Iserahen Ku Tengku

Nurhijrah Nanda (Doc.Lg.com)

* Filosofi Pendidikan Agama di Gayo

Oleh : Nurhijrah Nanda

Dalam kesehariannya seorang muslim, tidak akan lepas dari tahapan pendidikan agama. Baik yang bersifat formal maupun non formal. Demikian juga dalam kehidupan masyarakat Gayo pada umumnya.

Mungaji (mengaji=belajar agama) adalah sebuah keharusan yang telah tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Gayo secara terus menerus.. Namun kini, diakui atau tidak, telah terjadi kemunduran nilai-nilai luhur dalam tatanan pendidikan keagamaan dalam masyarakat Gayo.

Setidaknya ada salah satu aspek penting yang kini telah mulai luntur bahkan menjadi sebuah fenomena langka dalam praktek pendidikan saat ini, adalah tahapan Iserahen Ku Tengku. Terlebih dalam sistem pendidikan formal yang kian hari kian mencuat dalam kenyataan hidup urang Gayo hari ini.

Adapun kalimat yang digunakan dalam prosesi iserah ku Tengku ini kurang lebih adalah; … ini mana kuserahan anakku ni ku tengku, kati itentun tengku ku jelen si jeroh. Buge rum ijin ni Allah den jerih payah ni tengku, lepas mujadi jema si mumetihi dirie den pane munemah diri wani murip idonya, lepas ibuetne perkara si wajib den sangup munaringen buet si mara … Brijin ku tengku.

Lafadz ini adalah sebagai ikrar penyerahan sepenuhnya akan tanggung jawab pendidikan anak tersebut. Yang dilanjutkan dengan mat jari antara tengku dan orang tua/wali yang langsung juga diikuti oleh calon murid yang diserahkan. Sehingga telah sah penyerahan anak tersebut, selanjutnya akan dididik oleh tengku dalam proses mungaji selanjutnya.

Proses iserahen ku tengku ini kendati tidak menyentuh aspek metodelogi dan teknik pembelajaran secara langsung, namun tahapan ini akan sangat berpengaruh dalam proses pendidikan yang berlangsung, bahkan akan menentukan hasil akhir dari sebuah proses pendidikan itu sendiri.

Pada dasarnya praktek iserahen ku tengku bukanlah praktek resmi yang diterapkan dalam sebuah lembaga pengajian dalam masyarakat Gayo. Melainkan sebuah langkah awal sebelum mengawali proses pengajian ataupun pendidikan agama Islam itu sendiri dimulai. Dimana dalam tahapan ini, ada semacam penyerahen penuh atas tanggung jawab dari orang tua/ wali peserta didik kepada tengku/guru selaku pendidik yang selanjutnya akan menerapkan metode dan teknik pembelajaran yang telah dikuasainya.

Sehingga terjalin ikatan moral dan kepercayaan antara orang tua/wali dengan tengku yang akan mengikat para peserta didik untuk bersungguh-sungguh dalam proses pendidikan yang berlangsung. Tanpa dilandasi oleh sebuah bentuk administasi (semacam SK) dan jauh dari kecurigaan akan dampak buruk dari sebuah proses pendidikan.

Sebut saja, penerapan hukuman/tindakan yang diberikan oleh tengku dalam proses pendidikan. Bila mana ada murid yang berlaku salah atau melanggar etika dan aturan, seorang tengku berhak menghukum secara langsung atas muridnya, kendati bentuk hukuman tersebut adalah irampat atau ilepis yang bersifat tindakan fisik. Dimana dalam sistem pendidikan modern seperti saat ini bisa saja dikatagorikan sebagai tindakan yang melanggar HAM bahkan tidak jarang berujung pada ranah hukum, karena dianggap sebagai tindak kriminal. Tentunya akan menjadi citra yang buruk dalam dunia pendidikan itu sendiri.

Namun dalam konteks pendidikan yang diawali dengan prosesi Iserahen Ku Tengku ini hal ini terlebih dapat dicegah. Karena, soerang tengku telah diberikan hak dan wewenang sepenuhnya untuk mendidik anak tersebut.

Apabila anak didik, irampat atau ilepis sekalipun, murid tidak berani sembarang mengadu kepada orang tua/walinya, karena akan ditanyai terlebih dahulu sebab musebab diberikannya hukuman oleh tengku, maka tak jarang bagi anak yang memang terbukti berbuat salah, bila mengadu dan mencari pembelaan pada orang tua/walinya malah mendapat hukuman tambahan di rumah. Karena orang tua/wali akan lebih malu lagi bila mendapat penjelasan yang sebanarnya dari tengku atas kesalahan yang dilakukan anaknya.

Kendati bentuk tindakan ataupun hukuman yang diberikan lebih bersifat pada hukuman fisik, seminsal irampat atau ilepis, tentunya tengku telah memiliki penghitungan dan pertimbangan resikonya. sehingga rasa sakit tersebut dapat memerikan efek jera dan sekaligus menjadi peringatan bagi murid lainnya untuk tidak bercontoh pada prilaku yang buruk tersebut.

Hasil akhirnya adalah adanya kesepakatan yang mutlak antara orang tua/wali murid dengan tengku dalam pelaksanaan pendidikan, yang melahirkan kepatuhan dan tanggung jawab yang besar bagi anak didik tersebut. Dimana hasil pendidikan yang diberikan tengku itu betul-betul melekat dalam ingatan setiap murid, bahkan terkenang hingga masa mendatang.

Setidaknya inilah yang kami alami pada saat mungaji dulu dan kami rasakan manfaatnya hingga saat ini. Brijin ku para tengku gurungku. Buge Allah Ta’ala munosah pahala atas jasa rum jerih payah mu …

**Alumnus STAI Alwashliyah Banda Aceh. Berdomisili di Bener Kelipah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.