Oleh: Ghazali Abbas Adan*
“Ribuan Umat Islam Kumpul di Cot Goh”. Demikian head lines koran Serambi Indonesia (18/9/2014), mengkhalayakkan suasana ijtima’ ummat Islam yang datang dari Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Benglades, Thailand, dan India, selain tuan rumah ummat Islam Aceh dan dari beberapa daerah di Indonesia.
Ijtima besar ini dalam pembukaannya juga dihadiri beberapa petinggi Aceh, juga termasuk Gubernur Aceh Zaini Abdullah yang mendapat kehormatan dari panitia menyampaikan kata sambutan , di mana di dalamnya mengisyaratkan keharuan dan kagum atas terlaksananya pertemuan (ijtima’) ummat Islam se Aceh dan Sumut di Desa Cot Goh, Kecamatan Montasik Aceh Besar itu.
Dalam ijtiima’ kolosal ummat Islam ini saya mempertanyakan mengapa Malik Mahmud yang oleh DPRA masa bakti 2009-2014 dan pengikutnya sudah dinobat dan digadangkan sebagai Wali Nanggroe dengan rupa-rupa gelar yang selangit itu tidak muncul.
Padahal semestinya dia hadir, sesuai salah satu tugas pokok dan fungsi (tupoksi) nya, yakni pemersatu rakyat, dan tentu termasuk pemersatu ummat Islam. Apalagi melihat kehadiran ribuan jamaah ijtima’ kaum muslimin di Cot Goh dapat dikatakan berskala internasional. Lebih dari tupoksinya sebagai pemersatu, dalam Rancangan Qanun Aceh Tentang Pokok-Pokok Syariat Islam di dalamnya disebutkan bahwa Wali Nanggroe pengarah pelaksanaan syariat Islam di Aceh.
Jika Malik Mahmud hadir dalam acara Syiar Cot Goh itu, tentu dapat didaulat menyampaikan tawshiyah dan pengarahannya berdasarkan nash quran dan hadis sekaitan dengan pelaksanaan syariat Islam di Aceh, dan dari itu segenap jamaah itima’, terutama dari beberapa negara tersebut dapat mengenalnya, dan maklum akan kedalaman ilmu keislamannya sesuai status dan dan fungsinya sebagai Wali Nanggroe di Tanah Syariat Islam Aceh, serta dalam waktu yang bersamaan semakin yakin akan keseriusan dan kesungguhan pemimpin dan segenap ummat Islam Aceh menegakkan syariat Islam.
Atau boleh jadi ketidakhahidiran Malik Mahmud itu karena panitia pelaksana lupa mengundangnya, wallahi ‘alam. Namun, seperti yang sering terjadi selama ini, bahwa Malik Mahmud kerap ikut atau diikutsertakan Gubernur, bahkan sampai ke luar negeri yang menurut saya tidak urgen dan menghabiskan uang rakyat. Saya kira ke Cot Goh yang dekat itu tidak salah apabila Malik Mahmud juga dapat ikut rombongan Gubernur.
Betapa, sesuai tupoksinya, kehadiran Malik Mahmud dalam acara yang demikian lebih realistis dan bermakna ketimbang mejeng/nampang dalam baliho besar yang dipajang di jalan-jalan protoler menyambut event-event tertentu di Aceh, seperti yang dipamerkan selama ini. Lagi pula biaya pemasangan baliho itu tidaklah murah, kecuali apabila biayanya itu dirogoh dari kocek Malik Mahmud sendiri atau dari dompet pengikutnya. Apabila dari uang rakyat, sebagai salah seorang rakyat jelata di Aceh dengan tegas harus saya katakan tidak setuju, itu tindakan pemborosan (tabdzir) uang rakyat, karena menurut saya, dari baliho itu tidak memberi manfaat apapun kepada rakyat.
Ada hadis Rasulullah Muhammad saw yang menyatakan; “Manusia paling baik adalah, yang bermanfaat bagi orang banyak (khairunnaasi anfa-‘uhum linnaas)”.
Wassalam
*Seorang rakyat jelata di Aceh