Catatan : Kha A Zaghlul*
BULAN depan, persisnya pada 17 Februari 2013 Kota Takengon telah berusia 436 tahun dan di tahun 2013 ini diperingati untuk ke-3 kalinya sejak tahun 2011 silam.
Penetapan hari jadi ini dituangkan dalam Qanun Kabupaten Aceh Tengah Nomor 10 Tahun 2010 dengan pertimbangan sebagai disebutkan dalam qanun yang ditandatangani pada 26 Nopember 2010 oleh Bupati Aceh Tengah, Ir. H. Nasaruddin, MM tersebut diantaranya dalam rangka mengenang amal bakti dan penghargaan kepada para pejuang serta ungkapan rasa syukur masyarakat Kabupaten Aceh Tengah.
Pertimbangan lainnya, penetapan ini merupakan tonggak sejarah yang harus diperingati setiap tahun sebagai bagian dari jati diri dan eksistensi masyarakat Kabupaten Aceh Tengah disamping berperan sebagai faktor integrasi masyarakat juga dapat memotivasi peningkatan pembangunan daerah.
Kota Takengon yang secara geografis berbatas langsung dengan Danau Lut Tawar ini ditetapkan lahir pada tanggal 17 Februari 1577 Masehi.
Semula, para pihak yang terlibat langsung merumuskan kapan Hari Jadi Kota Takengon mengusulkan 17 Februari 1902 dengan sejumlah alasan dan pertimbangan.
Namun mendapat penentangan keras dari berbagai pihak. Sejumlah elemen sipil dan individu di Takengon dan perantauan sempat melayangkan keberatan-keberatan atas gagasan tanggal, bulan dan tahun tersebut sebagai hari jadi Kota Takengon.
Seperti dirilis media online The Globe Journal yang ditulis Win Aman, Kamis 4 Nopember 2010, salah seorang tokoh pemuda Aceh Tengah, Ikhwanussufa menyatakan perlu kajian mendalam oleh para pakar sejarah agar tidak terjadi polemik dikemudian hari.
Selanjutnya salah seorang penyair dan sejarawan Gayo, Salman Yoga, saat itu menyatakan penetapan hari lahir Takengon yang diusulkan Pemkab Aceh Tengah terlalu muda, padahal ada fakta sejarah lain yang lebih tua masih bisa ditelusuri yang dijadikan sebagai dasar penetapan hari jadi kota Takengen.
Menurut Salman, catatan Marcopolo tentang Gayo yang ditulis pada tahun 1200-an. Bisa juga mengacu kepada sejarah naiknya Merah Johan sebagai Sultan Aceh pertama ditahun 1232.
“Saya merasa aneh jika hari jadi Takengon jauh lebih muda dari Banda Aceh yang sudah berumur 800 tahun,” ujar Salman saat itu.
Pernyataan keberatan juga disampaikan oleh penulis biografi Aman Dimot, Prof M Dien Madjid. “Ada tiga aspek yang menjadi dasar penetapan hari jadi kota Takengen,” kata Dosen Universitas Islam Nasional (UIN) Jakarta ini. Pertama, aspek Legenda, kedua aspek Kekerasan (perang) dan ketiga aspek Administrasi Pemerintahan.
Aspek Legenda, dicontohkan kisah kerajaan Linge, Gajah Putih, lahirnya kampung Bale Hakim dan lain-lain. Sementara aspek sejarah kekerasan atau perang bisa diambil sejarah perang yang paling heroik dengan kemenangan pihak kita. “Jangan sampai terjebak yang kita peringati adalah hari kemenangan kolonial sebagai hari jadi kota Takengen,” kata M Dien.
Selanjutnya aspek ketiga, adalah aspek administrasi pemerintahan. Dan untuk aspek ini, dikatakan M. Dien, tidak terlalu sulit menelusurinya. Dari ketiga aspek ini diambil yang terkuat. Jika ternyata sulit menentukan bulan dan tanggal, maka mengacu kepada konsensus nasional yang menetapkan tanggal 31 Desember.
