Mentari Ikhlas di Hati

Oleh : Ana Avicena

Sungguh kebahagiaan yang luar biasa,  apabila keberadaan kita begitu berarti untuk orang-orang di sekeliling kita. Namun, ada satu pertanyaan yang seringkali ku tanyakan pada diriku sendiri. Apakah sampai detik ini aku benar-benar tulus melakukan semua itu? Atau mungkin itu semua hanya selubung dari niat untuk mencapai sesuatu?

Mungkin pertanyaan ini memang tak perlu ku jawab, karena hal ini memang bukan untuk dijawab. Akan tetapi, tidak ada salahnya jika hal ini menjadi awalan dari setiap perjalanan jauh ke tempat di mana aku bisa menemukan kejujuran yang hanya aku ketahui sendiri saja. Tempat itu tak lain adalah hati nurani.!

Ikhlas, satu kata sederhana yang pastinya sudah tidak asing lagi bagi telinga. Kata yang cukup ideal untuk disandingkan dengan hal-hal yang baik dan cukup indah didengar walau hanya berupa bisikan. Namun, menurutku ia tak sesederhana itu. Kalaupun memang ia sesederhana itu, lalu apakah selama ini aku dengan mudah dan  cukup sering melakukannya? Menjadikan ia sebagai tombak dalam perjalanan hidup ku? Terkadang sulit…..,lalu mengapa hal ini bisa terjadi? Sulitkah? Padahal, bukankah tak ada yang sulit dalam hal-hal yang sederhana?

Semua pertanyaan-pertanyaan itu seringkali ku tanyakan pada diriku. Terkadang ia menjadi pengingat yang membimbingku menemukan ketulusan dalam memberi. Menjeput kelapangan saat musibah menyapa. Namun, seringkali ia membuatku begitu khawatir. Khawatir jika kelak aku tergelincir ketika niatku kian membelok dari visi yang menjadi awal destinasi. Ya, sungguh begitu sulit mencari ikhlas di liang-liang kehidupan.

Terkadang pikiranku berselancar ke arena yang aku sendiri tak tahu di mana adanya, sembari bertanya akankah dunia ini dapat seindah surga apabila seluruh manusia senantiasa melapangkan ikhlas di dalam dirinya? Rasa yang dapat menepis segala kedengkian, kekecewaan, dan perasaan lain yang seringkali menjadi penyebab setiap masalah antara sesama.

Entahlah, apakah selama ini aku telah memancangkan ikhlas di dasar hati  atau belum? Semoga hal ini dapat menjadi arus yang terus mengingatkan ketika pikir kian pongah, lagu kian angkuh, dan ego menguasai kendali atas diri. Seperti matahari yang perkasa itu yang tidak pernah menuntut seluruh semesta untuk mengganti rugi seluruh jerih payahnya menyinari dunia? Belajar seperti jantung yang tersembunyi jauh di dalam raga. Ia teramat penting, walau ia benar-benar jauh tersembunyi. Jantung yang begitu ikhlas menjalani tugasnya berdegup dan menjadi salah satu sumber kehidupanku dan akan terus begitu hingga tugasnya usai yang berarti dan aku pun akan tutup usia.

Ikhlas tak hanya sekedar kata,…! Ia hidup di dalam hati manusia, ia tak pernah pergi kemanapun. Akan tetapi, justru seringkali  tak menghiraukan keberadaannya, hingga seolah ia pergi dan sulit ku temui kembali.

Belajar melupakan ucapan terima kasih, pujian, maupun penghargaan dari sekeliling atas usaha yang ku lakukan. “ lupakan itu”. Karena sesungguhnya semua itu hanyalah semu. Apabila memang ia datang di hadapan, syukuri saja nikmat itu. Namun, sesuatu yang hakiki  masih jauh di depan sana dan kelak akan menjadi bingkisan terindah yang akan menanti di tempat itu.

