Selangkah Lagi, Aceh akan dimekarkan?

Mungkinkah Aceh akan dimekarkan? Presiden Jokowi sudah memberi “angin surge” kepada Papua. Negeri Cenderawasih itu akan dimekarkan. Spontan gema pemekaran di Aceh kembali mencuat.

Gaung pemekaran di Aceh  memang  timbul tenggelam. Apalagi setelah adanya moratorium pemekaran. Pemerintah Indonesia menutup pintu pemekaran, para pegiat yang ingin hidup mandiri dari induknya, bagaikan tiarap. Aktifitasnya “senyap”.

Apalagi sang induk tidak memberi ijin berupa rekomendasi persetujuan  untuk dimekarkan. Namun hembusan pemekaran kini memunculkan aroma baru. Adanya celah yang diungkapkan Presiden Jokowi. Kalau Papua dapat dimekarkan, mengapa daerah lain tidak?

Soal pemekaran, geliatnya di Aceh memang terasa. Anggota DPR RI, Fachrul Razi, sudah menabuh “irama” pemekaran. Dia getol menyuarakan pemekaran. Fachrul  meminta pemerintah segera mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang penataan daerah dan PP tentang Desain Besar Penataan Daerah (Desertada) sebagai dasar pemekaran daerah.

Namun perjuangan yang dilakukan Fahcrul bukan soal pemekaran Aceh, melainkan untuk  pemekaran Kabupaten/Kota di Aceh. Kabupaten Kota di Aceh yang diusulkan untuk dimekarkan itu; Kota Panton Labu. Kabupaten Aceh Selatan Jaya (ASJA), Kabupaten Seluat Besar (Simeulue),  Kabupaten Aceh Raya (Aceh Besar),  Kota Meulaboh, Kabupaten Aceh Malaka.

Menyinggung soal pemekaran Provinsi Aceh yang sudah lama diperjuangkan, belum ada anggota parlemen asal Aceh yang memberikan statemen. Mereka lebih memilih silent.

Tetapi bagi pejuang pemekaran Aceh, mereka tidak mengenal istilah mundur, harapan untuk dimekarkan masih ada. Di pemerintahan Indonesia bersatu, Aceh bakal melahirkan dua propinsi baru. ALA dan ABAS akan lahir, menyusul hangatnya gaung pemekaran Papua.

“Kami minta Presiden RI menanda tangani PP tentang pemekaran Aceh. Karena persyaratan untuk pemekaran itu sudah terpenuhi,” sebut Zam Zam Mubarak, ketua KP3 ALA( Komite Persiapan Pemekaran Aceh Leuser Antara), kepada Dialeksis.com.

Demikian dengan pejuang ABAS (Aceh Barat Selatan), juga mendesak agar presiden mengeluarkan SK tentang pemekaran Aceh. “Pemekaran itu merupakan satu kebutuhan demi kemajuan Aceh dan negeri yang dimekarkan,” sebut Fadhil Ali, juru bicara pemekaran ABAS.

Pemekaran Provinsi ALA-ABAS menurut pejuang pemekaran, adalah suatu kebutuhan  untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Efesiensinya  layanan pemerintah, mempersingkatkan rentang waktu dan jarak, serta meringankan beban induk  yang terlalu luas mengurus wilayahnya. Semuanya demi kesejahtraan rakyat, baik di induk dan yang dimekarkan.

“Kalau seandainya pemekaran ini terjadi, dan misalnya Nagan Raya menjadi ibukota provinsi, maka dari Nagan ke Singkil hanya 6 jam. Demikian juga Nagan Raya-Aceh Tenggara cuma sekitar 6 jam. Jadi bukan hanya masyarakat dan pemerintah lebih hemat, juga jarak menjadi lebih dekat dan efisien.Kan ini menjadi salah satu tujuan dari pemekaran, efisien pelayanan dalam pemerintahan,” ujar Fadhli.

