.
Lukman Hakim Gayo*
“Kemana lagi akan meneruskan perjalanan, hai L…”, kata resepsinois Jepang yang muslim itu sambil senyum haru. Saya menjabat tangannya erat. Bincang-bincang kami setiap sarapan pagi, bahkan kadang-kadang ia membuatkan susu untuk saya, membuat kesan tersendiri. Mungkin tidak bertemu lagi petugas hotel seramah dia.
“Saya mau ke Stockholm”, kata saya singkat.
“Hah ? Untuk apa Anda ke sana. Anda tidak tahu disana berbahaya buat kita orang Muslim?”, ia gusar. Saya tahu. Bukan bahaya bom atau demo anti Islam. Tetapi, disana terkenal kota ’bebas’ dalam berbagai budaya dan perilaku.
“Insyaallah, saya tidak akan tergoda. Hanya mau melihat”, kata saya. Tidak saya katakan bahwa saya terobsesi ungkapan beberapa teman. Jangan mati sebelum melihat Bali, atau jangan mati sebelum melihat Stockholm. Naif sekali. Tapi tekad sudah bulat, apalagi tiket sudah di tangan. Visa juga sudah saya peroleh. Hotel Cristall saya tinggalkan, dengan kereta api ke bandara.
Pagi itu bandara Frankfurt masih dingin. Tetapi calon penumpang sudah berdatangan. Sambil menunggu masuk pesawat, seorang ibu muda menghampiri. ”Selamat pagi, Anda pasti dari Asia”, katanya sambil memberi senyum dan meletakkan bawaan.
“Ya, benar, saya dari Asia. Tepatnya, Indonesia”.
“Ooo, Bali, very nice. Wellcome. Nginap dimana di Stockholm?”, katanya mulai lebih ramah. Saya menjawab, belum tahu lagi. Memang belum. Saya masih meraba-raba, mencoba berpetualang tanpa persiapan. Mendengar jawaban itu, dengan cepat ia mengambil notesnya, menulis nama dengan nomor telepon. Saya simpan. Kami bangkit berjalan beriringan menuju gate. Hanya beberapa jam, Lufthansa menerbangkan kami ke ibukota Swedia itu.
Inilah bandaranya Stockholm. Kesan pertama adalah, bandara yang sejuk dan bersih. Selendang yang menggantung sebagai iklan, bertulisan “disini bukan tempat merokok”. Bukan, dilarang merokok, seperti umumnya pengumuman. Padahal hawa dingin membuat orang ingin menghisap tembakau itu. Tapi bukan tempatnya disini. Bukan hanya itu, Ini yang membuat saya bergidik, ”Jangan lupa condom Anda”. Subhanallah.
Ketika ia dijemput oleh anaknya, saya hanya melambaikan tangan. Ingat, saya tidak mau terjebak. Apalagi kata orang-orang kedutaan, “orang Asia dikejar-kejar perempuan eropah lho. Awas.” Menghindari itu, saya mendorong troly. Sambil berkeliling ruang tunggu, saya berpikir kemana langkah akan diayunkan. Menikmati warung kopi eropah dengan kentang goreng. Baca sejumlah majalah sampai terkantung-kantuk.
Kemudian berkeliling lagi. Saya masih bingung, mau kemana. Hari sudah pukul 17.30 waktu setempat. Perkiraan saya, sebentar lagi maghrib. Sederet poster iklan saya baca, iklan-iklan dan salam negara-negara saya cermati. Akhirnya mata saya tertumbuk dengan membaca iklan dan sejumlah pengumuman di dinding ruang tunggu bandara.
Lalu mata tertuju kepada sebuah iklan, daftar pusat kebudayaan dunia. Satu diantaranya adalah Kantor Pusat Budaya Asia lengkap dengan nomor telepon. Saya menelpon dari bandara, alhamdulillah tersambung. Minta informasi telepon kantor KBRI. Lagi-lagi saya bersyukur, Alhamdulillah, saya gembira sekali menerima nomor telepon itu.
