Oleh : Luqman Hakim Gayo*
“Ma, siapkan pakaian untuk dua hari. Pagi ini ada jumpa pers dengan pak Menteri, terus siang langsung ke Bandara dan berangkat ke Banjarmasin. Hanya dua hari,kok” kata saya suatu hari kepada isteri. Dia sudah mengalami beberapa kali peristiwa semacam itu.
Atau kesempatan lain, saya sudah berangkat pagi-pagi. Ada acara pelepasan kloter pertama jemaah haji Indonesia di Halim PK. Siangnya makan bersama dengan seorang pengusaha di restoran besar. Malam masih diundang menghadiri ‘jumpa pers’ di Hotel Arya Duta. Sibuk, memang. Tapi, itulah sebagaian dari asyiknya menjadi wartawan.
Berawal dari idealisme ingin membela kaum yang lemah, ingin membela kaum tertindas karena korban kesewenang-wenangan hukum. Atau, berlanjut menjadi wakil rakyat untuk menjalankan fungsi kontrol pembangunan. Baik di sektor ekonomi,budaya maupun di bidang politik.Yah, katakanlah disegala bidang.
Wartawan bukanlah seorang ahli, tetapi serba tahu semua masalah. Masalah agama ia bisa, kriminalitas ia kuasai, berbicara kesehatan dan seluk beluk penyakit dia mampu, bahkan soal ekonomi sampai ke akutansi ia tahu. Masalah politik sampai ke orpol-ormas ia hafal. Namun selalu lemah lembut, sederhana dan tidak pernah menyombongkan diri.
Nah, itulah dunia yang mengasyikan bagi wartawan. Tugas berat itu mengalir dengan lancar. Dihayati dan dilaksanakan dengan penuh semangat. Tanpa pamrih sedikitpun, kecuali pengorbanan dan kepuasan setelah semua masalah diwartakan dengan baik. Untuk diketahui oleh masyarakat luas.
Disela-sela itulah asyiknya dunia wartawan. Dunia yang meninabobokkan. Sampai-sampai ia lupa, sudah berpuluh-puluh tahun menulis berita. Orang yang ditulis sudah menjadi professor, tokoh yang ditulisnya sudah menjadi jenderal, pribadi yang ditulisnya sudah menjadi menteri, direktur jenderal bahkan ketua ini dan itu. Namun, ia tetap menjadi seorang wartawan, yang sehari-hari masih menulis berita seperti kemarin, seperti minggu lalu, seperti bulan dan tahun lalu.
Tetapi ada asyiknya jadi wartawan. Tak pernah diduga, ia bisa berkeliling dunia dari hasil tulisannya.Ia bisa ke sejumlah negara dari karena kebolehannya menulis. Ia bisa menikmati bermacam jenis pesawat, menikmati hotel mewah internasional di belahan dunia manapun. Bahkan naik haji ada yang gratis, hanya karena ia bisa menulis. Itulah yang saya alami. Dan itulah asyiknya jadi wartawan.
Wartawan adalah angka NOL
Disisi lain, saya teringat ucapan seorang wartawan senior. Pada dasarnya, semua orang ingin jadi pemimpin. Andaikata semua orang itu dilambangkan dengan angka satu sampai sembilan (1-9), maka angka-angka itu akan salin berebut untuk jadi pemimpin. Semua menunjukkan kebolehan dan argumentasi yang menyakinkan, bahwa dialah yang pantas jadi pengusaha yang mengayomi semua masyarakat.
Kelompok angka satu (1) mengatakan, ”sayalah yang pantas jadi pemimpin. Karena jelas saya nomor satu. Angka satu adalah lambang keunggulan dalam segala bidang,kalau dibandingkan dengan orang lain. Tidak ada pemenang nomor dua, pastilah nomor satu. Kecap saja nomor satu. Karena itu, sayalah yang pantas menduduki jabatan pemimpin,” katanya.
Kelompok angka dua (2) tidak mau kalah. ”Saya yang pantas jadi pemimpin. Sebab angka dua adalah lambang keseimbangan. Keseimbangan dari semua ciptaan Allah SWT di muka bumi.Ada gelap dan terang, siang dan malam, panas dan dingin , laki-perempuan, tua-muda, besar-kecil, kaya-miskin dan lainnya. Semua berpasangan, keseimbangan. Karena itulah, saya yang pantas jadi pemimpin kita”.
“Saya yang paling berhak”,kata kelompok angka tiga (3).”Angka tiga lambang kecukupan. Kesempurnaan.Terbukti dengan perilaku kita yang semua serba tiga kali. Pukul gong tidak mantap kalau tidak tiga kali. Ambil wudhu tiga kali.Baca doa shalat juga tiga kali. Ketok pintu tiga kali.Memanggil nama orang, baru boleh berhenti sesudah dipanggil tiga kali, tidak lebih. Semua serba tiga kali, karena angka tiga dianggap cukup. Sayalah orangnya”, kata si angka tiga.
Setelah semua mendapat giliran, akhirnya muncullah kelompok angka NOL (0).”Saya tidak berani menjagokan diri, karena saya tidak bernilai.Tetapi saya dapat membesarkan dan mengecilkan Anda-Anda semua. Kalau Anda menempatkan saya di sebelah kanan, misalnya 50-5000, Anda akan besar. Sebaiknya, kalau Anda menempatkan saya di sebelah kiri, misalnya 0,5-0,05 Anda akan kecil.
“Memang nasib saya. Ketika saya sendirian, saya tidak berarti sama sekali, meski sebesar apapun.Bahkan, orang akan menyebut saya Nol Besar”, kata si angka NOL. Nah, dialah kelompok wartawan.Wartawan adalah angka NOL, akan disegani ketika masih aktif sebagai wartawan. Tetapi manakalah tidak berfunsi lagi, mereka akan tersisih dan diabaikan.
Dari dua titik tolak itu, diambil kesimpulan bahwa wartawan adalah manusia yang serba tau dan serba bisa. Tetapi disisi lain, ia juga manusia yang tidak berarti dan tidak pernah diperhitungkan. Karena itu, untuk mengenang dan mengingat-ingat bahwa saya pernah berkeliling dunia, pernah bertugas ke medan perang, pernah memenangi sayembara, pernah mendapatkan Hadiah Adinegoro, saya tuliskan dalam “Asyiknya Jadi Wartawan”.
——–
*)Wartawan asal Gayo tinggal di Jakarta