Takengon | Lintas Gayo – Pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) legislatif akan dilaksanakan bulan April 2014 mendatang dan di kabupaten Aceh Tengah ancang-ancang sejumlah orang untuk meraih kursi di 4 lembaga legislatif, DPRK, DPRA, DPR dan DPD tersebut mulai kelihatan.
Seorang sosok perempuan yang dikenal aktif dengan berbagai kegiatan di Takengon, Hj. Rahmawati AB, SKM, Sabtu (5/01) kepada Lintas Gayo dengan tegas menyatakan akan ikut berebut suara di Daerah Pemilihan (Dapil) I Aceh Tengah yang jika tidak ada perubahan meliputi Kecamatan Lut Tawar, Bintang dan Kebayakan.
Istri mantan Wakil Bupati Aceh Tengah, Drs, H. Djauhar Ali dan menjabat sebagai ketua Gabungan Organisasi Wanita (GOW) Aceh Tengah ini memastikan akan maju dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan berupaya agar pemilih di Pileg kedepan semakin cerdas menentukan pilihan.
Selanjutnya tokoh muda yang dikenal sebagai aktivis anti korupsi di Gayo, Hamdani, juga menyatakan ketetapan hatinya untuk maju sebagai calon wakil rakyat di DPRK untuk periode 2014-2019. Dia juga memilih Dapil I Aceh Tengah. “Saya ikut maju di Pileg 2014 dan memilih Dapil I,” kata Hamdani kelahiran desa Kelupak Mata Kecamatan Kebayakan ini.
Salah seorang pendiri lembaga anti korupsi Jang-Ko ini belum bersedia menyebut partai pengusungnya.
Penegasan sama diutarakan tokoh muda Aceh Tengah, Irvan Rasyid. Dia pastikan akan maju di Dapil 1 untuk DPRK. “Saya maju dan dengan partai kesayangan saya Partai berlambang Ka’bah”, kata Irvan Rasyid bersemangat.
Irvan Rasyid adalah pengurus teras Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Aceh Tengah dan juga sebagai ketua paguyuban Minang Saiyo dua kabupaten, Aceh Tengah dan Bener Meriah.
Informasi calon lain yang mulai ramai dibicarakan di Aceh Tengah adalah dengan tampilnya sosok perempuan yang menjabat sebagai kepala desa (di Aceh Tengah disebut Reje) Pegasing, Asnaini juga dipastikan maju sebagai balon Legeslatif tahun 2014 mendatang di Dapil 2 (Pegasing, Linge, Bebesen, Bies, Kute Panang, Jagong Jeget dan Atu Lintang) dari Partai Gerindra. (Kha A Zaghlul)
Jangan salah Pilih, Pilih minimal caleg yang memiliki 3 hal yaitu, Beriman, baik akhlaknya, dan Berpendidikan, Negara Indonesia bukan Negara yang menganut sistem monarki (kerajaan), maka mari jadikan momen PEMILU untuk memilih orang2 yang terbaik yang betul2 mengabdi karena Allah SWT
HUKUM PEMILIHAN,…!!!
Sekarang kita beralih pada bahasan fatwa ulama yang melarang turut serta dalam memberikan suara dalam Pemilu. Pendapat ini berbeda dengan pendapat pertama kemarin yang kami posting di mana di sana dijelaskan bolehnya -bahkan wajibnya- memberikan suara dalam Pemilu. Namun hal ini dibantah oleh fatwa yang kami bawakan dalam tulisan kali ini. Fatwa ini menunjukkan bahwa turut serta dalam Pemilu hanya mendatangkan mudhorot dan tidak membawa maslahat yang berarti.
Ulama yang melarang keikutsertaan dalam pemilu secara mutlak adalah Syaikh Muqbil bin Al Wadi’i –rahimahullah- dalam Tuhfatul Mujib (hal. 314-318). Beliau adalah ulama besar dari negeri Yaman, terkenal dengan zuhud, luasnya ilmu dan masyhur dengan penguasaannya terhadap ilmu hadits.
Pertanyaan no. 211: Para pendukung pemilu biasa beralasan dengan fatwa Syaikh Al Albani, Syaikh Ibnu Baz dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. Bagaimana pendapatmu mengenai hal ini?
Syaikh rahimahullah menjawab:
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam kepada Rasulullah, keluarga, para sahabat, dan pengikutnya. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Amma ba’du:
Sebenarnya para pembela pemilu mereka adalah musuh dari para ulama tadi. …
Fatwa Syaikh Al Albani rahimahullah ini pernah kuutarakan secara langsung pada beliau: Bagaimana engkau bisa membolehkan mengikuti pemilu? Syaikh Al Albani menjawab: Aku sebenarnya tidak membolehkan pemilu, namun ini adalah mengambil bahaya yang lebih ringan di antara dua bahaya yang ada.
Maka coba kita lihat, apakah betul di Aljazair dihasilkan bahaya yang lebih ringan ataukah bahaya yang lebih besar? Silakan baca biografi Abu Hanifah, kalian akan temui bahwa para ulama kita melarang dari logika dan hanya sekedar anggapan baik. Para ulama menilai bahwa logika hanyalah jalan menuju paham Mu’tazilah dan Jahmiyah [maksud beliau: membolehkan ikut memilih dalam pemilu hanyalah logika yang tanpa dasar, ed]. Adapun fatwa Syaikh Al Albani, maka mereka mencomotnya dari fatwa beliau sejak zaman dulu.
Sedangkan fatwa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin adalah fatwa yang sedikit aneh, padahal beliau adalah orang yang mengharamkan multi partai dalam satu negara. Namun beliau malah membolehkan perkara yang lebih bahaya daripada hal tadi yaitu masalah pemilu. Padahal pemilu adalah sarana menuju Demokrasi.
Aku katakan pada orang-orang yang sengaja mendatangkan kerancuan semacam ini: Seandainya para ulama tersebut (yakni Syaikh Al Albani, Syaikh Ibnu Utsaimin dan Syaikh Ibnu Baz) meralat fatwa mereka, apakah kalian akan ikut merubah pendapat kalian mengenai hal ini?
Kami katakan: Kami berkeyakinan bahwa taqlid (cuma sekedar ikut-ikutan tanpa dasar ilmu) adalah haram. Oleh karena itu, tidak boleh bagi kita hanya sekedar ikut pendapat Syaikh Al Albani, Syaikh Ibnu Baz dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).” (QS. Al A’raaf: 3).
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (QS. Al Isro’: 36). Ahlus Sunnah itu melarang taqlid buta.
Kemudian kami katakan kepada para ulama yang berpendapat demikian:
Sesungguhnya fatwa kalian ini amatlah berbahaya. Tidakkah kalian tahu bahwa Bush –semoga Allah menjadikannya sebagai orang yang hina- ketika dia menjabat sebagai Presiden Amerika mengatakan: Sesungguhya Saudi Arabia dan Kuwait tidak menerapkan sistem demokrasi.
Para ulama yang berpendapat demikian hendaklah meralat pendapatnya. Aku pun menegaskan meralat semua kesalahan yang ada pada kitab, kaset atau dalam dakwahku. Aku ralat dalam keadaan hati merasa tenang. Para ulama tersebut tidaklah dosa jika meralat pendapat mereka. Mereka sebenarnya tidak mengetahui apa yang terjadi di Yaman (akibat pemilu, -pen), apa yang terjadi di parlemen (dewan perwakilan rakyat). Mereka pun tidak tahu akibat buruk dari pemilu. Timbul berbagai macam pembunuhan dan bentrok/ baku hantam disebabkan pemilu. Para wanita keluar dari rumah mereka dalam keadaan berdandan (berhias) untuk nyoblos. Gambar-gambar wanita pun bermunculan karena ikut mencalonkan diri sebagai caleg. Penyamaan Al Kitab, As Sunnah, agama dengan kekufuran demi pemilu. Maslahat mana yang bisa diwujudkan oleh Pemilu?!
Wajib bagi para ulama yang berpendapat demikian untuk meralat pendapat mereka. Insya Allah, kami akan mengirimkan surat kepada para ulama tersebut. Seandainya mereka tidak mau meralat, maka kami pun menjadikan Allah sebagai saksi bahwa kami berlepas diri dari fatwa mereka karena pendapat mereka ini telah menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah baik mereka ridho ataukah marah. Jika mereka marah, kehormatan dan darah telah kami relakan demi Islam. Kami pun tidak mempedulikan hal itu, wal hamdu lillah.
