Melihat Aceh dari “Dalam dan Luar”
TAHUKAH Anda para pembaca, bahwa di Aceh, yang saya ketahui terdapat delapan bahasa daerah. Atau tepatnya delapan bahasa daerah dimaksud bahasa Gayo, Alas, Singkil, Anuek Jame, Kluet, Sinabang, Tamieng dan bahasa Aceh (yang ejaannya: Mene, meno, jak kedih, jak keno, dan lain-lain). Kedelapan kelompok masyarakatnya tidak saling mengetaui satu sama lain kecuali sedikit-sedikit.
Oleh karena berlainan suku, sudah pasti berlainan adat-istiadat, berlainan sifat-sifat masyarakatnya dan berlainan pula temperamen kejiwaannya. Ada pemberani ada yang penakut, ada yang berani kalau mereka berkumpul banyak-banyak. Ada melawan musuhnya sekalipun dia seorang diri, mereka ini berpedoman kepada Semboyan: “Banyak orangnya banyak bangkainya” (dalam hal ini bila terjadi perkelahian).
Orang luar beranggapan bahwa masyarakat Aceh itu alim, taat kepada agama, hormat kepada guru, kuat beribadat. Padahal sesungguhnya bukan demikian, artinya tidak semua demikian, malahan tidak sedikit pula yang sebaliknya. Memang orang Aceh ada baik, ada yang alim, ada taat kepada Allah SWT, ada yang kuat beribadah, ada yang tidak sukuisme, ada yang sopan santun tinggi, tetapi sebagian kecil, secara umum pendapat tersebut bisa diperdebatkan.
Penulis bukan suku Aceh tetapi suku Gayo, sejak nenek moyang berdomisili di wilayah Aceh, tetapi tidak pernah merasa suku Aceh. Bukan saya saja yang berperasaan begitu, malahan mungkin tujuh suku lainnya yang bukan suku Aceh semua merasa seperti yang saya rasakan ini dan seperti saya uraikan berikut nantinya.
Saya pernah duduk dua periode (1982 s/d 1992) menjadi anggota DPRD Kabupaten Aceh Tenggara, dari itu wajar saya mengetahui segala macam tingkah-polah suku-suku yang ada di tanah rencong itu. Saya ingin membaca kelemahan suku Aceh di antaranya adalah:
1. Rasa kesukuannya sangat menonjol (sukuisme/provinsialisme)
2. Mempunyai sifat arogansi yang tinggi
3. Merendahkan suku lain
4. Berdarah panas suka marah
5. Fanatik agama dalam pengertian salah
6. Suka membanggakan diri
Rasa kesukuannya terlalu tajam, itu dapat kita buktikan ketika mereka menjadi pemimpin Negara bahkan pemimpin apa saja, katakanlah sebagai orang pertama di Aceh misalnya Gubernur Aceh.
Sepanjang pengamatan saya yang kini sudah berusia 75 tahun tidak ada seorang Gubernur pun yang suku Aceh yang dapat berlaku adil dalam rangka memberikan pelayanan kepada daerah-daerah, lebih-lebih daerah yang penduduknya bukan suku Aceh, seperti Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Singkil, Gayo Lues, Sinabang, Tamiang.
Coba kita pertanyakan apa sama pembangunan yang di Aceh Besar dengan Kabupaten Aceh Tenggara umumnya, jawabnya tidak sama. Tujuh kabupaten lainnya yang dikategorikan dengan anak tiri di Aceh sangat tertinggal dengan kabupaten lainnya. Apa sama pembangunan yang ada di Langsa dengan pembangunan yang ada di Takengon, pasti tidak sama, bahkan Takengon jauh tertinggal di belakang.
Apa mereka mengira bahwa daerah yang bersangkutan itu tidak tahu kalau mereka sengaja didiskriminasi? Mereka tahu tetapi tidak berani mengungkapkannya, takut dituduh macam-macam atau takut tidak kebagian rezeki karena rizki Banda Aceh yang pegang.
