Catatan : Muhammad Zhahri*
—
Setelah aku berumur 6 tahun Ibu memasukkanku ke Sekolah Madrasah Ibtidaiyah di Kenawat Redelong, Ibu setiap pagi mengantarkan ku sampai di depan pintu kelas, aku menangis meminta pulang namun Ibu memaksa ku harus duduk bagus di bangku belajar, aku tetap tak mau.
Namun Ibu bilang “Ibu akan menunggumu sampai selesai belajar” dengan senang hati Ibu menungu di sebuah kantin kecil sekolah, sesekali aku melihat dari jendela “ apakah Ibu masih menunggu ku di kantin”, Ibu tak peduli dengan pekerjaannya yang di tinggalkannya di rumah terkadang Ibu merasa lelah sampai tertidur di meja kantin dengan posisi duduk, sudah pasti di hati Ibu ada rasa bosan menunggu, tiada lain tujuan Ibu “agar aku tidak meminta pulang dan tetap belajar” Ibu tetap duduk manis sampai lonceng pun berbunyi, hal ini terjadi sampai beberapa bulan lamanya sampai aku mulai betah duduk di bangku sekolah Ibtidaiyah.
Setelah aku tamat dari Ibtidaiyah aku dimasukkan Ibu kesalahsatu sekolah agama di Simpang Tiga yaitu Madrasah Ibtidaiyah namun perilaku dan tingkah ku berubah, aku sering pergi tanpa bilang pada Ibu aku pergi kemana, Ibu sibuk mencari ke tempat dimana aku sering bermain dengan teman-teman ku namun tiada, terkadang aku mencuri kunci kereta Ayah untuk bermain kemana aku suka sehingga Ayah marah pada Ibu karena merasa Ibu tak mampu mengurus ku, Ibu pun sering menangis di marahan ayah, setelah aku pulang bermain seharian Ibu hanya menanyakan “ apakah kamu sudah makan” hanya itu.
Pada saat umur ku 16 tahun setelah tamat dari Madrasah Tsanawiyah aku lari dari paksaan Ibu, aku sengaja jauh-jauh untuk sekolah mengikuti keinginan hati, padahal pada saat itu Ibu menginginkan ku untuk masuk lagi ke salah satu sekolah agama namun aku melawan hal ini agar aku tak dipaksa lagi untuk bekerja dan terus-terusan belajar, akhirnya Ibu pun menijinkan aku untuk sekolah di salah satu sekolah kejuruan yang berada di Pegasing.
Selepas aku tamat dari sekolah kejuruan, Ibu masih tetap memaksa ku masuk di salah satu Sekolah Tinggi Agama Islam di Takengon pelarian kedua pun terjadi aku lari untuk merantau ke kota metropolitan orang-orang sering menyebut Medan disinilah perjuangan itu terjadi, aku mulai merasakan apa yang sebelumya tidak pernah kurasakan begitu sulit rasanya berjauhan dengan sang Ibu, tiada lagi yang memaksa untuk belajar tiada lagi yang memarahi bila tak bekerja kini sudah empat tahun setengah aku disini.
Selama setahun aku mulai merindukan senyuman Ibu, kasih sayang Ibu, ketawa Ibu terutama marah Ibu sampai hari ini, selama ini mulai ku rasakan tuntutan Ibu sewaktu masih kecil aku dipaksa untuk belajar dan menulis yang baik walaupun yang diajarkan Ibu hanya hanya menulis dan membaca, Ibu bukan tamatan perguruan tinggi, Ibu bukan Guru Pegawai Negeri dan bukan Dosen ia hanya perempuan yang tamatan Madrasah ibtidaiyah namun beribu ilmu ada di pikiranya.
Tuntutan itu kini menjadi beban sebaliknya, puluhan tahun sudah dirayakan hari Ibu namun aku hanya merayakan saja aku tidak pernah menuliskan kisah tentang kasih sayangnya dan perjuangan Ibu membesarkan ku, karena tidak pernah belajar bagaimana menulis dan membaca, walau tak seberapa bagus ku coba menulis catatan kecil tentang Ibu.
Hari ini sengaja aku menuggu tepat pukul 12:00 WIB, kamis (22/12/2011) karena malam ini adalah tepat hari Ibu sedunia aku tidak ingin melewatkan moment ini dengan menelpon langsung Ibu dari perantauan pada saat Ibu mengangkat hendphone.
Ibu langsung panik dengan menanyakan “kenapa…?”
Karena selama aku di perantauan aku tak pernah menelpon Ibu pada waktu larut malam, sampai tiga kali Ibu menanyakan “kenapa…?, sebelum Ibu menayakan kembali.
Aku langsung bilang pada Ibu “Aku sayang ken Ine maafen kesalahen ku selama ini, selamat hari Ibu”, Ibu pun menjawab “ nge ku maafen boh mi anak ku ine pe sayang ken kao” jawaban yang sempurna nan indah sungguh pantas Ibu di tempatkan di surganya allah, tak ingin menggangu lama aku pun menyuruh Ibu beristirahat kembali.
Kemudian ku hubungi hendphone kakak yang paling besar dalam keluarga sambil ku ucapkan hari ibu untuknya. aku ingin menyelidiki bagaimana Ibu selama ini sekitar setengah jam obrolan kami sampai menunjukkan pukul setengah satu, dari ungkapannya di saat aku masih anak-anak Ibu tidak pernah belanja pakaian untuk dirinya melainkan menyisihkan uangnya untuk membeli pakaian untuk ku agar aku tidak menangis, sebelum meminta Ibu sudah menyediakan namun Ibu tetap sabar menghadapi bayangkan saja sewaktu kecil Ayah memarahi mu hanya Ibu yang membela, Ibu yang dimarahi Ayah karena siapa…? melawan Ibu sewaktu kecil apakah pernah Ibu bilang sakit hati kepada mu….? melarikan diri karena tidak mau belajar Ibu tatap mencari mu…? lari dari tuntutan pendidikan Ibu tetap merelakan kepergian mu, sambil menyudahi kata-katanya.
Rasa bersalah ku untuk Ibu memuncak ku ingin langsung sujud di kakinya sebelum nyawanya di jemput sang khalik aku ingin langsung meminta maaf dihadapannya.
Aku mulai lebih paham tentang ini semua, Ibu hanya orang biasa yang memiliki ilmu serba kekurangan tidak punya wawasan luas dan tak mengerti teknologi sedikit pun namun telah melahirkan ku di atas bumi sampai menjadi begini.
tlah kau hujamkan matamu tuk menentang sang surya tlah kau hentakan kakimu tuk menindas bumi tlah kau mantapkan hatimu tuk taklukan sang waktu
Read more at: http://id-blog-tutorial.blogspot.com/2011/11/puisi-untuk-ibu-mama-bunda-tercinta.html
Copyright by id-blog-tutorial.blogspot.com Terima kasih sudah menyebarluaskan aritkel ini
walau Ibu memiliki keterbatasan pendidikan tapi ilmunya seperti do,a dalam sujudnya, bukan orang lain yang pertama yang mengajarkan menulis, membaca dan berpikir mana yang baik dan mana yang buruk yang memberikan kasih sayang pertama kali dalam hidup adalah “Ibu”
Inilah tujuan Ibu dari setiap yang dikerjakan untuk generasinya “AGAR ANAKNYA BISA MENJADI MANUSIA YANG CERDAS” namun sering tidak terlihat oleh mata dari hal yang paling kecil sampai yang paling besar yaitu “pengorbanan”.
“Terima kasih Bidadari surga ku karena mu aku bisa begini”
*Wartawan LG di Medan Sumatera Utara
.