Soal pemekaran bukan semudah membalik telapak tangan. Ada konsekuwensi dari pemekaran, makanya pemerintah “menunda” pemekaran melalui moratorium pemekaran. Ada 314 daftar tunggu pemekaran yang sudah lama diperjuangkan.

Moratorium Pemekaran

Jika Papua dimekarkan, bagaimana dengan daerah lain? Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng, memberi penilaian, pelaksanaan pemekaran Papua akan memunculkan tuntutan yang sama di daerah lain, disaat pemerintah sedang moratorium pemekaran daerah.

Robert seperti dirilis Repbulika, (Minggu 3/11/2019) mengatakan, pemekaran di Papua bagaikan kotak pandora. Sebab, begitu pemekaran itu dilakukan ditengah kebijakan moratorium pembentukan daerah otonomi baru (DOB), maka akan timbul permasalahan lain.

“Daftar tunggunya sudah banyak. Mereka juga akan  menuntut keadilan, akses kesempatan. Mereka membuka keran satu daerah, tapi membendung yang lain, itu nggak boleh, kemudian pemerintah bisa nggak menghadapi itu,” ujar Robert.

Robert sependapat dengan pernyataan anggota Komisi II DPR RI, yang menyarankan pemerintah untuk mencabut moratorium DOB jika akan memekarkan Papua.  Pemerintah seharusnya memberikan keadilan dan kesempatan yang sama bagi 314 usulan pemekaran yang diterima Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Apabila pemerintah bersikukuh memekarkan Papua, maka harus siap dengan gelombang besar dari sejumlah daerah yang juga menginginkan pemekaran. Pemerintah juga harus siap menggelontorkan anggaran besar, untuk daerah persiapan selama bertahun-bertahun, sampai dinyatakan layak untuk menjadi daerah otonomi baru.

Perlukah Aceh dimekarkan?

Apakah pemekaran merupakan gagasan dan upaya yang perlu didukung? Pengamat politik dan keamanan Aceh, Aryos Nivada yang juga Dosen FISIP Unsyiah dan Peneliti Jaringan Survei Inisiatif, mengurai lebih panjang perlu atau tidaknya Aceh dimekarkan.

Aryos bukan hanya menilai dampak yang ditimbulkan dari pemekaran, namun apa manfaat pemekaran, perlu atau tidaknya pemekaran didukung. Lelaki yang sering membuat analisa ini mengurai dengan panjang bagaimana pemekaran itu.

Menurutnya, sudah banyak studi yang dilakukan untuk menilai capaian dan dampak yang ditimbulkan oleh pemekaran wilayah.

Studi-studi umumnya mengeluhkan dua hal. Pertama, pemekaran dilakukan dengan tergesa-gesa, tidak melalui perencanaan yang matang dan dilakukan oleh orang-orang yang tidak sepenuhnya kompeten dalam urusan tersebut.

Kedua, pemekaran wilayah sering terjebak dalam kepentingan politik sesaat yang menguntungkan segelintir orang tertentu, baik di daerah maupun di pusat. Kelemahan-kelemahan pemekaran wilayah tidak bisa dipungkiri. Ini merupakan bagian yang alami dari sebuah proses politik yang baru dimulai, setelah lebih dari 30 tahun lamanya Indonesia dicengkeram sentralisasi kekuasaan.

Menurut Aryos, kelemahan bisa dipelajari dan dijadikan dasar untuk perbaikan dan melangkah lebih maju. Dua kelemahan itu tidak cukup untuk menolak gagasan dan menggagalkan upaya pemekaran Aceh.

Kedua kelemahan tersebut letaknya pada proses dan ekses. Bukan pada semangat dasar pemekaran wilayah. Kedua kelemahan itu perlu dihadapi dan diatasi sebagai “jebakan-jebakan” yang bisa muncul. Pemekaran yang diupayakan dan dikelola secara tepat akan terhindar dari persoalan-persoalan ini.

Pemekaran wilayah adalah upaya legal membuat kekuasaan lebih dekat dengan masyarakat. Bukan dalam rangka mengendalikan dan menindas, tetapi untuk mengetahui secara langsung persoalan-persoalan riil yang dihadapi masyarakat sehari-hari.

