by

Air Bening Dalam Hentakan!

Darah dalam nadi saya mengalir deras. Ada sesuatu yang aneh, bulu roma saya berdiri. Tatapan mata lama kelamaan seperti kabur, ada air hangat yang minta keluar. Saya berusaha melawanya, namun sangat sulit.

Tak terasa air bening hangat keluar juga dari indra penglihatan saya. “Masya Allah,” bibir saya berucap. Mata rasanya tidak berkedip memperhatikan mereka lewat satu persatu dihadapan saya.

Ketika gadis gadis cilik dengan pakaian bungkusan daun kopi melintas dihadapan saya, sambil melantunkan Salawat, sesekali diiringi terikan yel yel dibelakangnya “ Hidup Kopi Gayo, Kurrrrrrr semangatmu urangku,” tidak terasa tangan saya menyapu pipi, menyeka air hangat yang keluar.

Ada pengharapan ketika menyaksikan pemandangan Karnaval, Sabtu (24/2/2019) memeriahkan HUT Kute Takengen yang ke 442. Harapan yang muncul dari lubuk hati, mayoritas orang Gayo yang mengandalkan kopi sebagai sumber hidup. Semoga kopi tetap menjadi bagian darah dan penyambung perjuangan.

Tak lama kemudian, ada lagi perasaan aneh di hati dan tubuh saya. Perasaan yang juga tak sanggup saya lawan. Tubuh saya rasanya mau dihentak hentakan, tangan dan kaki mulai bergerak, seperti ada kekuatan yang menariknya.

Ketika anak anak kecil dengan lincahnya menggerakan tubuhnya, mengikuti irama alami hanya mengandalkan telapak tangan dan kanvas, suara merdu dengan denang Gayo yang khas itu membuat tubuh saya ikut bergerak.

Apalagi ketika ada yang berputar dengan tari Guwel. Tubuh kecil lincah itu bagaikan menarik saya untuk ikut menari. Huffs, saya tahan, mencoba melawanya, namun sangat berat. Tanpa sadar telapak tangan saya mulai bergerak, sesekali terdengar tepukan suaranya.

Bulu roma saya berdiri, ketika anak anak kecil itu dengan merdunya mengumandang lagu Gayo yang tak asing lagi di telinga saya “Takengen”. Subhanallah, ternyata seiring dengan perputaran waktu, dalam proses alam, Gayo memunculkan seniman kecil yang berbakat. Jumlahnya cukup banyak.

Saya berusaha menghindar dari kerumuman orang yang menyaksikan pawai ini. Saya berteduh di bawah pohon nangka, kantor Bupati. Saya kembali menyeka pipi, dimana air bening ini bagaikan tak mau bersahabat ingin tetap keluar.

Saya saksikan mereka yang pawai dengan mayoritas pakaian kebesaran Gayo, ukiran kerawang. Saya perhatikan ada yang membawa cangkul, doran, tanaman sejumlah hasil pertanian khas Gayo. “Alhamdulilah ya Rabbi, engkau berikan daku hidup di negeri laksana surga”.

Catatan FB Bahtiar Gayo/ Wartawan Waspada

Comments

comments