Oleh : Muhammad Hamka *)
Tahun ini Indonesia kembali merayakan hari jadinya yang ke-68. Di usia yang boleh dikatakan sudah sangat matang ini, Indonesia justru semakin tambun dengan pelbagai problema yang melilit tubuhnya. Ini merupakan sebuah paradoks, karena idealnya usia yang matang akan menjadikan sebuah negara semakin kuat dan produktif.
Indonesia memang kian produktif, namun bukan dalam melahirkan kebajikan, tapi dalam memproduksi kemungkaran. Sekadar contoh, kejahatan korupsi yang nyatanya kian hari kian menggila. Padahal pelbagai produk dan lembaga hukum pemberantasan korupsi sudah hadir dengan harapan bisa membasmi kejahatan korupsi, namun hingga hari ini belum memperlihatkan tajinya secara maksimal. Koruptor pun kian menggila dengan kebusukannya. Kita berharap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga yang memiliki kewenangan super body tetap tetap istiqomah dalam perang melawan korupsi.
Paling tidak ada dua kasus kejahatan korupsi luar biasa yang sangat diharapkan oleh publik penuntasanya, karena hingga saat ini belum ada ujungnya, yakni mega skandal Century dan mega proyek Hambalang. Besarnya ekspektasi publik pada dua kejahatan korupsi didepan bukan saja oleh nilai kerugian negara yang fantastis, tapi juga oleh dugaan keterlibatan orang yang berkuasa (penguasa dan partai penguasa) didalamnya.
Sesungguhnya muasal dari problema korupsi yang melilit tubuh bangsa ini disebabkan oleh daulat uang. Hari ini uang telah “memperkosa” jiwa dan raga banyak orang di negeri ini. Uang telah menjelma menjadi sirik modern. Uang tidak hanya sekadar alat tukar menukar, tapi sudah mengganti posisi kebajikan dalam hati. Sehingga jangan heran kalau banyak manusia Indonesia rela melakukan apa saja termasuk menggarong kekayaan negara demi penghambaanya kepada uang.
Uang sudah berdaulat atas diri manusia, itulah kenyataanya di negeri ini. Begitu besarnya daulat uang dalam diri manusia Indonesia, sehingga uang pengadaan Al.Quran pun dirampok. Untuk melicinkan proyek pun harus dengan uang, untuk bisa dicalonkan menjadi gubernur dan bupati/walikota dari sebuah partai harus dengan uang, agar bisa diterima menjadi pegawai negeri sipil (PNS) harus mengucurkan uang, untuk menjadi anggota legislatif harus merogoh kocek untuk membeli suara konstituen, untuk menjadi ketua partai politik (parpol) harus dengan uang, bahkan untuk menjadi ketua organisasi ditingkatan mahasiswa saja juga harus dengan uang.
Padahal Socrates, filsuf pertama yang dilahirkan negeri Athena pada beberapa abad silam pernah melontarkan refleksi yang mendalam “kebajikan tidak datang dari uang tapi kebajikanlah yang mendatangkan uang dan hal maslahat lainya, baik kepada perorangan maupun kepada organisasi (negara).” Namun hari ini kita menyaksikan bagaimana uang telah merampas posisi kebajikan dalam diri kita sebagai makhluk berakal.
Untuk itu, momentum ulang tahun RI yang ke-68 tahun ini harus di jadikan tonggak untuk kembali ke jiwa Pancasila. Menghidupkan kembali Pancasila sebagai pendulum kehidupan berbangsa dan bernegara adalah sebuah kemutlakan. Pancasila harus dijadikan sebagai teks yang hidup dalam denyut kehidupan seluruh anak bangsa.
Analis Sosial dan Politik*)