Jakarta | Lintas Gayo – Riuh tepuk tangan peserta pembukaan Rakornas memenuhi ruang rapat Hotel Ciputra Jakarta usai pementasan Tari Saman dari Sanggar Tangan Seribu, Rabu, (9/11). Betapa tidak,performance anak-anak di bawah asuhan Drs. Ridhwan Salam, M.M. itu mengundang decak kagum seluruh peserta. Tak terkecuali, para pejabat di lingkungan Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, [dan] pejabat dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang hadir dalam acara tersebut. Selain itu, [turut hadir] perwakilan Pemerintah Daerah (dinas/badan informasi propinsi, kabupaten/kota), dunia usaha, asosiasi, akademisi, pemerhati, dan pakar sejumlah 500 orang.
Di barisan peserta, terlihat Mirda Alimi, peserta yang mewakili Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah, selain Usuluddin Adam, pejabat eselon III Kemenkoinfo, putra Gayo asal Takengon dan pengelola Sanggar Tangan Seribu. Melihat anak-anak yang berbaju kerawang, pengelola Sanggar, dan Yusradi Usman al-Gayoni (Lintas Gayo), Mirda pun langsung datang menghampiri dan menyalami mereka satu per satu, “Aku pe ari Gayo, Win. Gelah jeroh nak ku, boh,” [Saya pun (berasal) dari Gayo, Win—panggilan untuk anak laki-laki dalam masyarakat Gayo. Nampilnya yang bagus ya, nak ku], sebut dan harapnya penuh semangat.
Saat anak-anak mulai duk (kunul = bahasa Gayo atau duduk) berjejer, rapat, dan rapi yang diselingi dengan Sek(lengkingan suara khas dalam Saman) “menarikan Saman,” peserta pun langsung berdiri dan mengabadikan penampilan anak-anak dari Negeri Seribu Bukit yang kuliah di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) tersebut.
Sementara itu, dalam pengantarnya, Master of Ceremony (MC) dari Kemenkoinfo menuturkan, tari Saman berasal dari Kabupaten Gayo Lues. Lebih lanjut, sebutnya, tari Saman tidak boleh ditarikan perempuan. Apalagi, dicampur antara laki-laki dan perempuan. Sebab, bertentangan dengan nilai-nilai adat masyarakat Gayo dan syariat Islam yang berlaku di Aceh “haram hukumnya.”
Di Gayo Lues sendiri, sambung wanita ini, tarian yang sudah mendunia ini sangat merakyat “membudaya—ber-intangible”: dapat ditarikan masyarakat dari akar rumput sampai pejabat. Juga, dari anak-anak sampai orang tua. Disamping itu, disebutkan, Tari Saman akan dikukuhkan sebagai daftar warisan budaya dunia tidak benda (Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity) dari Indonesia oleh UNESCO di Bali, November 2011 ini. Kembali, riuh tepuk tangan peserta menggema memenuhi ruangan Rakornas yang akan dilangsungkan selama dua hari itu, Rabu-Kamis (9-10 Nopember 2011).
Secara terpisah, menurut Ridhwan Abd Salam “Penulis buku Tari Saman,” Tari Saman di Gayo Lues lebih dulu ada sebelum ajaran tarekat Syeh Saman masuk dan berkembang di Indonesia. Selain itu, Syeh Saman yang berasal dari Madiah sendiri tidak pernah ke Gayo Lues. Di Gayo Lues, jelasnya, ajaran ini disebut dengan Suluk dan perkembangannya tidak semasif tari Saman. Lebih lanjut, pungkas Ridhwan, saman di Gayo Lues berfungsi sebagai hiburan dan pemenuh rasa keindahan (estetika), jati diri masyarakat Gayo, media penegak hukum, media dakwah dan informasi, pemersatu, pelestari budaya (Gayo), dan sebagai peluang usaha. (M. Faiz Akbar al-Gayoni)