Aceh Tengah dan Promosi Pariwisata Tanpa Arah

 

Oleh : Win Wan Nur*

Pariwisata adalah sektor ekonomi penghasil devisa yang sangat menggiurkan, sebab keberhasilan pengembangan industri pariwisata di suatu wilayah selalu menimbulkan dampak ekonomi multi ganda.

Keberhasilan pengembangan industri pariwisata di suatu daerah akan menciptakan dampak ekonomi langsung, dampak ekonomi tak langsung, dan dampak ikutan yang menggerakan UMKM dan ekonomi rakyat.

Dampak ekonomi yang langsung terlihat dengan berkembangnya industri pariwisata adalah berdirinya Hotel, Restoran, Perusahaan Angkutan Pariwisata, Toko Cindera Mata serta jasa keuangan (money changer) yang mana semuanya akan memberikan sumbangan langsung kepada Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Dampak ekonomi tak langsung diperoleh melalui terserapnya tenaga kerja menjadi karyawan hotel dan restoran, pemandu wisata, bertambahnya sopir angkutan umum, berkembangnya pengrajin cinderamata, penjual sayuran, buah dan bahan makanan lainnya serta terbukanya lapangan kerja bagi seniman dan percetakan. Kemudian masih ada dampak ikutan, berupa semakin bergairahnya usaha petani sayuran, bunga dan  buah, peternak ayam, ikan dan kerbau serta penghasil bahan baku kerajinan dan sektor agribisnis lainnya.

Melihat dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh industri pariwisata, tidak mengherankan semua negara di dunia menjadi tertarik mengembangkan industri ini.

Mengelola pariwisata untuk mendatangkan wisatawan itu ibarat menangkap ikan. Ada berbagai cara dan teknik untuk menangkap ikan. Bisa memancing, jala, munyangkul, memasang doran atau didisen.

Untuk level Indonesia, ibarat menangkap ikan tadi, usaha mendatangkan wisatawan baru pada tahap memancing. Masih kalah jauh dengan Thailand dan Vietnam yang sudah fasih menggunakan jala apalagi kalau dibandingkan dengan Malaysia yang sudah sangat  canggih menggunakan Pukat Harimau.

Indonesia cukup beruntung dianugerahi beragam potensi wisata yang luar biasa banyaknya. Sehingga dengan pengetahuan dan ‘teknik memancing’ paling sederhana dan primitif pun masih tetap bisa mendatangkan 6 juta wisatawan dalam setahun. Dengan cara paling sederhana dan primitif ini saja, pada tahun 2008 Pariwisata menjadi penyumbang devisa terbesar ketiga bagi Indonesia, setelah Migas dan Minyak Kelapa Sawit. Luar Biasa!

Bagaimana dengan Aceh Tengah?.

Aceh Tengah adalah salah satu kabupaten di Indonesia yang memiliki potensi sangat besar untuk menghasilkan devisa dari sektor pariwisata. Tapi sayangnya potensi yang sangat besar itu sampai sejauh ini hanya tetap menjadi potensi tanpa pernah bisa tergarap dengan optimal untuk menghasilkan devisa yang besar. Mengapa Aceh Tengah yang memiliki potensi wisata sedemikian besar tidak didatangi oleh banyak wisatawan?

Seperti daerah lain di Indonesia, pengelola pariwisata di Aceh Tengah bukanlah orang yang kapabel dibidangnya. Mereka hanya sekelompok pegawai negeri tanpa latar belakang entah berupa pendidikan atau pengalaman dalam industri pariwisata yang ditempatkan di sana oleh Bupati dengan alasan yang hanya dimengerti oleh Tuhan dan sang Bupati sendiri. Dipimpin oleh seorang kepala dinas yang cuma memahami pariwisata berdasarkan imajinasi liarnya saja. Sang kepala Dinas alih-alih mau menyewa konsultan untuk merancang kebijakan pariwisatanya, diberi advis secara gratis saja tidak mau terima. Sehingga tidak mengherankan ketika diberi wewenang, mereka mengelola pariwisata Aceh Tengah tanpa konsep dan tanpa strategi yang yang jelas. Menghamburkan uang rakyat yang mereka kelola tanpa bisa diminta pertanggung jawaban hasilnya.

Ibarat pemancing, pengelola Pariwisata Aceh Tengah adalah sekumpulan pemancing amatiran yang sama sekali tidak mengerti teknik memancing, bahkan lebih parah lagi mereka tidak tahu di mana seharusnya memancing dan ikan apa yang akan mereka pancing.

Seorang pemancing yang baik seharusnya mengetahui semua hal itu, karena hanya dengan pengetahuan itulah bisa ditentukan apa umpan pancingnya, apa jenis benang dan ukurannya, berapa ukuran mata kailnya dan dimana harus memancing.

Seperti ikan yang ada banyak macamnya dan memiliki kesukaan yang berbeda. Wisatawan yang mengunjungi suatu daerah tujuan wisata juga sama, ada banyak ragamnya dalam istilah kerennya disebut segmen.

