Oleh Noni Yanti
Panasnya terik mentari membakar bumi mulai meredup pelan-pelan, dingin menusuk kepori-pori ditambah hujan yang terus-menerus mengguyur Kota Banda Aceh sehingga membuat orang malas keluar rumah. Berbeda dengan gadis imut dan periang kelahiran kota Banda Aceh, dia tetap berjuang menggapai impiannya walau lelah kuliah sambil kerja. Wajahnya tak pernah terlihat murung, seolah tak pernah ada kesulitan. Pasti sudah menjadi kodrat manusia akan rasa bosan, namun dia tak pernah menampakkannya demi meringankan beban orang tua yang membiayai kuliahnya.
Desi panggilannya, berbadan lumayan sehat kulit sawo matang anak kelima dari tujuh bersaudara, dia kuliah S1 di salah satu perguruan tinggi di Aceh, jurusannya Komunikasi Penyiaran Islam. Sementara kakak dan abang-abangnya sudah sukses, kini tinggal dia dan adiknya yang sedang study. Gadis ini sangat memperhatikan penampilannya dari mulai jilbab sampai sepatu tak jarang dia tampak lebih indah dibanding sisi kehidupannya yang sesungguhnya.
Desi adalah gadis yang berasal dari keluarga yang sederhana, walaupun demikian dia tak pernah menampakkan kekurangan dan kesedihannya, berbagai rintangan ia jalani, bekerja sambil kuliah. Tekadnya membantu orang tua sangat kuat. “Nak fokuslah kuliahmu,tidak usah bekerja mamak sama bapak masih mampu menyekolahkan kalian,” begitulah ibunya sering melarang. Dia bekerja di salah satu supermarket yang ada di Kota Banda Aceh dan memilih sift malam sehingga tidak mengganggu kuliah, lagi pula tempatnya bekerja tidak jauh dari tempat ia tinggal.
Kadang ia jalan kaki menelusuri jalan setapak melewati jalan kecil sebagai jalan pintas menuju tempat kerja, mengurangi rasa lelah ia sering nongkrong di kios dekat rumahnya untuk sekedar menghilangkan rasa capek. Dia harus propesional menjadi seorang pegawai, harus mengikuti prosedur kampus yaitu dengan segudang tugas, tak jarang dia meminta izin kepada orang tuanya untuk menginap di tempat kawannya jika tugas sudah menumpuk. Begitu Juga pagi itu dia meminta izin untuk manginap dirumah sang kawan dengan rasa takut dia mengatakan kepada ibunya, sang ibu memahami kondisi anaknya. Dengan senyum menghiasi balikan badannya dia melaju menuju ke Darussalam dengan mionya yang unik, yang menghabiskan waktu 30 menit perjalanan antara Batoh dengan Kota Pelajar (Darussalam), begitu kata Presiden Soekarno dulu Darusalam menuju cita-cita maka dinamakan Darusalam sebagai kota pelajar.
Sepanjang jalan dia termenung, berfikir dibalik banyaknya tugas kuliah dengan pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Tapi ia tetap optimis dan semangat dalam membagi waktu, tidak pernah mengeluh walaupun kadang begitu bingung. Begitulah dia tetap berpikir tentang tugasnya, harus diselesaikan dalam satu malam tiga tiga tugas sekaligus. “Ya Allah bagaimana ini apa bisa saya mengerjakan ke tiga- tiganya dalam satu malam, tolong ya Allah beri ketabahan untuk mampu menyelesaikan tugas ini “, begitu jeritnya dalam hati .
Dengan wajah yang lesuh, capek namun gadis manis itu tetap semangat dalam mengendrai sepeda motornya, dalam benaknya selalu terbayang akan tugasnya yang belum kelar, sebab itulah gadis kelahiran 9 Februari 1991 ini minta izin pada orang tua untuk bermalam di tempat kawan akrabnya di Darussalam. Sementara di rumahnya rame keponakannya yang masih kecil yang selalu menggangunya belajar, terlebih laptop pun tiada, rentalpun jauh dari rumah. Alasan itulah dia lebih memilih nginap dikostsan kawannya.
Memang dari dulu gadis manis ini ingin mandiri hidup di kost, tapi orang tuanya selalu tidak mengizinkan. “Apa boleh buat dia bersyukur juga tinggal bersama keluarga ketimbang kawan- kawannya yang rata- rata berasal dari luar kota Banda Aceh, sampai ada yang bertahun- tahun mereka tidak jumpa dengan orang tua mereka. Beda dengan gadis ini yang selalu ada orang tua dalam memberi semangat hidupnya.