Terkait mekanisme penetapannya, menurut M. Dien, harus didahului dengan penelitian ilmiah dan diseminarkan. Ada pemakalah dan ada floor, baru kemudian diusulkan menjadi Qanun kepada lembaga legislative dan dalam hal ini pihak yang berkompeten adalah Dinas Sosial, bukan dinas-dinas yang lain.
“Hari jadi adalah milik rakyat, jadi harus melibatkan unsur atau elemen sipil sebanyak-banyaknya,” tukas M. Dien saat itu. Dia mengaku khawatir, Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah terjebak mewariskan sejarah yang salah kepada generasi selanjutnya.
Selain penetapan waktu yang menjadi pro-kotra lainnya saat itu adalah terkait penamaan Kota Takengon atau Kute Takengen dengan sejumlah latar belakang sejarah dan pertimbangan logika lain. Namun nyatanya hingga saat ini belum terjadi perubahan nama. masih Takengon.
Elemen sipil juga turut nyatakan sikap resmi, seperti dirilis sejumlah media saat itu. Menolak Takengon itu lahir pada 17 Februari 1902.
Mendapat sedemikian banyak penentangan, Panitia khusus (Pansus) Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) akhirnya mencari solusi terbaik dan tanpa banyak diketahui apa dasarnya akhirnya menetapkan lahirnya Kota Takengon pada 17 Februari 1577 Masehi.
Hingga menjelang 3 tahun setelah ditetapkan, belum ada ulasan konkrit terkait penetapan ini walau setelah itu muncul fakta terbaru dari hasil penelitian arkeolog dari Balai Arkeologi Medan yang hasilnya dituangkan dalam buku “Gayo Merangkai Identitas”, sudah ada kehidupan di tepi danau Lut Tawar lebih dari 7000 tahun silam.
Terlepas dari tepat atau tidaknya penetapan Qanun tersebut, Kota Takengon sudah punya tanggal lahir dan di tahun 2013 ini sudah berusia 436 tahun. Patut di apresiasi para pihak yang telah berupaya dan memberi perhatian atas penetapan ini.
Dan sederhananya yang muncul selanjutnya adalah bertambah lagi satu momen kenduri rakyat Aceh Tengah selain kenduri nasional Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia, 17 Agustus.
Sementara ini, masyarakat awam hanya tau pegelaran Pacuan Kuda Gayo yang bertambah menjadi 2 kali dalam setahunnya. Memeriahkan HUT RI dan saat peringatan HUT Kota Takengon.
Jika even ini saja yang muncul kepermukaan yang diketahui khalayak, tentunya bisa disimpulkan tujuan penetapan hari jadi yang sudah masuk di Lembaran Daerah Kabupaten Aceh Tengah Tahun 2010 Nomor 46 ini belum tercapai dengan maksimal.
Jika berlama-lama dengan kondisi ini, tentu sangat mungkin opini publik akan terpatri “ada pacuan kuda di Takengon setiap bulan Februari”. Itu saja.
Tidak muncul keinginan masyarakat sesuai dengan yang diharapkan mendorong persatuan dan kesatuan masyarakat, tidak menjadi motivator untuk membangun bagi kesejahteraan rakyat. Juga tidak menjadi momentum penguatan jadidiri daerah dan masyarakat.
Sebulan kedepan Takengon akan berulang tahun, kita tunggu saja apa yang akan dilakukan oleh penentu kebijakan yang individu-individunya juga sebagai bagian dari sekitar 200 ribu jumlah penduduk Aceh Tengah.
Sangat luar biasa, dan sekali lagi layak diapresiasi, menentukan hari jadi itu berat namun nyatanya bisa, bagaimana mungkin menjadikannya sebagai momentum perubahan wajah Aceh Tengah dari banyak sisi tidak bisa !, HUT Takengon bukan milik pemilik kuda dan pehobi nonton pacuannya saja.
*Warga Kota Takengon