Bencana Terorganisir (Perilaku dan Lingkungan)

Oleh: Razikin Akbar*

Pada bulan Ramadhan dan Pasca Idul Fitri, Ada beberapa peristiwa yang sangat fenomenal di Aceh Tengah maupun di Bener Meriah. Dua Kabupaten yang di huni oleh mayoritas masyarakat Gayo ini, kini dihantui bencana yang terus melanda dan belum berhenti.

Adapun bencana yang dimaksud penulis ada 2. Pertama yakni bencana lingkungan yaitu banjir dan longsor yang terjadi di Kebayakan Aceh Tengah dan beberapa wilayah di Bener Meriah. Kedua, bencana perilaku yakni kedua pimpinan kepala daerah 2 Kabupaten ini melakukan tindakan yang tidak patut di contoh oleh publik. Keduanya saya sebutkan bencana karena membuat masyarakat resah dan gaduh ditengah aktifitas sehari-hari.

Bencana ini merupakan peringatan dan ujian jika dikaji dari ilmu agama Islam. Allah SWT mengingatkan kita, agar senantiasa tidak berperilaku buruk di lingkungan dan tidak merusak alam sesuka hati apalagi dengan keserakahan. Dalam beberapa tafsir bahkan ada yg menyebutkan bahwa bencana itu akibat kelalaian manusia, beribadah dan memohon ampun pada Allah SWT dengan dosa dan kekhilafannya.

Namun jika bencana ini dikaji dari ilmu kenegaraan dan tata kepemerintahan serta lingkungan, maka di sebutkan bahwa perilaku rusak yang menimbulkan bencana adalah sumber bencana. Maka dari itu banyak kita temui dalam batang tubuh aturan UU dan Qanun pentingnya mitigasi, pengawasan dan tindakan hukum bagi perilaku merusak lingkungan.

Sayangnya upaya mitigasi, pengawasan dan tindakan hukum tersebut sampai hari ini masih dalam mimpi. Mereka yang merusak terus jalan, yg memitigasi dan megawasi curhat kurang anggaran, dan yg menegakkan hukum kekurangan alat bukti. Sehingga jika ini merupakan bagian dari unsur kesengajaan, maka layak disebut terorganisir atau masih sumir.

Semakin lengkap ketika, peran legislatif di daerah dalam bencana ini hanya sekedar mendamaikan, menyurati dan berkomentar keras jika ada aksi demonstrasi. Sebagai contoh mengapa pemerintah daerah tidak menyoal dengan serius banyaknya hutan yang ditebangi, dibakar, dan dirusak. Jawabannya karena tidak tahu dan belum ada yg mengadu. Atau jawaban yg lebih membuat rakyat jengkel yakni lembar batu sembunyikan isu “bukan wewenang kami.”

Antara bencana perilaku dan bencana lingkungan sangat berkaitan erat jika dikaji dari ilmu agama dan juga dari kajian kepemerintahan apalagi lingkungan. Rakyat berharap bencana perilaku ini bisa dihentikan pasca Ramadhan dan Idul Fitri, karena itu dapat mengganggu penangan bencana lingkungan. Keduanya sangat berkaitan, apalagi konon dugaannya masih ada aparat pemerintah daerah bermain di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS). Kiranya kepala daerah bisa fokus dalam penanganan potensi-potensi yang dapat menimbulkan bencana lingkungan tersebut.

Akhirnya bencana yg terorganisir adalah bencana yang terus terjadi tanpa ada respon penanganan dan mitigasi dari pemerintah. Pembiaran dan pemakluman menjadi maklumat seketika dalam kacamata penanganan. Bencana tidak akan berhenti kalau kita semua tidak menyadari menjaga alam baik ini. Ajari masyarakat menjaga dan jangan ajari menebang dan merusaknya, karena itu bukan wewenang dan tanggungjawab anda sebagai pemerintah daerah.

* Penulis merupakan Pemuda Kebayakan, mantan Ketua IPPEMATA Banda Aceh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.