Oleh : Ghazali Abbas*
Lembaga yang sejatinya (sebagaimana UUPA) hanya mengurus adat istiadat, non partisan dan pemersatu masyarakat, malalui proses pembahasan yang tidak aspiratif dan disahkan secara sepihak dipaksakan menjadi lembaga politik, partisan dan tidak mampu menjadi pemersatu masyarakat yang heterogen di Aceh. Di sisi lain karena memang pembuatan Qanun (Perda) berkenaan tidak taat asas sesuai hirarkhi tata aturan dan perundang-undangan di Indonesia, maka sejauh yang saya ketahui Kemendagri belum mengumumkan keabsahannya, dan berdasarkan realita ini pula saya tetap menyebutnya sebagai lembaga ilegal dan liar.
Dengan fakta demikian sejak disahkan Qanun LWN oleh DPRA masa bakti 2009-2014 sudah mendapt protes dan terus menerus digugat dan ditolak oleh berbagai elemen masyarakat Aceh, terutama para mahasiswa serta masyarakat zona tengah Aceh. Kepada lembaga ilegal dan liar ini juga digelontorkan anggaran begitu besar dan tidak pernah ada transparansi dan pertanggungjawaban ( akuntabilitas) penggunaannya. Lagi pula tidak ada mamfaat apa-apa bagi masyarakat.
Pada bulan lalu media massa di Aceh mengkhalayakkan ihwal pembangunan Meuligoe “Wali Nanggroe” yang telah menelan uang rakyat 100 miliar lebih, kualitas bangunannya tidak sesuai jumlah anggaran yang sudah dikeluarkan. Ini betul-betul keterlaluan. Coba uang sebanyak itu dibangun rumah kaum dhu’afa sudah berapa banyak kaum mustadh’afin di Aceh mendapatkan tempat mereka berteduh. Karenanya saya sangat mengharapkan dan mendukung sepenuhnya lembaga penegak hukum, baik kejaksaan, kepolisian maupun KPK secara tegas, transparan dan jujur turun tangan memeriksanya. Wabil khusus harapan saya kepada BPK mengaudit lembaga ilegal dan liar itu, baik legalitas, keuangan dan kinerjanya.
Adalah Pasal 23 UUD Negara RI Tahun 1945 mengamanahkan anggaran nagara di semua tingkatan dan tempat dalam NKRI harus dikelola secara transparan dan akuntabel untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Betapa anggaran yang begitu besar yang digelontorkan untuk lembaga yang masih ilegal dan liar itu tidak pernah transparan dan akuntabel pengelelolaannya, dalam waktu yang bersamaan rakyat tidak merasa mannfaat apa-apa dari lembaga ilegal dan liar itu, ditambah lagi gelontoran anggaran bagi bangunan gedung abal-abal itu, maka tidak boleh lagi ditunda-tunda niscaya lenbaga berwenang penegak hukum (Kejaksaan, Kepolisian, KPK, juga BPK) turun tangan memeriksa dan meungauditnya.
Apabila harapan ini terwujud, saya yakin semua masyarakat di Aceh yang masih berpikiran jernih, sehat dan waras pasti setuju dan mendukungnya. Bravo Aparat Penegak Hukum.
Wassalam
Wakil Ketua Komite IV dan Anggota Badan Akuntabilitas Publik (BAP) DPD RI