indonesia.

Meskipun buku-buku di sini sangat murah. Ada beberapa eksemplar yang sudah dibuka dan dibebaskan siapa saja untuk baca di tempat. Beberapa buku best seller bahkan kondisinya sudah keriting dan gambar sampulnya sudah tak bisa dikenali. Tapi halaman dan sampulnya tidak terpisah. Masih utuh.

Lokasi elit lain di Beijing berlokasi di Xidan. Tidak jauh dari Wangfujing. Di sini terdapat Books Centre, lokasi toko buku terbesar di China bernama Xinhua Bookstore. Sama seperti toko buku di Wangfujing, toko buku di sini sudah dikatagorikan berdasarkan jenisnya. Satu lantai satu katagori.

Pertama kali saya datang ke toko buku ini, tidak seorangpun bersama saya. Waktu itu saya hanya berpikir hanya melihat-lihat saja. Begitu menginjak latai dua yang berkatagori seni dan olahraga, tanpa sadar saya menghabiskan empat jam hanya berkeliling, melihat-lihat koleksi di sini. Saya tidak sempat melihat ke lantai lain karena gelap mulai menutupi Beijing di musim dingin.

Banyak hal yang saya dapatkan berada di sini. Meskipun tidak membeli apa-apa, saya bisa menilai bagaimana orang lokal membayar perhatian penuh terhadap seni. Banyak sekali buku-buku seni China yang tidak pernah saya lihat sebelumnya. Mulai dari seni tradisional sampai kontemporer. Harganya sangat mahal.

Mahasiswa, seniman bahkan dosen datang dan duduk berlama-lama di sini. Mereka membaca dengan telaten, bahkan memperlakukan toko buku seperti perpustakaan. Banyak yang duduk manis di lantai sambil membuat catatan. Tidak segan-segan mereka memotret isi dari dari buku tanpa membeli.

Sudut-sudut ruangan dipasang kamera pengintai, petugas keamaan tersebar di seluruh area. Tidak ada yang melarang mereka untuk memotret. Ketika saya ikut duduk di lantai dan membuka beberapa buku, petugas hanya melirik karena berpenampilan asing. Petugas melihat saya ketika mengeluarkan ponsel, tapi tidak melarang. Hal yang sama pernah saya lakukan ketika mengunjungi toko souvenir. Saat saya memotret, mereka melarang. Hal paling aman adalah meminta izin. Tapi untuk mendapatkan ilmu, memotret isi buku diperbolehkan.

Tidak ada batasan menjadi kutu buku di China. Siapapun dia mempunyai hak yang luas untuk mencintai buku. Di Aceh, saya merasa membaca buku dan membeli buku identik dengan gaya hidup orang kaya. Mungkin karena harga buku juga sedikit mahal daripada di Beijing. Ketika saya membeli buku lebih dari 50 ribu rupiah, komentar “Mahalnya. Mending pinjam di pustaka” pasti akan masuk kuping.

Beberapa kali saya mendapati petugas kebersihan membaca buku di sela-sela kesibukannya menyapu lantai. Bukan pertama kalinya saya memergoki petugas kebersihan membaca buku-buku berat sejenis manajemen, sains dan ensiklopedia. Memang mereka tidak bisa bertahan berjam-jam di satu rak dan melalaikan tugasnya. Ia akan melakukan hanya beberapa menit untuk membaca dan melanjutkan pekerjaannya.

Perbedaan yang paling jelas antara Aceh dan Beijing terlihat dari cara orangtua membahagiakan anak. Beberapa kali saya melihat di Aceh orangtua mulai membiasakan anaknya dengan gadget. Hasil sebuah penelitian yang pernah saya baca, seorang anak bisa bersikap apatis terhadap lingkungan karena memegang smartphone. Anak akan anti sosial dan belajar menjadi materialistis.

Secara alami ia akan belajar memposisikan diri di kelas sosial yang cenderung tinggi dan tidak bisa menghargai orang lain. Di Beijing, tampaknya anak-anak tidak terlalu berminat pada gadget. Orangtua akan membiarkan anaknya memilih buku-buku. Jarang sekali anak di bawah 10 tahun memiliki gadget, sekalipun hanya sebuah telepon genggam biasa.

Gadget yang dijual ditoko buku umumnya membantu anak untuk belajar dan mencintai dunia perbukuan. Sehingga bila ada anak-anak yang memiliki bakat IT, ia akan diarahkan dengan cara praktikal dan teoritis di bawah bimbingan orang tua.

China merupakan salah satu negara yang peka terhadap perkembangan teknologi smartphone terbaru. Bila berada di bus atau metro, pemandangan pertama yang terlihat di depan mata adalah anak muda dengan headset menyumpal telinga dan tatapan menatap layar telepon pintar. Dua tahun saya di Beijing, saya terus menerus melihat pemandangan yang sama.Anak muda yang membaca melalui telepon pintar.

Banyak aplikasi gratis di smartphone menawarkan bacaan gratis, seperti duokan, ireader, mobilereader, dan aplikasi sejenis. Setelah mengunduh aplikasi ini, ratusan novel dan bacaan lain akan muncul dan pemilik ponsel bebas memilih. Ada yang berbayar dan banyak pula yang gratis. Novel atau majalah yang berbayar tidaklah mahal. Satu novel hanya seharga 0.15 RMB atau sekitar 300 rupiah. Bahkan tarif pengiriman satu sms lebih mahal daripada satu eksemplar buku online.

Bagi orang Beijing, buku bukan saja sepotong pizza. Bagi mereka buku seperti seloyang pizza. Bisa dihabiskan satu kali perjalanan singkat dari rumah ke kampus, ke kantor, atau lokasi tujuan lainnya dengan mudah. Tak perlu menyelipkan dalam tas. Cukup menginstall di ponsel pintar. Siap disantap kapan saja.

Andai saja di Aceh buku seperti sepotong pizza, tentu akan memenangkan persaingan global dalam hal pengetahuan.
*
Ulfa Khairina, mahasiswi program Master International Journalism & Communication di Communication Universty of China, Beijing, China. Penulis alumni Universitas Islam Negeri Ar-Raniry.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.