Jadi menurut hemat penulis apa yang terjadi di Aceh sekarang ini, bukan merupakan cobaan dari Allah SWT, tetapi hukuman, karena pemimpin suku Aceh banyak berdosa menyelenggarakan Pemerintahan di Provinsi Aceh– sekarang Nanggroe Aceh Darussalam. Aceh bisa aman dan tenteram kalau semua para pemimpin Aceh masing-masing bertaubat kepada Allah SWT dengan taubat nashuha, secara diam-diam tidak usah pamer karena tangan mereka sudah berumur dengan sesuatu yang kotor.
Seharusnya para pemimpin Aceh berterima kasih kepada penulis sebagai orang yang paling berani mengkritik sifat para pemimpin Aceh, supaya dapat diperbaiki tidak sampai terjerumus ke dalam jurang dunia dan jurang akhirat kelak, tidak sebaliknya.
Sifat arogansi suku Aceh amat tinggi. Itu jelas dalam kenyataan hidup sehari-hari seorang Aceh yang melihat orang lain melakukan maksiat, sekalipun kecil dapat dengan mudah mengatakan orang itu “kafir.” Padahal sabda Nabi Saw: “Siapa yang mengatakan kafir kepada saudara sesungguhnya dialah yang kafir.” Arogansi itu dekat dengan sombong. Sesungguhnya manusia tidak berhak berlaku sombong.
Memandang rendah suku lain. Orang Aceh biasa beranggapan dia saja suku yang kelas satu yang lainnya kelas teri, makanya di Aceh suku yang lain kurang mendapat tempat yang baik. Apabila suku lain sempat menjadi pemimpin di Aceh, khususnya di Ibukota Provinsi Aceh yaitu Banda Aceh, mereka berusaha bagaimana cara supaya orang itu harus segera dipindahkan dari Aceh. Contoh lama: pindahnya AR Hadjat ke Jakarta, pindahnya Tgk. Abdullatif Rusdi, ke Medan, pindahnya Prof DR Baihaqi AK. ke Bandung, pindahnya DR Zainal Abidin ke Lampung. Contoh dekat digoyangnya kursi Rektor Universitas Syiah Kuala baru-baru ini oleh golongan mahasiswa yang sudah kena suntik dari para tokoh Aceh yang benci kepada Prof DR Abdi Wahab orang Gayo Takengon.
Aduh…!, banyak contoh-contoh lainnya bila kita mau mencatatnya, itu semua menunjukkan orang Aceh amat benci kepada suku pendatang lebih-lebih yang tidak sebahasa dengan mereka.
Suku Aceh memang terkenal berdarah panas, artinya bila pertengkaran itu sudah agak mendalam mereka mau terus berhantaman dan bahkan menepuk dadanya: “Ini orang Aceh, Mau Apa kau?”
Fanatik agama dalam pengertian salah. Orang Aceh mau mati berkelahi bila dikatakan dia kafir padahal dia tidak shalat, tidak puasa, tidak berzakat, tidak pula berhaji, yang sesungguhnya beda antara Islam dengan kafir hanya karena shalat semata, bila shalat itulah Islam bila tidak jelas kafirnya. Orang Islam yang benar mau mati dalam pengertian mati sahid, karena agamanya diganggu pihak lain.
Di Aceh sekarang ini nyawa manusia lebih murah harganya dari pada harga seekor ayam potong. Hari ini mati di sini besok mati di sana, lusa mati tertembak dalam rumahnya sendiri. Kabar itu saja yang kita dengar setiap harinya lain tidak.
Suku Aceh jiwa membanggakan diri itu hendaknya harus dikurangi. Sebenarnya buat apa kita membanggakan diri. Seperti mengatakan aku ini hebat, aku ini kaya, aku ini kuat, aku ini panglima. Kami ini pernah membelikan pesawat udara untuk pusat dipergunakan untuk perang kemerdekaan. Pihak lain atau suku lain pernah memberikan jauh lebih besar dari itu kepada Negara, tetapi tidak pernah sekalipun dibanggakan di depan umum, apalagi dipidatokan di muka khalayak ramai. Islam tidak suka kepada orang yang membanggakan dirinya. Sifat membanggakan diri adalah kepunyaan Allah SWT. Bukan kepunyaan manusia seperti kita-kita ini. Banyak orang muak mendengar cerita orang yang selalu membanggakan dirinya, sukunya dan lain-lain sebagainya.