Berdasarkan daerah asal secara global segmen pariwisata di Indonesia ini dapat dibagi menjadi dua kelompok besar. Mancanegara dan Domestik. Sebenarnya kedua segmen ini pun  masih harus dipecah-pecah lagi menjadi berbagai macam segmen berdasarkan asal negara atau daerah, kelas sosial ekonomi dan juga usia. Tapi tak perlu dululah kita bicarakan terlalu mendetail, karena dua segmen besar secara global itu saja pun sudah memiliki karakter yang sangat berbeda. Sehingga kalau ingin mendapatkan hasil optimal, maka promosi yang dilancarkan kepada kedua segmen ini juga seharusnya tidak sama. Untuk bisa mendapatkan hasil promosi yang optimal maka karakter, kesukaan dan lokasi untuk memancing wisatawan yang disasar tentu saja harus tepat.

Ibarat jenis ikan yang berbeda untuk ‘memancingnya’ otomatis ‘umpan’ dan jenis ‘kail’ yang digunakan serta lokasi memancingnya juga berbeda.

Untuk memancing Bawal, umpan, ukuran benang dan mata kailnya, teknik pemancingannya jelas tidak sama dengan yang digunakan untuk memancing Bado, Mut, Relo atau Kepras.

Kalau yang mau dipancing adalah Relo, jelas buang-buang waktu, energi dan biaya kalau pancing yang disiapkan dengan mata pancing dan benang ukuran besar seperti antus, dan umpan gadung.

Begitu juga dengan lokasi, kalau hanya untuk memancing ikan sekelas Relo tentu mubazir menghabiskan uang untuk menyewa perahu mesin ke tengah danau sana. Karena Relo yang paling banyak itu justru ada di belakang begen di Mersah Bale.

Jadi kalau yang mau dipancing itu cuma sekelas Relo, ya tidak perlu membawa umpan dan menyiapkan perlengkapan yang aneh-aneh. Pelu sebagai joran, benang dan mata kail kecil dan sebuah kekuden sudah cukup sebagai modal untuk duduk santai memancing di sana. Nasi kuning yang ditumbuk halus dan diberi aroma terasi, sudah cukup mumpuni sebagai umpan.

Malaysia, tetangga mungil kita nan berisik, adalah contoh sukses pengembangan pariwisata dengan sangat terencana. Bayangkan negara yang potensi pariwisatanya tak sampai seupilnya Indonesia itu bisa mendatangkan 30 juta wisatawan per tahun, lima kali lipat lebih besar dibanding jumlah wisatawan yang berkunjung ke Indonesia, jumlah yang bahkan lebih besar dari penduduk negara itu yang hanya 27-an juta jiwa.

Kenapa mereka bisa sedemikian sukses?

Itu karena sebelum menjaring wisatawan melalui promosi, mereka sudah terlebih dahulu memetakan karakter dan perilaku calon wisatawan yang mereka sasar dan menggarapnya dengan teliti sampai ke detail-detail kecilnya.

Contoh, ketika mereka akan menjaring wisatawan asal Timur Tengah. Mereka benar-benar mempelajari karakter orang Timur Tengah, dengan meminta pendapat para ahli sosiologi dan antropologi. Salah satu kesimpulan yang mereka dapatkan dari riset mendalam itu adalah; wisatawan timur tengah suka berkunjung ke daerah baru, tapi untuk makan, mereka hanya suka makanan khas timur tengah dan juga disajikan oleh pelayan asal Timur Tengah. Mengetahui informasi ini pemerintah Malaysia melalui pengelola pariwisatanya dengan cerdik mengundang investor Timur Tengah untuk membangun usaha restoran di Malaysia dengan diberikan berbagai fasilitas kemudahan tentunya.

Alhasil, dengan strategi yang tepat seperti itu, Malaysia sekarang adalah daerah tujuan wisata nomer satu untuk wisatawan asal Timur Tengah. Kalau dibandingkan dengan Malaysia, Indonesia yang menjaring wisatawan Timur Tengah hanya dengan mengandalkan wisata kawin kontrak di Cisarua,  jelas tidak ada apa-apanya.

Untuk segmen lain, Malaysia menggunakan strategi dan pendekatan yang berbeda. Untuk menjaring wisatawan asal Indonesia misalnya, strategi yang mereka gunakan tentu tidak sama, demikian pula ketika mereka menyasar segmen Eropa.

Nah berdasarkan berbagai gambaran di atas, bisakah kita membayangkan ‘ikan’ jenis apa yang sedang dipancing oleh Pemda Aceh Tengah melalui Dinas Pariwisata ketika mereka atas persetujuan DPRK menghamburkan uang kita (saya sebut kita, karena meskipun sekarang saya ber KTP DKI, tapi pajak dari semua aset saya di Aceh Tengah, entah itu PBB rumah dan tanah serta pajak dari setiap kerbau yang saya jual, saya bayarkan untuk Aceh Tengah, bukan DKI Jakarta) memutuskan melakukan promosi Pariwisata Aceh Tengah dengan cara membangun Graffiti GAYO HIGHLAND senilai ratusan juta rupiah.

Sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada kita para pembayar pajak. Sekarang, bisakah (mantan) Bupati (yang terpilih kembali) dan Dinas Pariwisata Aceh Tengah yang saat membangun Graffiti GAYO HIGHLAND dengan keras kepala menutup hati dan telinga tanpa mau mendengar masukan apapun dari masyarakat, menunjukkan ‘Ikan’ yang telah mereka peroleh dengan cara ‘memancing’ seperti yang telah mereka putuskan itu?

* Penulis adalah Seorang Profesional Pelaku Bisnis Pariwisata Asal Gayo

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments