Oleh : Win Wan Nur*
Sejak Februari 2003 sampai September 2010, saya menetap di Bali.
Menyebut nama Bali, yang langsung dibayangkan orang pertama kali adalah pariwisata. Meskipun dalam peringkat resmi Departemen Pariwisata, Bali disebutkan sebagai daerah tujuan wisata no. 2 di Indonesia setelah Jakarta. Tapi pada kenyataannya, dalam persepsi banyak orang baik orang Indonesia sendiri apalagi orang asing. Bali adalah tujuan wisata no. 1.
Sebagai daerah tujuan wisata Bali begitu lengkap, mulai dari alam, budaya, tempat belanja hingga tempat hiburan modern ada di Bali. Sehingga orang yang datang berwisata ke Bali pun bisa memiliki persepsi yang sangat berbeda tentang Bali. Sebut saja misalnya orang Australia, Bali dalam persepsi mereka adalah Kuta dengan pantai dan tempat hiburannya. Sementara bagi orang Eropa, Bali adalah sawah bertingkat dengan perempuan Bali yang menjunjung sesajen di atas kepala serta berbagai atraksi budaya lainnya. Dan bagi orang Indonesia secara umum, kalau kita menyebutkan kata Bali, maka yang dibayangkan adalah pantai yang penuh perempuan bule yang berjemur dengan hanya mengenakan bikini.
Bagi orang-orang Islam yang terbilang taat yang belum pernah berkunjung ke pulau ini atau kalaupun berkunjung hanya mengunjungi sekitar pantai kuta saja, Bali seringkali dibayangkan sebagai tempat yang penuh maksiat yang dihuni oleh orang-orang yang hanya mengejar kenikmatan duniawi semata. Tidak banyak orang yang tahu kalau Bali adalah salah satu tempat yang paling seru untuk menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan.
Suasana Ramadhan di Bali memang sangat khas, jauh berbeda dengan suasana ramadhan di tempat lain di Indonesia. Dimana semua orang seolah berlomba untuk menunjukkan ketaatan secara fisik. Sampai para produsen produk-produk konsumtif pun memakai tema-tema khas Ramadhan dalam strategi pemasaran produknya. Sebut saja misalnya para model yang menjadi bintang iklan produk layanan seluler atau karyawati Alfamart yang tiba-tiba jadi berjilbab di bulan Ramadhan.
Di Bali, suasana ramadhan seperti itu tidak ada. Warung baik yang menjual masakan halal seperti di foto ini
Warung Halal yang hanya terpisah 100 meter dari 100% haram atau yang 100% haram seperti yang di foto ini. 100% haram Semuanya buka seperti biasa. hanya restoran amerika seperti KFC, Mc Donald, Dunkin Donuts dan Pizza Hut yang menutup separuh kaca etalasenya dengan tirai. Jadi orang yang berpuasa di Bali, benar-benar karena ingin berpuasa. Bukan karena terpaksa, baik itu karena paksaan peraturan pemerintah seperti di Aceh atau karena paksaan lingkungan yang membuat orang terpaksa berpuasa sebab semua orang di lingkungannya berpuasa.
Tapi meskipun di jalanan dan di ruang publik yang lain suasana ramadhan tidak terasa. Suasana sebaliknya kita rasakan di mesjid-mesjid. Di Kuta misalnya, di daerah ini terdapat 5 buah Mesjid yang semuanya suasananya begitu meriah di bulan ramadhan. Suasana yang sama juga dapat kita rasakan di Denpasar yang komunitas muslimnya jauh lebih besar dibandingkan Kuta.
Shalat tharawih pada hari-hari awal puasa di mesjid-mesjid yang ada di Bali, sama ramainya dengan mesjid-mesjid mana pun di Indonesia. Cuma mungkin yang membedakannya adalah ‘rupa’ para jama’ahnya. Mesjid yang terletak di perumahan Kuta Permai mungkin adalah yang paling unik. Secara fisik saja, Mesjid ini mungkin sudah membuat gerah orang-orang Islam yang biasa hidup di daerah homogen yang agama Islam adalah satu-satunya agama yang dianut oleh orang sekampungnya. Yang menjadikan mesjid sedemikian sakralnya dan harus jauh dari bentuk pemujaan apapun selain pemujaan kepada Allah.