Jarak, waktu, rentang kendali  selalu menjadi masalah dalam wilayah pemerintahan. Pemekaran akan menjadikan rentang kendali menjadi lebih pendek. Pemerintah bisa bertindak lebih cepat dan sigap dalam merespon, serta  mengatasi masalah-masalah yang dihadapi masyarakat, sebut Aryos.

Pemekaran wilayah mendorong proses demokratisasi yang lebih substantif di tingkat lokal. Tujuan utamanya, membuat penguasa menjadi pelayan kepentingan dan kemaslahatan rakyat yang dipimpinnya. Pemekaran  mendorong peningkatan dan percepatan pembangunan.

Aryos memberi contoh, pengalaman menunjukkan, “daerah tertinggal” umumnya berada di wilayah yang jauh dari pusat kekuasaan. Sebaliknya pembangunan dan perbaikan kesejahteraan cenderung terkonsentrasi pada tempat-tempat yang dekat dengan ibukota.

Pemekaran  membuka jalan bagi aliran sumber daya yang lebih lancar dan intens ke wilayah-wilayah yang sebelumnya tertinggal. Wilayah-wilayah ini tidak perlu lagi berebutan untuk menjadi sasaran prioritas pembangunan. Pada gilirannya, keterbelakangan dan kemiskinan bisa terurai satu persatu, sebutnya.

Pemekaran menjadikan pembangunan menjadi lebih kontekstual. Pembangunan menjadi lebih mudah disesuaikan dengan konteks geografis, demografis, historis dan budaya setempat. Dalam jangka panjang pembangunan bukan saja menjadi lebih terarah, tapi juga lebih tepat sasaran.

Pengamat politik dan keamanan Aceh ini lebih tegas lagi menekankan, selama kelompok-kelompok marginal hanya menjadi objek saja, jarang menjadi subjek yang ikut menentukan.

Aryos menilai, pemekaran wilayah Aceh menjadi dua atau tiga provinsi, juga  tidak bisa dilepaskan dari urusan pertahanan keamanan.

Aceh adalah Provinsi paling barat, yang menjadi gerbang negara bukan hanya terhadap para pengunjung tapi juga berbagai bentuk ancaman. Aceh berbatasan langsung dengan Samudera Hindia yang sangat terbuka, hanya dipisahkan oleh Selat Malaka dari daratan Asia Tenggara.

Sementara ancaman berupa pasukan negara asing masih harus terus di waspadai. Infiltrasi barang-barang berbahaya, seperti narkoba dan bahkan manusia-manusia yang diperdagangkan, merupakan ancaman-ancaman non-konvensional yang kian merajalela, jelas dosen ini.

Dia memberikan gambaran tentang  bahaya narkoba. Letak Aceh tidak jauh dari “segitiga emas” distribusi barang haram ini di Indocina. Jika tidak direspon dengan bijak, bahaya infiltrasi narkoba berpotensi besar menimbulkan kerusakan spiritual sosial dan ekonomi di tengah masyarakat Aceh. (Baca berita Aceh jadi Target Narkoba).

Menurut Aryos, dalam konteks ini memperkuat pertahanan dan keamanan Aceh adalah kebutuhan mendesak. Ini adalah satu kunci utama menjaga pertahanan dan keamanan negara. Menjaga pertahanan dan keamanan sangat terkait dengan cakupan wilayah.

Semakin jauh sebuah wilayah dari pusat pengorganisasian pertahanan dan keamanan, semakin rentan wilayah tersebut terhadap infiltrasi ancaman yang konvensional maupun non-konvensional.

Dengan adanya pemekaran wilayah, menurut Aryos, memungkinkan unit-unit pertahanan dan keamanan menjadi lebih kuat dan reliable. Sebab, cakupan wilayah kerja menjadi lebih sempit dan jumlah area yang perlu dijaga dengan seksama lebih sedikit. Pemekaran wilayah akan meningkatkan kapasitas pertahanan dan kondisi keamanan Aceh.