Dengan sebuah taksi yang dikemudikan seorang anak muda asli Stockholm, kami meluncur cepat. Gerimis menjelang maghrib mulai menambah dingin. Inilah kota Stockholm, kata saya dalam hati.
“Saya bingung, dimana saya harus shalat maghrib”, kata saya memancing.
“Oh, Anda Moslem?”
“Ya. Saya harus sholat maghrib”, kata saya tegas. “Dan, kamu agama apa?”
“Saya”, lalu ia tertawa terbahak-bahak. Ia mengambil botol dari balik kursinya dan menunjukkan kepada saya. “Disini Tuhan saya. Habis minum saya ketemu Tuhan”, katanya. Tentu bercanda. Saya mengerti. Kedutaan Besar Republik Indonesia Sweden, ketika itu dijaga oleh seorang laki-laki separoh baya. Ia berpakaian necis dan sudah lama menunggu-nunggu. Dengan penuh ramah kami bersalaman. Rupanya ia sudah lama tidak pulang kampung. Lalu berita-berita Indonesia dia cecer kepada saya. Semua saya jawab dengan memuaskan.
“Saya butuh hotel termurah. Tolong, dimana kira-kira..”, kata saya memotong.
“Gampang. Nanti saya telepon, biar dijemputnya kemari”, kata lelaki itu.
Dua orang suami isteri, karyawan KBRI yang lembur sampai sore, keluar lift dan bersiap-siap pulang. Mereka sudah mengembangkan payungnya, mau melangkah menuju mobil. Ketika itulah saya memperkenalkan diri, begitu juga suami-isteri itu. Namanya Rustam, doctoral di Stockholm Univercity. Isterinya bernama Lucy, staf kantor Kedutaan. “Jangan cari hotel. Bermalam saja di rumah kami”, kata Lucy ikhlas dan betul-betul ramah.
Tawaran yang tidak seharusnya ditolak. Bahkan dengan gembira pula ia mengatakan kepada penjaga gedung KBRI itu, supaya saya tidur di rumah keluarga muda itu. Barang-barang saya masukkan kedalam mobil mewah mereka. Lalu bersalaman dengan si penjaga, janji besok-besok kami akan cerita lagi. Jalanan mulus berembun. Akhirnya saya bermalam di rumah keluarga Rustam selama beberapa hari.
Saya tidak tahu persis apa namanya kawasan ini. Yang jelas, hampir semua bangunan yang ada merupakan apartemen berlantai 4 bahkan lebih. Ada disekitarnya rumah penduduk yang juga bertingkat. Tak jauh dari apartemen, sebuah lapangan yang alami, menjadi lapangan olah raga dan rekreasi. Anak-anak berkejaran kesana kemari.
Apartemen ini empat lantai. Jalan masuk melalui pintu berjeruji besi yang terkunci. Semua penghuni memegang kunci itu. Disamping pintu ada radio-call yang terhubung ke semua penghuni. Pintu jeruji besi menuju lift yang mengantarkan ke semua lantai. Masing-masing sebelah kanan dan sebelah kiri untuk dua keluarga. Hanya keluarga Indonesia ini yang lantai sebelah kanan diborong sendiri. Tanpa keluarga lain.
Jadi, kamar tidurnya besar-besar. Begitu juga dengan beberapa kamar mandi, ruang tamu yang lega dan ruang lesehan. Pokoknya, puas dan menakjubkan. Dia persilahkan saya memilih kamar tidur yang mana. Bahkan, ia memberi serbuk penyegar badan ditaburkan ke dalam bak mandi berselonjor. Lalu membiarkan saya menikmati semua itu, sementara isterinya menyiapkan makan malam. Asyiknya jadi wartawan,,,,
*Wartawan asal Gayo, tinggal di Jakarta