Mesjid di Kuta Permai ini cukup besar sehingga bagian depan dan belakangnya begitu panjang. Dari samping, posisi mesjid ini ada dalam posisi tusuk sate, ada sebuah pertigaan yang salah satu bagiannya tepat menuju bagian tengah Mesjid ini. Karena bagi orang Bali, pertigaan adalah tempat yang sakral dan dipercayaditunggui oleh “Buta Kala” (Jin tidak baik) yang supaya tidak mengganggu harus selalu diberi sesajen. Sehingga setiap hari tiga kali sehari, pagi, siang dan terutama maghrib bersamaan dengan waktu berbuka puasa kita menyaksikan orang-orang yang mengenakan sarung dan baju koko, serta perempuan-perempuan bermukena putih saling menyapa dengan perempuan-perempuan Bali berkebaya yang menaruh sesajen di persimpangan itu. Dan lebih ‘gawat’ lagi di sana tepat bersebelahan dengan tempat wudhuk juga terdapat sebuah Pura Persimpangan yang salah satu bagian dindingnya menjadi satu dengan dinding Mesjid ini.
Hal menarik lain adalah tausiah dan ceramah-ceramah ramadhan di mesjid-mesjid yang ada di Bali jarang sekali berisi serangan kepada orang-orang yang berbeda keimanan. Sebaliknya justru ceramah-ceramah semacam ini selalu mengajak jamaah untuk mengembangkan sikap toleransi terhadap orang-orang dengan kepercayaan berbeda. Mungkin ini disebabkan oleh suasana keagamaan masyarakat mayoritas di Bali yang tidak agresif seperti para evangelist yang begitu giat mencari pengikut agama mereka, sehingga kerap menimbulkan benturan-benturan dan susasana yang tidak nyaman. Sangat berbeda dengan suasana yang saya rasakan di Tangerang, dimana dua agama terbesar di negeri ini begitu agresif saling berebut pengikut. Sehingga bahkan mencari sekolah swasta yang tidak berbasiskan agama pun jadi sulit sekali. Karena masing-masing agama, tidak ingin anak-anak penganut agama mereka dipengaruhi oleh kelompok agama lain.
Jamaah shalat tharawih di Mesjid ini juga tidak kalah menariknya. Orang-orang yang biasa menyaksikan tayangan religius di televisi yang menggambarkan orang-orang yang datang ke mesjid itu berpakaian putih, berkopiah haji mungkin akan kaget melihat jemaah shalat tharawih yang datang ke mesjid ini. Sebab tidak sedikit jemaah yang datang ke sini yang berpenambilan “out of the box” dengan rambut yang diwarnai, atau tubuh yang dihiasi tatto serta telinga, alis, hidung, bibir hingga lidah yang penuh tindikan.
Penampilan jemaah yang seperti ini sempat dikritik oleh seorang jamaah yang merasa penampilan mereka yang shalat tharawih di Mesjid Kuta Permai itu sama sekali tidak islami. Tapi kritik tersebut langsung dimentahkan oleh Pak Haji Bambang, pengurus sekaligus sesepuh umat Islam di Bali yang biaya mendirikan mesjid ini 70% berasal dari kantongnya sendiri. Karena waktu itu saya hadir sebagai jamaah di sana. Saya ingat betul waktu Pak Haji Bambang yang tahun lalu mendapat penghargaan “Hero of The Year dari acara Kick Andy” ini mengatakan. “Kita ini tinggal di Kuta, ini pusatnya wisata Indonesia jadi orang yang tinggal di sini ada banyak macamnya. Kalau orang yang boleh shalat di Mesjid kita ini kita batasi hanya untuk orang yang penampilannya begitu begini, saya khawatir yang shalat di sini cuma Ustadz dan pengurus mesjidnya saja. Kalau saya malah bersyukur orang-orang yang katanya penampilannya seperti itu masih mau ke Mesjid”.
Tapi yang paling seru dari semuanya adalah, di setiap mesjid itu selalu tersedia makanan dan minuman berbuka untuk jema’ah yang shalat maghrib di sanayang kualitas sajiannya jauh lebih menjanjikan dibandingkan kualitas sajian berbuka di rumah sendiri.
*Orang Gayo, pernah tinggal di Bali