Karya: Nadia Aldyza Mawardi
Angin semilir menggelitik daun-daun.
Mereka bergoyang bersama ranting-ranting yang menjulang.
Kuletakkan sepotong kenangan di dalam lubang pohon mereka, berharap angin membawanya serta.
Sinar mentari malu-malu meninggalkan rindu,
Rona sinarnya mulai memerah senja.
Kulihat kenangan masih tergeletak pilu di dalam lubang.
Kutanya…
Wahai angin,
Mengapa tak kaubawa terbang kenanganku?
Angin menepuk‐nepuk pipiku dan menjawab,
Wahai manusia…
Bagaimana hendak kubawa kenangan ini, ia begitu berat dan pahit.
Ku terdiam.
Ku berdiri di antara radix yang kokoh menyibak tanah.
Ranting-ranting masih meliuk-liuk bermain dengan angin.
Kutanya…
Wahai ranting,
Mengapa tak kau ajak kenanganku bermain bersamamu?
Ujung ranting menampi bahuku dan menjawab,
Wahai manusia…
Bagaimana hendak kuajak kenangan ini bermain, ia begitu sedih dan muram.
Ku terdiam.
Langit hitam mulai meniup awan-awan tipis, mengusirnya pergi.
Kutatap pohon tua yang seakan masih kokoh.
Terlihat kulitnya berlekah dan retak.
Kutanya…
Wahai pohon,
Bolehkah kutinggalkan kenangan ini bersamamu?
Pohon menjawab sembari mengawasi daun yang terbawa angin.
Wahai manusia,
Lubang pada tubuhku ini, sudah lama mati sejak kambiumku pergi.
Maka tinggalkan saja kenangan pahitmu di sini.
Tak perlu kau sesali.
Jika sewaktu-waktu kau kembali,
Kau akan mendapatinya lagi.
Tak peduli lima atau sepuluh tahun lagi.
Kenanganmu akan tetap terus disini.
Aku tersenyum, kutatap kenanganku dengan lama.
Wahai kenangan,
Maafkan aku yang tak memiliki kesanggupan,
Menahanmu di hati sungguh tak tertahankan,
Biarkan pohon ini yang menemanimu di masa depan.
Selamat tinggal, kenangan.
*Penulis merupakan Mahasiswi S3 Ilmu Biologi USU. Saat ini mengabdi sebagai Dosen di Universitas Gunung Leuser Aceh
Comments are closed.