[Maktabah Asy Syaikh Muqbil, Al Ish-darul Awwal, 405-Hurmatul Intikhobat]
Pembahasan ini masih berlanjut pada serial ketiga yang nanti akan kami utarakan mengenai fatwa ulama yang membolehkan memberikan suara dalam Pemilu walau sistemm demokrasi yang digunakan. Namun mereka memberikan fatwa demikian karena melihat maslahat dan memberikan beberapa syarat.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
Wassalam,
Khawatir pada Popularitas (Ketenaran)
Inilah di antara tanda ikhlas. Akan tetapi, kebanyakan orang malah ingin kondang dan tenar. Keinginan ini sering kita temukan pada para artis. Namun orang yang tahu agama pun punya keinginan yang sama. Ketenaran juga selalu dicari-cari oleh seluruh manusia termasuk orang kafir. Akhirnya, berbagai hal yang begitu aneh dilakuin karena ingin tenar dan tersohor. Berbagai rekor MURI pun ingin diraih dan dipecahkan karena satu tujuan yaitu tenar.
Sungguh hal ini sangat berbeda dengan kelakukan ulama salaf yang selalu menyembunyikan diri mereka dan menasehatkan agar kita pun tidak usah mencari ketenaran.
Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Wahai hamba Allah, sembunyikanlah selalu kedudukan muliamu. Jagalah selalu lisanmu. Minta ampunlah terhadap dosa-dosamu, juga dosa yang diperbuat kaum mukminin dan mukminat sebagaimana yang diperintahkan padamu.”
Abu Ayub As Sikhtiyani mengatakan, “Seorang hamba sama sekali tidaklah jujur jika keinginannya hanya ingin mencari ketenaran.”[1]
Ibnul Mubarok mengatakan bahwa Sufyan Ats Tsauri pernah menulis surat padanya, “Hati-hatilah dengan ketenaran.”[2]
Daud Ath Tho’i mengatakan, “Menjauhlah engkau dari manusia sebagaimana engkau menjauh dari singa.”[3] Maksudnya, tidak perlu kita mencari-cari ketenaran ketika beramal sholih.
Imam Ahmad mengatakan, “Beruntung sekali orang yang Allah buat ia tidak tenar.” Beliau juga pernah mengatakan, “Aku lebih senang jika aku berada pada tempat yang tidak ada siapa-siapa.”[4]
Dzun Nuun mengatakan, “Tidaklah Allah memberikan keikhlasan pada seorang hamba kecuali ia akan suka berada di jubb (penjara di bawah tanah) sehingga tidak dikenal siapa-siapa.”[5]
Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Rahimahullahu ‘abdan akhmala dzikrohu (Moga-moga Allah merahmati seorang hamba yang tidak ingin dirinya dikenal/tenar)”[6]
Basyr bin Al Harits Al Hafiy mengatakan, “Aku tidak mengetahui ada seseorang yang ingin tenar kecuali berangsur-angsur agamanya pun akan hilang. Silakan jika ketenaran yang dicari. Orang yang ingin mencari ketenaran sungguh ia kurang bertakwa pada Allah.” Suatu saat juga Basyr mengatakan, “Orang yang tidak mendapatkan kelezatan di akhirat adalah orang yang ingin tenar.”[7]
Ibrohim bin Ad-ham mengatakan, “Tidaklah bertakwa pada Allah orang yang ingin kebaikannya disebut-sebut orang.”[8]
Cobalah lihat bagaimana ulama salaf dahulu tidak ingin dirinya tenar. Al Hasan Al Bashri pernah menceritakan mengenai Ibnul Mubarok. Suatu saat Ibnul Mubarok pernah datang ke tempat sumber air di mana orang-orang banyak yang menggunakannya untuk minum. Tatkala itu orang-orang pun tidak ada yang mengenal siapa Ibnul Mubarok. Orang-orang pun akhirnya saling berdesakan dengan beliau dan saling mendorong untuk mendapatkan air tersebut. Tatkala selesai dari mendapatkan minuman, Ibnul Mubarok pun mengatakan pada Al Hasan Al Bashri, “Kehidupan memang seperti ini. Inilah yang terjadi jika kita tidak terkenal dan tidak dihormati.” Lihatlah Ibnul Mubarok lebih senang kondisinya tidak tenar dan tidak menganggapnya masalah.[9]