Pada umumnya pemimpin Aceh dapat merasakan ketidakadilan Pemerintah Pusat kepada Aceh, tetapi adakah pemimpin Aceh dapat merasakan perasaan daerah seperti Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Singkil, Tamiang, Simelu dan lain-lain. Sampai saat tulisan ini terangkai pemimpin Aceh tidak merasakan telah mencurangi daerah yang saya sebutkan di atas, mereka selalu merasa adil. Semoga dengan kritik yang terus terang ini mereka merobah sifatnya selama ini, bila tidak setempel makhluk curang tercoreng di kening para pemimpin Aceh.
Daerah lain seperti saya ungkapkan di atas meminta sejak sekarang sampai ke masa depan jabatan Gubernur Aceh tidak selalu harus suku Aceh “Mene, Meno,” harus bergilir dengan suku lain yang ada di Provinsi NAD. Kan, negara kita menganut paham demokrasi justru malahan sedang dalam era reformasi. Apa salahnya yang menjadi Gubernur Aceh itu sekali periode orang Gayo, orang Singkil, orang Tamiang, orang Alas. Jangan katakan selain suku Aceh yang tinggal di Aceh disamakan dengan suku Batak atau dikatakan orang Batak.
Tahukan Anda, suku Aceh yang sekarang bahwa ketika Kerajaan Aceh Darussalam memerangi Bangsa Portugis di Melaka, Raja Lingga XIII dari Gayo sebagai panglima perangnya dan memenangkan perang itu, terjadi tahun 1515 M. Dan lantas saking gembiranya Sultan Aceh memberikan hadiah sebuah pulau yaitu pulau Lingga yang sekarang masuk wilayah Provinsi Riau lautan kepada Raja Lingga XIII dari Tanah Gayo itu.
Orang pintar Aceh (almarhum) Prof Ali Hasjmy dalam majalah Darussalam (kini tidak terbit lagi) halaman 21 menyatakan bahwa yang pertama mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil yang ada di Aceh adalah Meurah Johan anak dari Adi Genali dari Tanah Gayo (Lingga). Ketikan menghancurkan Puteuro Neng yang memerangi Aceh Besar dan menjadi Sultan I pada Kerajaan Darussalam tempo dulu itu.
Sekalipun segelintir pasti ada jasa orang Gayo terhadap Kerajaan Aceh tempo dulu. Inilah yang tidak pernah dikenang oleh orang Aceh, makanya Tanah Gayo itu baik Gayo Laut Tawar, Gayo Lues, maupun Gayo Tanah Alas, sampai saat ini pun masih merasakan diskriminasi atau dianaktirikan oleh orang Aceh yang berkuasa di Provinsi NAD.
Satu lagi rasanya perlu diingatkan kepada suku Aceh supaya jangan terlalu bangga dengan kerajaan Aceh yang begitu jaya dulu itu. Yang jelas kita-kita ini sekarang makanya tidak sukses seperti mereka dulu itu, karena sifat kita sebagai pemimpin curang tidak seperti mereka, dulu adil dalam mengayomi rakyatnya.
Di samping kritik tajam yang saya lontarkan ini banyak kelelihan-kelebihan suku Aceh dari suku-suku lainnya di tanah air ini, kelak akan saya lanjutkan dengan mengemukakan apa-apa saja kelebihan suku Aceh dalam dunia pemerintahan dan perdagangan. Bila ada kesempatan tulisan ini akan kita sambung. Sekian dulu saya mohon maaf atas segala ungkapan yang dirasakan agak keterlaluan, agar tidak membawa dosa sampai ke yaumil akhirat kelak.(Penulis adalah mantan anggota DPRD Kabupaten Aceh Tenggara)
(Pelita : 19 Februari 2003, bappenas.go.id)