Catatan Lukman Hakim Gayo*
Usai shalat Ashar bersama sejumlah mahasiswa Universitas Palestina, kami berdiskusi panjang lebar sampai mereka pergi. Sejumlah pohon rindang di luar masjid dilingkari oleh tembok setinggi pinggang, Lalu saya duduk diatas tembok salah satu pohon itu. Saya menuang air minum yang tersedia disana, memang untuk siapa saja yang kehausan.
Ketika itulah datang seorang tua dengan air mata yang sudah meremang, tinggal menunggu menetes. Ia membuka kitab suci, lalu membacakan ayat itu. “Subhanalladzi asra bi’abdihi laila, minal masjidil haram ilal masjidil aqsha….this is the aqsha mosque”, lalu ia mengusap mata. Sambil berbicara pelan dalam bahasa Arab yang saya tidak mengerti. Saya ditarik ke dalam masjid itu kembali.
Ia memperlihatkan kepada saya, bahwa lantai ruangan imam dan sebagian shaf depan sudah mulai anjlok. Bukan tidak mungkin, suatu saat akan terperosok. Nampaknya, masjid ini sedang menunggu robohnya lantai-lantai itu. Untuk kemudian secara bertahap akan runtuh. Kalaupun itu terjadi, tak seorangpun yang ambil peduli. Baik umat Islam di Palestina, apalagi umat Islam dari negara lain. “Termasuk Anda..”, katanya sambil mengusap mata berkali-kali.
Anjloknya lantai itu, akibat penggalian yang dilakukan oleh Bagian Purbakala Israel, dalam rangka pembuktian peninggalan kuil Sulaiman. Penggalian itu dilakukan dari dinding ratapan, yang bersebelahan dengan sisi kiri dan bagian kiblat Masjid Aqsha. “Suatu saat, masjid ini akan runtuh. Lalu dibangun istana megah dan indah untuk Raja Israel Raya yang akan memimpin dunia. Mereka percaya, Raja Israel itu sebagai jelmaan Yesus Kristus yang dijanjikan turun ke bumi”, katanya.
Ditengah ketakjuban saya yang tiada henti, kakek tua itu terus bercerita. “Israel sedang menggalakkan pembohongan masyarakat dunia. Mereka mengekspos besar-besaran Masjid berkubah emas, The Dome of the rock atau Qubah Sakhra, sebagai Masjid Aqsha. Sehingga, tak seorangpun yang akan protes ketika Masjid Aqsha yang berkubah biru ini hancur, kemudian lenyap ditelan sejarah, karena kekejaman bangsa Israel”, katanya. Ada benarnya, memang.
“Di sejumlah negara Islam, umat Islam membuat organisasi penyelamatan Masjid Aqsha. Tetapi mereka tidak pernah meluruskan dan membantah pembohongan internasional ini. Bahwa Masjid berkubah emas itu, bukanlah Masjid Aqsha. Justru Masjid Aqsha sekarang sedang sekarat. Sedang menunggu keruntuhannya untuk kemudian hilang dari ingatan umat Islam. Padahal, masjid ini ketiga suci setelah Masjid Haram di Mekah dan Masjid Nabawi di Madinah. Apa yang dilakukan umat Islam dunia untuk menyelamatkannya?”, katanya lagi-lagi mengusap mata.
Palestina sudah tergadai
Hampir semalaman saya tidak dapat memejamkan mata. Dua masalah besar yang baru saya ketahui. Dari seorang kakek tua dan dari sekelompok mahasiswa yang militan. Menurut mahasiswa dalam pembicaraan dengan saya kemarin, tanah Palestina ini sudah digadaikan oleh Yasser Arafat kepada Amerika dan Yahudi.
Negeri Palestina yang dijuluki dengan ‘ardhal muqaddas’ adalah tanah wakaf Umar bin Khattab. Tanah ini diwakafkan untuk umat Islam. Menurut para mahasiswa itu, tanah wakaf inilah yang sudah digadaikan oleh Yasser Arafat, ketua PLO, kepada Amerika dan Yahudi demi untuk kepentingannya sendiri dan konco-konconya. “Setiap tahun Arafat pergi berkeliling, berdiplomasi dengan pihak asing. Sekembalinya, mereka berbagi-bagi uang dengan kolega mereka sendiri”, kata pemuda-pemuda itu.
Nama Palestina sendiri, secara bertahap sudah mulai jarang ditulis di atas peta. Secara bertahap tetapi pasti, peta-peta bumi sudah menghapus nama itu dan menggantinya dengan Israel. “Padahal, sejak awal, disini sudah ada Filistin. Di peta bumi yang lama, masih tertulis kata-kata Filistin, bukan Israel. Begitulah hebatnya propaganda Israel atas pembohongan masyarakat dunia. Sosialisasi internasional nama Israel di peta bumi seiring dengan gencarnya masjid kubah emas sebagai masjid Aqsha”, katanya.
Apa yang harus kita lakukan sekarang? Menurut para pemuda yang militan itu, “harus dilakukan pembantahan secara internasional. Pertama tentang kebenaran dan keberadaan Masjid Aqsha. Saat ini sedang berada dalam kondisi krisis. Kedua, penulisan kembali nama Filistin dan penghapusan kata-kata Israel di semua peta bumi yang diterbitkan dalam jumlah besar-besaran di semua negara di dunia”, kata mereka. “Tolonglah kami…” tambah seorang pemuda itu sambil meremang basah di matanya.