Ketiga: Merasa diri penuh kekurangan dalam beramal
Inilah juga di antara tanda ikhlas yaitu merasa diri serba kekurangan ketika menunaikan kewajiban-kewajiban. Para ulama salaf terdahulu begitu semangat untuk menyempurnakan amalan mereka, kemudian mereka berharap-harap agar amalan tersebut diterima oleh Allah dan khawatir jika tertolak. Merekalah yang disebutkan dalam firman Allah,
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ
“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut.” (QS. Al Mu’minun: 60)
‘Aisyah mengatakan,
يَا رَسُولَ اللَّهِ (وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ) أَهُوَ الرَّجُلُ الَّذِى يَزْنِى وَيَسْرِقُ وَيَشْرَبُ الْخَمْرَ قَالَ « لاَ يَا بِنْتَ أَبِى بَكْرٍ – أَوْ يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ – وَلَكِنَّهُ الرَّجُلُ يَصُومُ وَيَتَصَدَّقُ وَيُصَلِّى وَهُوَ يَخَافُ أَنْ لاَ يُتَقَبَّلَ مِنْهُ ».
“Wahai Rasulullah! Apakah yang dimaksudkan dalam ayat “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut”, adalah orang yang berzina, mencuri dan meminum khomr?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjawab, “Wahai putri Ash Shidiq (maksudnya Abu Bakr Ash Shidiq, pen)! Yang dimaksud dalam ayat tersebut bukanlah seperti itu. Bahkan yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah orang yang yang berpuasa, yang bersedekah dan yang shalat, namun ia khawatir amalannya tidak diterima.”[10]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Diterimanya suatu amalan berkaitan dengan melakukan sesuatu sesuai dengan yang diperintahkan. Setiap orang yang bertakwa pada Allah ketika ia beramal, maka ia akan melakukan sebagaimana yang diperintahkan. Akan tetapi ia tidak bisa memastikan sendiri bahwa amalan yang ia lakukan diterima di sisi Allah karena ia tidak bisa memastikan bahwa amalan yang ia lakukan sudah sempurna.”[11] Itulah yang membuat para salaf begitu khawatir dengan tidak diterimanya amalan mereka karena mereka sendiri tidak bisa memastikan sempurnanya amalan mereka.
Itulah mereka –para salaf- yang merasa diri mereka serba kekurangan dalam amalannya. Lihatlah perkataan-perkataan para salaf berikut ini.
Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Jika ada yang mengetahui orang yang tidak ikhlas (orang yang riya’), maka lihatlah pada diriku.”[12]
Daud Ath Tho-i mengatakan, “Jika manusia mengetahui sebagian kejelekanku, tentu lisan manusia tidak akan pernah lagi menyebutkan kebaikanku.”[13]
Ibnul Mubarok mengatakan,
أَحَبُّ الصَّالِحِيْنَ وَلَسْتُ مِنْهُمْ وَأَبْغَضُ الطَّالِحِيْنَ وَأَنَا شَرٌّ مِنْهُمْ
“Aku menyukai orang-orang sholih. Akan tetapi, aku bukan termasuk mereka. Aku membenci orang-orang tholih (yang suka maksiat, pen). Sedangkan aku sebenarnya lebih jelek dari mereka.”[14]
Al Hasan Al Bashri sering mencela dirinya sendiri sambil mengatakan, “Diri ini sering mengucapkan perkataan orang-orang sholih, orang yang taat dan ahli ibadah. Namun diri ini sering melakukan kefasikan dan perbuatan riya’. Ini sungguh bukan perbuatan orang-orang yang ikhlas.”[15]
Itulah contoh para salaf yang senantiasa mencela diri mereka dan merasa diri mereka memiliki kekurangan dalam beramal.
Selanjutnya kita akan masuk pada pembahasan “salah paham dengan amalan yang ikhlas.”
Semoga Allah senantiasa memudahkan kita menjadi orang-orang yang selalu berusaha untuk ikhlas dalam setiap amalan.
wassalam,