 Inilah janji Sang Pencipta, usah ragu atas hal itu. Dan lagi-lagi aku ingin belajar bagaimana menemui ikhlas di dasar hati hingga ia membentuk diri layaknya gula yang membuat manis apapun yang ditaburinya, walaupun keberadaannya tak pernah disebut-sebut. Tentu tak pernah ada orang menyebutkan teh gula atau kue coklat gula, bukan….? Pasti kita lebih sering mendengar orang berkata, “Ini teh manis dan yang itu kue coklat (tanpa kata gula)”. Namun, semua orang tetap tahu bahwa gula yang telah mengubah semuanya menjadi terasa lebih manis.

Hari ini aku bertemu dengan sosok yang dalam hidupnya hanya mengharap ridhonya, sosok seorang Ibu yang dengan penuh keihklasan menghadapi segala macam takdirNYA, yang selalu siap menerima dan menghadapi Jamuan Istimewa yang bernama “UJIAN”  sampai  nanti Allah Katakan “KAU LULUS”.  ingin lebih dekat dengan Allah dan menjadi tamu yang dirindukan-Nya, yang dengan segala cara menerima semua RencanaNYA dengan senyuman keikhlasan jamuan istimewa yang bernamakan “Ujian” dari-Nya

Sosok Ibu yang sederhana namun luar biasa, karena sebenarnya ia memiliki semuanya. Kritik dan saran itulah yang selalu diharapkanya. Paling ingin ada orang yang mau ngajarin nya tentang banyak hal untuk bisa menjadi lebih baik. Paling senang berbagi dan paling benci dipuji. Seperti ungkapanya hari itu melalui Email:

 “Berbagi dengan orang yang punya pemikiran dan pandangan berbeda dengan kita itu sangat menyenangkan bagi Ibu. Walau tidak mudah bagi orang utk meyakinkan Ibu, karena Ibu itu keras kepala. Tapi kalau orang itu mampu meyakinkan Ibu dengan berbagai argumennya. Ibu sangat senaaaang sekali. Karena Ibu senang berkembang dan bisa melihat sesuatu yang baru, yang lebih baik, lebih bagus, dan yang sebelumnya tidak pernah terlintas di pikiran Ibu.”

Bersamanya saya banyak belajar, belajar bagaimana bisa tersenyum dalam suka maupun duka. Belajar bagaimana menyikapi setiap masalah dalam hidup, karena Hidup ini tidaklah mudah. Banyak hal yang terkadang sulit diterima pun sulit dipahami. Oleh karena itu, belajar adalah proses tanpa akhir. Sambil berbagi pengalaman bahwa dunia kerja itu tak selamanya indah dan tak selamnya juga susah, harus pandai bagaimana mengolah rasa yang pahit bisa menjadi manis.

Aku banyak belajar darinya, mulai dari awal aku mengenalnya, tanpa perlu proses yang lama. sangat berhati-hati dalam bertindak, semua nya penuh pikiran yang mendalam sebelum melakukanya. Jika menemukan sesuatu yang mengganjal pada seseorang tidak langsung memvonisnya, namun dibawa kediri dulu apakah kesalahan itu ada pada nya atau pada orang lain, sampai bapak (suami ibu) bisa meyakinkan kalau ibu  “tidak salah.” Karena, kepercayaan membutuhkan waktu yang panjang untuk dibangun, tapi hanya sekejap untuk lenyap

Mencoba melangkah dan mengurai kisah bersamanya, Dengan asa dan senyum yang sumringah. Belajar Menyingkirkan Kerikil kesombongan yang masih menyelinap dalam kalbu. Sebab, hal itu tak membedakan layaknya buih di lautan …

Aku seperti menemukan kembali sosok seorang Murabbi, yang sudah sejak lama  tak pernah ku ikuti lagi. Bagaimana Ibu berkata dan memberi nasehat setiap ketemu, laksana Episode cinta sang murabbi bertutur tentang taburan cinta yang memberikan sentuhan dan pengaruh mendalam terhadap orang yang mengenalnya secara langsung maupun tidak langsung. Sehingga memberikan sinar yang menyelusup menerangi kalbu dan pikiran. Dan, akhirnya membuatku termotivasi untuk bergerak dan terus bergerak.

 * Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Syiah Kuala Bada Aceh.

    Asal Takengon tinggal di Banda Aceh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.