Warga kelas dua
Bersama Mahmud kami meneruskan perjalanan. Dengan pemilik dan sekaligus pengemudi merangkap bodyguard ini, banyak yang bisa saya peroleh. Pada suatu hari, kami menelusuri jalan raya yang menghubungkan Yerussalem dan Bethlehem. Tadinya, Bethlehem adalah kota kecil yang jaraknya sekitar 10 km dari Yerussalem. Tetapi sekarang sudah menyambung menjadi satu, seperti antara Jakarta dengan Bekasi atau Tangerang. Tak ada lagi batasnya, “Di Bethlehem tidak pernah kita dengar ada demonstrasi, padahal mereka juga asli orang Palestina. Begitu juga di Nazaret. Karena mereka sudah kerja sama dengan Yahudi untuk menghancurkan Islam di Palestina”, kata Mahmud.
Saya ingin menelusuri sejarah lahirnya Nabi Isa ‘alaihis salam di kota ini. Maryam yang mengandungnya, kemudian bersandar dibawah pohon kurma dan kemudian melahirkan. Sementara orang-orang Nasrani mempercatai Yesus lahir dalam sebuah palung di sebuah kandang hewan. Tempat-tempat yang berkaitan dengan kelahiran Yesus alias Isa as itu, sudah dibangun gereja. Bekas palung, bekas kandang, bekas istirahatnya Maria, semua sudah berdiri gereja. Sulit bagi umat Islam menelusuri sejarah itu.
Usai melihat tempat-tempat yang dipercaya mereka sebagai bagian dari proses lahirnya Isa ‘alaihissalam, kami meneruskan perjalanan ke Nazaret. Kami melintasi jalanan mulus. Lahan pertanian yang subur, tetapi juga bangkai kenderaan yang bertimbun menghiasi kanan dan kiri jalan raya. Melewati ‘Bukit Godaan” yang diyakini sebagai tempat pertapaan Isa as. Ketika bertapa itulah ia digoda, tetapi tidak mudah goyah.
Nazaret dipercaya sebagai kota pertama Yesus memulai ajarannya. Setelah berputar-putar, dan perut terasa keroncongan, saya mengajak Mahmud mencari restoran Islam. Mahmud berhenti di seberang jalan, dan keluar mobil memanggil seorang pemilik restoran. Pemilik restoran itu mendekati saya yang tidak turun dari mobil.
“Benarkah Anda muslim dari Asia?”. Saya menjawab benar, tetapi ia tidak percaya. Ia memaksa saya membacakan Alqur’an, sebagai bukti. Ketika saya bacakan “Wa idz qala luqmana li ‘ibnihi...dst..”. Dia menangis dan merangkul saya.
Lalu memaksa saya turun dan masuk restorannya. Ia berteriak memanggil isteri dan anak-anaknya yang menjadi pelayan di restoran itu. Bahwa, ada orang Islam datang dari negeri jauh melihat keadaan mereks. Ia tak menghiraukan para pelanggannya yang terbengong-bengong. Ada yang berdiri menjabat tangan saya dan ada yang hanya memandang sambil tersenyum.
“Kami rindu dengan umat Islam dari negeri lain. Kami tidak pernah dikunjungi, kami dilupakan, dibiarkan tersiksa”, katanya terbata-bata. Semua keluhan dan kesedihannya menusuk sanubari saya. Kemudian saya menganggukkan kepala berkali-kali, seakan menelan kesedihannya kedalam dada saya. Semakin terasalah, meski berlainan bangsa serasa seperti saudara kandung karena diikat oleh agama Islam. Ia membungkus beberapa makanan untuk bekal perjalanan saya.
Kali ini perjalanan saya cukup panjang.
Mahmud membawa saya melihat kota-kota kecil seperti Tiberias, Town of Yesus, sampai ke tepian Danau Galilea yang airnya biru. Kota-kota selain Yerussalem, relatif lebih tenang. Tidak ada serdadu bringas yang memeriksa di sembarang tempat. Berdiri di teras hotel di Tiberias memandang ke Galilea, serasa berada di hotel Prapat tepian Danau Toba. Disini ada jenis ikan yang pernah dimakan oleh Yesus Kristus, kata pemilik restoran di tepian danau itu. Lalu saya meminta mereka menyiapkan ikan itu untuk santapan kami hari itu.
Menikmati restoran disini dan kota-kota lain, agak lebih nyaman dibanding restoran di Yerussalem. Suatu ketika, kami sedang makan siang di lantai 4 restoran muslim, tengah kota Yerussalem. Tiba-tiba tembakan meletus beberapa kali. Dalam waktu sekejap jalan raya yang sibuk itu menjadi sepi. Orang kucar kacir berlarian menyelamatkan diri bersembunyi dibalik tiang. Kemudian beberapa pemuda yang berlumuran darah rebah di tengah jalan, dibuang ke atas truk yang sudah siap. “Mereka dibawa ke Nablus”, kata Mahmud. Di kurung dalam penjara tanpa diadili, untuk masa yang tidak diketahui. Pengalaman itu tak bisa saya lupakan.
Alangkah menderitanya para pemuda Palestina. Seakan-akan setiap hari dikejar-kejar dan menjadi ancaman peluru yang tiba-tiba bisa melayang. Sementara pemuda Islam di negeri lain bisa dengan tenang menjalani ibadah mereka, bisa dengan santai menikmati hidup. Tapi, di Palestina? Adakah dari mereka-mereka itu, pemuda yang kemarin saya temui di Masjid Aqsha? Ya Allah, lindungi mereka. Di negeri ini, nyawa manusia nyaris sama dengan nyawa seekor ayam. “Hanya kepadamu tempat kami berlindung, Ya Allah….”
*Wartawan asal Gayo di Jakarta
.