Oleh : Isma Arsyani*
Hari itu saya membuka surel (surat elektronik) dan membacanya. Tak lupa saya melirik sebuah folder berisikan saringan surel pemberitahuan dari sebuah media sosial yang sangat populer sejak 2006, walau 2004 mereka sudah dahulu lahir di Harvard. Setelah membukanya ada yang menarik bagi saya, seorang teman mengundang saya menghadiri peluncuran dan bedah buku di sebuah warung depan bekas gedung bioskop, Gentala Takengon.
Walau sering melewatkan event yang diadakan Lintas Gayo, seringnya karena perbedaan lokasi saat event diselenggarakan, kali ini saya mencoba hadir karena memang tak kemana-mana Jumat malam, 25 November 2011. Plus, satu hal yang membuat saya ingin hadir, keyakinan saya bila buku ini ditulis oleh orang Gayo. Padahal, saya tak habis baca undangan itu.
Jumat malam setelah Isya bersama Ipakku yang berusia hampir 5 tahun, saya tiba juga di lokasi. Sudah ramai dan tempat duduk penuh sudah. Tak apa, masih ada ruang kosong untuk berdiri dan menikmati acara. Paling tidak saya masih bisa mengikuti prosesi yang membangun acara peluncuran buku Demokrasi Aceh Mengubur Ideologi, malam itu. Saya bisa mendengar sambutan tokoh masyarakat Gayo, Ama Ibnu Hajar Laut Tawar. Menurut saya, Beliau menekankan bagaimana generasi muda Gayo tak lupa dengan Gayo-nya. Syukur bila ada penulis-penulis baru yang bisa mengangkat Gayo di masa mendatang. Setelah itu sambutan dari panitia, penyerahan buku, dan acara inti: membahas isi buku. Pembahasan ini dipimpin oleh Edi Kelana sebagai moderator. Tentu saja ada penulis buku sendiri, Adam Mukhlis Arifin atau yang lebih dikenal dengan Ali Gergel Pirak. Pembicara kedua, sang editor, seorang novelis Salman Yoga yang mewaklili lembaga The Gayo Institute yang menerbitkan buku ini. Yang terakhir adalah tokoh muda Gayo yang juga menjadi wakil rakyat, Ikwanussufa.
Saya tak membahas jalannya diskusi yang mengalir malam itu. Hanya saja sebagai seorang awam saya bisa menangkap motivasi dari lahirnya buku berjudul Demokrasi Aceh mengubur Ideologi. Buku ini lahir sebagai manifestasi Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Salah satu telur dari sekian banyak telur yang dihasilkan dari UU ini adalah pembentukan partai lokal di Aceh. Pembentukan partai memang telah menetas dan sudah berbicara saat pemilihan umum tahun 2009 lalu. Tahun 2001, Aceh sudah mendapat otonomi khusus dari pemerintah pusat. Setelah terbitnya UU No 11 Tahun 2006 , Aceh mendapat predikat lebih tinggi lagi dari sekedar otonomi khusus. Aceh bisa menjadi penyumbang pajak terbesar untuk Indonesia dan bisa menjadi Singapore di Indonesia sangking kayanya. Tentu bila UU ini diamalkan secara menyeluruh dan benar. Nah, yang bisa mengawal jalannya UU ini adalah partai lokal. Ini lah inti dari adanya buku ini menurut saya. Penulis juga memberikan wawasan bagi pembaca bahwa parati lokal ini tak hanya ada di Aceh, namun sudah banyak negara yang mengimplementasikan sistem ini dan bisa berhasil.
Namun bagi saya, malam itu melahirkan dua poin penting. Poin yang bisa menjadi momentum bagi masyarakat Gayo yang ada di Aceh Tengah, Bener Meriah, bahkan Gayo Lues, untuk bisa terus berkarya dan menjadi pelaku sejarah bagi tanah kelahirannya. Setelah malam itu, Adam Mukhlis Arifin sejajar dengan beberapa penulis Gayo terdahulu seperti Al Yasa Abu Bakar, Mahmud Ibrahim, Yusra Habib Abdul Gani, AS Mude, Salman Yoga, dan penulis lainnya. Malam itu menjadi penting karena menjadi pendongkrak bagi Urang Gayo agar mau menulis dan menerbitkan sebuah karya, khususnya berbentuk buku. Di tengah maraknya media daring saat ini, buku masih sangat perlu dimiliki oleh setiap individu. Seperti pepatah lama, buku adalah guru yang baik. Bagi saya, setelah seseorang menulis buku, maka ia adalah milik semua orang sampai kapan pun. Ini lah poin saya yang pertama, jadilah menjadi pelaku sejarah Gayo dengan terus menulis fenomena yang ada di sekitar kita. Seperti kata Ibnu Hajar Laut Tawar malam itu, bukan tak mungkin suku Gayo ini hilang bila tak ada lagi yang mau menulis tentang dirinya.
Poin yang kedua saya ucapkan salut buat The Gayo Institute yang menerbitkan buku pertamanya. Bagi saya adanya penerbit di Gayo menjadi penting karena ada ujung tombak yang berani untuk membuat terobosan di dunia aksara di Tanoh Gayo. Dengan adanya penerbit berarti membuka kesempatan bagi semua individu dan kalangan untuk bisa menulis dan mempublikasikannya ke dunia di luar Tanoh Gayo. Artinya, akan banyak referensi bagi orang lain di luar Gayo untuk mengetahui hal-hal istimewa di Tanoh Gayo.
Akhirnya, seperti yang diungkap Pak Jihad malam itu: “Menulislah dengan hati” sehingga akan lahir dan terbit penulis, buku, dan pemikiran yang brilian agar membawa Gayo menjadi lebih bermartabat (kembali).
—–
*Peneliti dari lembaga Birah Panyang, Tinggal di Lemah Burbana Takengon