Begitulah perjuangan Desi, tidak pernah merasa bosan atas apa yang dia miliki, hari semakin sore langitpun mendung tiba-tiba hujan turun sederas- derasnya. Desi langsung berhenti menepi kederetan toko di Prada, baju yang setengah basah membuat sekujur tubuhnya menggigil. Angin yang sepoi-sepoi menambah gigilnya sekujur tubuh gadis itu. Guyuran hujan orang-orang di jalan semua menepi untuk mengghindar dari kebasahan, jalanpun sepi. Hanya orang- orang bermobil yang mondar mandir. Kira- kira lima menit ia berdiam hujanpun berhenti, tanpa pikir panjang gadis itu segera menghidupkan kereta kesayangannya itu menuju Darusalam yang tidak jauh lagi dari Prada.
Perjalanan yang penuh rasa dingin, semangat Desi menyelesaikan tugas tambah menjadi-jadi. Nasip malang menimpa gadis itu, karena panik dan takut ban keretanya terpeleset dan terjatuh. Meski tidak begitu parah ia tetap tersenyum kemudian langsung menyelusuri lorong jalan menuju kos rekan akrabnya. Baju yang basah kuyup ini mulai terasa perih, tanpa keluar sepatah katapun ia langsung masuk, terheran sang kawan melihat tingkah gadis Batoh itu. Melihat kondisi Desi, sang kawanpun memberikan handuk dan beberapa potong baju, “mandi dulu sana nanti kamu kedinginan” ujar kawanya .
Keadaan mulai membaik sang kawanpun memberanikan diri untuk bertanya kejadian sebenarnya setelah melihat Desi lembam dan luka-luka di bagian kaki kirinya. “Aku kecelakaan tadi karna hujan aku agak sedikit ngebut dan pas di belokan jalan menuju kost ternyata jalannya licin, lalu aku terpeleset jatuh”, ungkap Desi. “Makanya tidak usah buru-buru untung aja kamu ngak kenapa-kenapa coba kalau kamu kenapa-kenapa kan bahaya,” nasehat kawannya.
“Aku pusing tugas belum selesi besok jam pertama masuk dan di kumpul,” curhat Desi.
“Tenang aja, aku bantu kamu kok.” hibur temanya.
Itulah hidup disetiap ada masalah pasti akan ada jalan keluarnya, yang penting jalani dengan ikhlas, baik dalam beramal maupun dalam melakukan sesuatu, seperti masalah yang dihadapi Desi, Allah tidak akan memberi masalah diluar jangkauan dan kesanggupan. Hanya kita saja yang kadang-kadang mengeluh dengan suatu masalah. Karena itulah upaya dalam menjaga suatu keikhlasan itu lebih sulit dari pada meniatkannya sebelum melakukkan suatu amalan.
Begitu juga Desi jika mengalami kesulitan selalu keluar dari bibir tipisnya itu dengan lafal la haula wala quwwata illa billah”. Bahwa daya dan upaya segalanya, tergantung dari kekuatan dan kehendak-Nya. Insyaallah dengan kita serahkan pada yang kuasa pasti beban kita akan terasa meringankan. Dibalik senyumnya yang banyak masalah bisa terselesikan dengan bantuan kawan-kawannya. Desi memang beruntung memiliki sahabat yang faham akan dirinya.
Azan magrib berkumandang dengan gerimis yang masih turun, mereka bergegas mengambil air wudhu. Usai shalat tak lupa dia membaca Al-qur’an untuk menenangkan jiwanya setelah itu Desi menuju rental komputer untuk mengetik tugas ditemani sahabatnya. Huruf demi huruf tertulis, tak terasa jam sudah meunjukan angka sebelas. Seperti tradisi di bumi Serambi Mekah, seorang perempuan tidak baik berada di luar rumah karna akan menimbulkan fitnah. Namun sepertinya Desi tak pernah menghiraukan perkataan orang, yang dia tau hanya apa yang dia lakukan.
Malam telah larut, mereka beristirahat menikmati malam yang dingin dan sunyi. Doa-pun tak lupa ungkapkan untuk keselamatnnya serta kesuksesan ujian finalnya besok. Azan subuh terdengar, dia raih hpnya yang di meja samping tempat tidur tenyata azan itu bukan dari masjid melainkan dari suara alaramnya.