Dari segi politis, mengapa pemekaran penting dilakukan? Aryos menjawab sendiri pertanyaanya. Menurut lelaki yang “peka” terhadap perkembangan Aceh ini, menilai pemekaran secara politis memberikan peluang bagi partai lain untuk mendapatkan posisi, mengirimkan keterwakilannya di parlemen.

Ini bagian strategi mendistribusikan kekuasaan agar melahirkan balance of power. Sehingga tidak mayoritas dikuasai oleh partai tertentu. Dari berbagai alasan mendasar yang diungkapkan Aryos, gagasan pemekaran perlu mendapat dukungan.

Namun, sebutnya, proses pemekaran itu memerlukan upaya yang berhati-hati dan teliti, dilakukan oleh lembaga dan individu yang memang ahli dalam bidangnya. Artinya dilakukan dengan professional dan membuang jauh jauh kepentingan-kepentingan sesaat. Wajar Aceh dimekarkan.

Bagaimana dengan Induk?

Di Aceh untuk pemekaran provinsi nampaknya masih ada masalah. Pengambil kebijakan di induk provinsi yang akan dimekarkan ini masih “alergi” dengan pemekaran. Mereka tidak mengeluarkan rekomendasi persetujuan  untuk pemekaran.

UUPA dan MoU Helsinki senantiasa menjadi acuan. Pihak DPRA dan Gubernur “belum” mengeluarkan persetujuanm pemekaran, mereka tidak mau Aceh dipecah menjadi beberapa provinsi.  Namun  pemekaran kabupaten/ kota, dukungan itu  mengalir.

Bagi  Zam Zam Mubarak, Ketua KP3 ALA Aceh Tengah ini,  kalau  berpedoman pada UUPA, justru mengakomodir kebijakan pemekaran. Ruang pemekaran dibuka dalam pemerintahan Aceh, termasuk pemekaran wilayah.

Peluang tersebut terlihat dalam Pasal 8 ayat 2,3 UUPA yang tidak selaras dengan butir MoU Helsinki poin 1.1.2 huruf b, c, dan d.

Menurut Zamzam, dalam MoU Helsinki butir poin 1.1.2 huruf b, c, tertulis secara jelas bahwa untuk berbagai keputusan yang diambil pemerintah pusat terkait dengan Aceh, harus ada konsultasi dan ‘persetujuan’ dari DPRA terlebih dahulu.

Namun dalam UUPA seperti yang tertuang dalam Pasal 8 ayat 1,2 dan 3 kata ‘persetujuan’ diganti dengan ‘pertimbangan’. Artinya, meskipun DPRA keberatan terhadap pemekaran, pusat tetap memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan mengenai Aceh, termasuk kebijakan administratif.

“Kini hanya menunggu Perpres yang akan ditetapkan presiden tentang pemekaran. Undang undang nomor 28 tahun 2018 tentang pemerintahan daerah, mengisaratkan tentang pemekaran. Bila menjadi kebutuhan strategis nasional,  hanya menungu kapan akan dilakukan,” jelasnya.

Senada dengan Zam Zam, Jubir KP3 ALA- ABAS, Fhadil Ali, juga mengungkapkan hal yang sama. Pemekaran itu bukan barang yang haram. Pemekaran dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhan.

Gaung pemekaran di Aceh kini kembali membahana. Setelah adanya sinyal dari Presiden Joko Widodo yang membuka peluang pemekaran untuk Papua. Bila Papua dimekarkan, bagaimana dengan daerah lainya? Rasa keadalian itu nantinya yang akan dituntut oleh pejuang pemekaran.

Ada 134 daftar tunggu yang sudah masuk ke Kemendagri soal pemekaran. Bagaimana sejarah perjalanan pemekaran ini? Apakah pemekaran Aceh hanya selangkah lagi? Kalau Papua dimekarkan, apakah pengambil kebijakan juga akan memekarkan Aceh? (Bahtiar Gayo/Dialeksis.com)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.