AMAN Siti Murni, begitulah pria yang mengaku berusia 80 tahun selalu dipanggil. Sehari-hari, pria ini bekerja sebagai pembuat gula aren di kawasan Desa Bah Kecamatan Ketol, Kabupaten Aceh Tengah. Setiap pagi selesai Shalat Subuh pria ini berjalan tertatih-tatih keluar-masuk hutan memanen air nira yang disebutnya dengan “weh pola”.
Biasanya menjang Shalat Ashar sekitar 50 lempeng gule aren siap di pasarkan. “Sekarang harga gula aren sudah mahal” tutur M. Ali Aman Siti Murni “Nge mera beli e 2 ribu sara lempeng” (pedagang menghargai 2 ribu per lempeng).
Setiap hari para pedagang mendatangi rumah Pak Ali Aman Siti Murni untuk membeli gula aren. Profesi pembuat gula aren sudah dilakoninya sejak zaman Jepang. Rupiah demi rupiah dikumpulkannya, sampai suatu ketika puluhan tahun lalu M.Ali Aman Siti Murni mampu memiliki sendiri se-ekor anak kerbau.
Pada tahun 2008, di jualnya 3 ekor kerbau sebagai setoran awal Ongkos Naik Haji (ONH). “Ike gere ilen sawah ku Haji, gere semperne len rukun te” Katanya. Pekerjaan sebagai pembuat gula aren tetap dilakukannya untuk memenuhi biaya dapur.
Dengan terbungkuk-bungkuk M. Ali berjalan dengan penuh semangat untuk melontar Jumrah diantara jutaan umat manusia dengan tujuan yang sama, memenuhi undangan dari pencipta-NYA. Jarak 10 km di bawah sengatan matahari gurun seakan tidak mampu menyurutkan semangat M. Ali Aman Siti Murni.
Berkali-kali air matanya membasahi pipi saat dia berbisik-bisik dengan Tuhannya, dengan linangan air mata penuh harap dipanjatkannya doa untuk kesembuhan istri tercinta yang terbaring lumpuh di Desa Bah Kecamatan Ketol. Dimohonkannya pula agar sang istri dan ponakannya di undang Allah ke tanah yang dimuliakan-Nya. Uraian air matanya sudah tumpah sejak di mesjid Nabi (Nabawi), di depan Ka’bah hingga di Padang Arafah.
Doa sederhananya diantara doa jutaan tiada henti di panjatkannya selama di tanah suci. lantunan talbiah, takbir, zikir dan tahmid selalu membasahi bibir pria sederhana itu Labaikaallah humma labaik………(Jali melaporkan dari Mekkah)