Bergegas bangun “Alhamdulillah” hamdalah terucap dari bibirnya lalu bergegas wudhu dan shalat. Membaca Alqur’an dan membalik-balik buku, sesekali diraihnya pinsil di meja dan mecoretnya pada bagian bagian tertentu. Keasyikannya membolak balikan buku dan memasukannya pada tas samping warna coklat yang kusam. “Tas ini sudah menemaniku dalam suka dan duka sejak SMA dulu, aku tak tega meninggalkannya dirumah, lagian tas ini adalah hasil jerih payahku dari SMA, sekolah sambil bekerja,” bisik Desi.
Desi berbeda dengan yang lain sering dia mengungkapkan kata kata bahwa dia tak seberuntung anak-anak lain yang terlahir dari keluarga kaya, juga tak seberuntung anak-anak lain yang mereka terlahir dari keluarga sederhana seperti dia namun mereka memiliki kecerdasan di atas rata-rata sehingga banyak mendapat besiswa, namun Desi lahir dari keluarga sederhana juga tak memiliki kecerdasan di atas rata-rata sehingga tidak pernah mendapat beasiswa, kecuali beasiswa yang dari jalur untuk mahasiswa kurang mampu.
Dalam menghadapi masalah Desi adalah sosok paling dewasa di antara kawan-kawan di kampus, dia sangat santai dan tak kalang kabut menghadapi masalah. Kawan-kawannya juga tak segan sering meminta pendapat pada Desi, dan biasanya Desi akan berkata dengan santainya “udahlah hidup itu g’ indah tanpa ada masalah, jadi jalani aja pasti masalah itu akan segera berlalu.”
Mentari sudah mulai mengintip saat Desi keluar dari kos, sambil memanaskan kereta mio warna biru dongker kesayangannya dia kembali membuka bukunya, usai memanaskan bukunya dia bergegas ke kedai terdekat untuk membeli sekerat roti pengganjal perut pagi ini. Tepat jam tujuh tiga puluh bergegas menuju kampus, pagi ini cuaca terang embun pagipun masih terasa melebur dengan sinar mentari yang mulai menghangat.
Tak berapa lama dosen yang ditunggupun tampak sudah stanby di koridor kampus, lalu Desi dan kawanya bergegas ke ruang, diruang sudah banyak yang datang bangku-bangku pun sudah terisi terutama pada bagian paling belakang sampai ketengah, ya memang sudah tradisi anak-anak mahasiswa jika waktunya final mereka tak pernah mengambil bangku paling depan. Desi sering tak habis pikir mengapa mereka seperti itu, akhirnya Desi mengambil pada bangku yang masih kosong, yaitu bangku paling depan sebelah kiri. Beberapa menit kemudia dosen datang dan ujianpun segera dimulai, sebelum mulai mengerjakan ujan Desi tak pernah lupa dengan kebiasaannya untuk bedoa sebelum melakukan segala sesuatu.
Jam sudah berlalu 120 menit, dengan tawa dan canda dia beserta teman-temannyapun bergegas pulang. Tepat didepan koridor kampus ia terkejut melihat seorang anak kecil berusia 12 tahun. Anak itu berkata “Kak kenapa aku tidak seberuntung kakak, punya kedua orang tua dan bisa sekolah tinggi-tinggi, aku ingin seperti kakak tapi aku tidak mampu”. “Kenapa?” sapa ku. “Orang tua ku telah meninggal waktu tsunami 2004 silam, namun aku semangat hidup karna masih punya seorang ayah yang selalu menemaniku kemana ku pergi”, begitu ujar anak itu. “Ya sabar masih bruntung adek punya ayah dari pada tidak sama sekali seperti saudara-saudara kita diluar sana,” ujar Desi yang sok dewasa.
Desi sadar teryata hidupnya sangat beruntung dengan apa yang dia punya sekarang, terimakasih ya Allah dengan penuh syukur dia tersenyum. Langsung dia lanjutkan perjalanannya menuju rumahnya Sepanjang jalan kembali dia nikmati seluruh pemandangan yang memang mampu membuatnya lebih bahagia.
*Noni Yanti, Lahir 15 Juli 1990 putri Rosmiati dan Usman Musa, Mahasiswa Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry Jurusan KPI (Komunikasi Penyiaran Islam)