SENGKETA panjang antara Pemda Aceh Tengah dengan masyarakat sebagai pemilik lahan rawa di Paya Ilang, Kemili, Bebesen, Aceh Tengah semakin hangat. Kini giliran Pemda Aceh Tengah yang melaporkan ke polisi atas dugaan pemalsuan dokumen.
Namun masyarakat yang mengklaim sebagai pemilik tetap dengan prinsipnya, bahwa Pemda Aceh Tengah telah merampas tanah mereka untuk mendirikan sejumlah fasilitas umum. Warga tetap mengolah tanah sengketa itu (bagian yang masih kosong) dan akan mendirikan bangunan di atasnya.
“Kita ingin membuktikan laporan Pemda, benar atau tidak ada tindakan pidana di sana,” sebut Kapolres Aceh Tengah AKBP. Hairajadi, ketika diminta Waspada keteranganya, Minggu (10/9) di Takengen.
“Bukan wewenang polisi untuk menentukan tanah itu milik siapa. Namun karena adanya laporan dugaan tindak pidana, kami berkewajiban memprosesnya. Kami akan meneliti kebenaran dokumen dari kedua belah pihak ini,” sebut Kapolres.
Selain memeriksa dokumen, penyidik juga menurunkan tim kelapangan, bahkan menyertakan pihak BPN untuk mengukur lahan yang disengketakan itu. Selain itu memanggil masyarakat untuk diminta keteranganya.
Usai turunya tim kelapangan menjelang Jumat (8/9), masyarakat bertemu dengan Kapolres Aceh Tengah, menyerahkan sejumlah dokumen yang dimilikinya. “Ya semuanya akan kita pelajari. Kami hanya melakukan pemeriksaan atas laporan pemda. Benar atau tidak ada tindak pidana di sana,” kata Kapolres menambahkan.
Waspada yang mengikuti perkembangan status tanah itu, memiliki catatan; Sengketa ini pernah dibahas dengan komisi A DPRK setempat. Dalam pertemuan di lembaga terhormat itu muncul dokumen dari kedua belah pihak.
Surat surat dokumen yang dimiliki masyarakat jauh lebih tua umurnya, dibandingkan Pemda. Di atas tanah 52.176 meter persegi, sudah dikuasai masyarakat sejak 55 tahun yang lalu, demikian keterangan Sayful dan Samsul mewakili masyarakat menunjukkan dokumen yang dimilikinya.
Sementara itu Mursyid, Asisten Pemerintahan Pemkab Aceh Tengah, menjelaskan, asal usul tanah tersebut. Pemda mendapatkanya dari keturunan Penggulu Kemili dan Penggulu Gayo, pada 31 Desember 2014. Tanah tersebut diserahkan ke Pemda untuk kepentingan fasilitas publik.
Untuk penertiban administrasi asset daerah, sebut Mursyid, Pemda Aceh Tengah mengajukan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN), guna diproses sertifikat. Tanah yang akan disertifikat itu sesuai dengan dengan batas yang disebutkan Penggulu Kemili dan Penggulu Gayo dalam surat penyerahan.
Di atas tanah itu sudah berdiri bangunan berupa terminal terpadu, gedung resi gudang, pasar rakyat, sejumlah ruko milik Pemda, kantor Imigrasi dan bangunan lainya. Dibagian timur berdiri kantor Camat Bebesen.
Lahan yang kosong juga masih luas. Lahan yang kosong itulah kembali dikuasai masyarakat. Namun Pemda menertibkanya dengan mendirikan posko di sana. Sikap Pemda yang menurunkan aparat keamanan ini digugat oleh masyarakat dengan pokok perkara penyalah gunaan wewenang. Bukan substansi pemilikan tanah.
Namun pihak pengadilan atas gugatan kasus penyalah gunaan wewenang ini menolak gugatan masyarakat. Substansi tentang siapa pemilik tanah itu masih belum jelas, pihak PN tidak menegaskan tanah tersebut milik siapa.
Masyarakat tetap aktif di lahan kosong yang belum ada bangunan itu. Bahkan sebagian tanah itu telah diserahkan masyarakat kepada Muzakir Manaf untuk mendirikan kantor Partai Aceh di sana. Namun kini giliran Pemda Aceh Tengah yang membuat laporan ke Polisi atas dugaan pemalsuan dokumen.
Masyarakat kepada Waspada menyebutkan kesiapanya untuk membuktikan dokumen yang dimilikinya. “Kami juga sudah mengajukan pembuatan sertifikat ke BPN, namun pihak BPN belum membuatnya, karena mengangap status tanah itu dalam sengketa. Jangan nanti, untuk kami tidak dibuat sertifikat, sementara ketika Pemda mengajukanya pihak BPN membuatnya,” sebut Samsul.
Bagaimana kelanjutan kisah sengketa ini? Apakah polisi mampu membuktikan adanya dokumen palsu di sana seperti yang dilaporkan Pemda Aceh Tengah? Sampai kapan sengketa ini terus menghangat? (Bahtiar Gayo/Waspada Senin 11/9/2017)
berita terkait: Paya Ilang