Oleh : Vera Hastuti
SENJA kian berwarna keemasan. Langit di sudut pegunungan Birah Panyang menampakkan warna jingga yang berbatasan tepat dengan Danau Laut Tawar. Malam akan menjemput senja sesaat lagi. Perlahan tapi pasti, alam akan berotasi. Malam akan menebarkan pesonanya lewat remang di dalam kesunyian malam. Malam kian larut, di salah satu sudut desa Toweren, di sebuah rumah kecil setengah permanen. Diterangi lampu dengan daya rendah, seorang perempuan muda duduk berselonjor di atas ranjang tua, sembari dengan sabar menanti anaknya pulang mengaji dari mesjid di seberang jalan.
Rubayah namanya, ibu muda yang mempunyai seorang putra. Walau keseharian pekerjaannya hanya bersawah, tapi aura kecantikan Rubayah tidak pudar meskipun sinar matahari menyengat seluruh pori-pori kulitnya. Hidungnya mancung, khas keturunan Padang. Semakin menambah lekat mata jika memandangnya, ditambah dengan bulat matanya yang bundar semakin menjadi pelengkap kecantikannya. Rubayah adalah gadis tercantik yang ada di desa itu, ayahnya putra asli kelahiran Toweren tempat tinggalnya saat ini dan ibunya seorang perempuan keturunan Minang.
Takdir menghantarnya menjadi seorang perempuan yang statusnya dipermainkan nasib. Jika tetangga dan kerabat dekatnya berpendapat, statusnya sudahlah pasti janda ditinggal mati suami karena korban konflik. Namun secara naluri, Rubaya masih selalu meyakini bahwa suatu saat nanti suaminya pasti akan kembali.
Sepuluh Tahun sudah berlalu. Kasim, suaminya. Tak pulang semenjak penyisiran dilakukan di kampungnya oleh orang tak dikenal. Bahkan satu kabarpun tak ada yang berani menberitahukan dengan pasti di mana Kasim berada. Dikatakan telah meninggal, tak ada satu orang pun yang bisa menunjukkan di mana kubur atau jenazahnya. Di katakan masih hidup tapi entah dimana keberadaanya.
Kasim menikahi Rubayah, saat umurnya belum lagi genap sembilan belas tahun. Kasim telah lama menaruh hati pada perempuan itu. Sebagai seorang gadis miskin yang tak lagi berayah dan beribu, dengan hati yang bahagia dan tak bisa terlukisakan dengan kata Rubayah menerima lamaran Kasim, yang ternyata dalam diam juga dicintainya. Usia Kasim lima tahun lebih tua, dibandingkan Rubayah kala itu.
Masih terngiang di ingatan Rubayah. Selepas shalat magrib berjamaah, dengan paksa Kasim dibawa oleh sekelompak orang bertopeng yang tak dia kenali. Orang-orang itu seolah tuli sehingga tak mendengar tangisan Rubayah memohon, meminta, dan merintih agar jangan membawa pergi suaminya. Mereka seakan tak mau tahu bahwa selain Kasim tak ada lagi yang perempuan itu punya di dunia ini.
Rubayah tak akan bisa memahami, apa penyebab sehingga suaminya menjadi salah satu orang yang termasuk dalam daftar pencarian. Rubayah hanya memahami, suaminya hanyalah seorang petani yang kesehariannya mengerjakan sawah peninggalan orang tuanya dan saat sore mencari ikan di Danau Laut Tawar sebagai tambahan agar asap di dapurnya tetap mengepul. Namun, dari segelintir orang-orang dia mendengar bahwa Kasim adalah salah satu korban fitnah yang disampaikan cuak kepada orang-orang bertopeng yang membawa pergi Kasim lepas magrib kala itu.
***
Tuhan…
Walau dalam pelukan mimpi
Aku masih berharap
Bisa bertemu dengan kepingan hatiku
Tuhan…
Harap ku masih besar
Anakku bisa merasakan
Kasih sayang seorang ayah
Yang akan menggandeng
Dengan lembut tangan kecilnya
Menuju rumah-Mu
Menghadap-Mu
Dan senatiasa mecari Ridha-Mu
Di dalam mahligai keluarga
Yang sakinah, mawaddah, warahmah.
Sebulan setelah Kasim menghilang, Rubayah merasa hidupnya pun ikut menghilang bersama orang-orang bertopeng yang membawa Kasim pergi malam itu. Tak nampak binar gairah kehidupan di mata cekungnya. Sepanjang waktu, Perempuan itu hanya bisa menangis dan meratapi nasib suaminya. Orang bertopeng itu telah merenggut setengah dari kehidupannya. Sehingga akhirnya, binar gairah itu kembali sedikit bersinar saat Rubayah mengetahui bahwa dirinya tengah berbadan dua. Buah cintanya dan Kasim yang telah lama mereka nantikan. Ingin rasanya saat itu dia memeluk Kasim dan mengabarkan berita gembira ini, tapi sayang sungguh takdir tak sedikitpun memperbolehkan Kasim tahu bahwa tak lama lagi dia akan menjadi seorang ayah, pun dalam bisikan angin.
Senjalah menjadi saksi, di saat langit tampak berwarna kemerahan di ujung Danau Laut Tawar. Rubayah tengah bertarung dengan nyawa melahirkan anaknya. Sembari menahan sakit, Rubayah hanya bisa menghadirkan bayang Kasim di sisinya. Lewat khayalannya, Rubayah dapat merasakan bagaimana kebahagiaan Kasim tak terperi saat mengetahui dia telah memiliki seorang putra. Impian yang telah lama dilantunkannya dalam bait alunan doa di setiap shalatnya selepas senja, agar Tuhan memberikannya amanah dan kesempatan untuk dapat menjadi seorang ayah.
Kini, Sepuluh tahun telah berlalu, Kasim pergi. Dengan suka cita Rubayah membesarkan putranya sendiri. Banyak sudah lelaki yang meminangnya, tapi dengan lembut dia menolaknya. Keyakinannya begitu kuat Kasim akan kembali. Tak pernah bosan dan lupa Rubayah selalu berdoa dan memohon kepada sang Khalik, bersama putra kecilnya selepas shalat sesudah senja semoga suatu saat orang-orang bertopeng itu mengembalikan Kasim dengan lembut kepadanya dan juga putra kecilnya.
***
Vera Hastuti, M. Pd, lahir di Aceh Tengah, 9 september 1985. Bekerja sebagai guru di SMA 4 Takengon.