Oleh: Safutra Rantona
Sebulan lagi tanggal 9 Juli 2014 Bangsa ini akan merayakan perhelatan demokrasi untuk memilih pemimpin baru yang akan duduk dikursi Indonesia 1 dan Indonesia 2 periode 2014-2019. Dengan pengertian Demokrasi maka masyarakat Indonesia bebas memilih presiden dan wakil presiden, asalkan pilihan sendiri. Dan juga peran media sedang ikut berkompetensi dalam menjual salah satu calon presiden untuk bisa menang di Pemilihan Presiden 2014 mendatang.
Pemilihan presiden di Indonesia sudah kebiasaan dengan adanya black campaign (Kampanye Hitam) berbagai cara yang dilakukan asalkan menjatuhkan calon presiden dan calon wakil presiden orang lain sehingga public tidak percaya lagi kepada calon tersebut. Namun masalah ini Bawaslu hingga hari ini belum memberikan komentar secara jelas dari sikap black campaign tersebut.
Eforia pilpres 2014 dirasakan juga oleh masyarakat Indonesia bagian barat khususnya Aceh. Jika dilihat dari jumlah penduduk Aceh, maka Aceh tidak memiliki barometer yang tinggi dibandingkan dengan masyarakat di pulau Jawa. Namun capres dan cawapres 2014 menganggap suara masyarakat Aceh sangat penting untuk memenuhi kouta kemenangan dari provinsi-provinsi lain.
Kemudian politik pemilihan presiden 2014 ini juga dirasakan oleh bagian pedalaman Aceh yaitu Gayo. Gayo meliputi beberapa Kabupaten antara lain : Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo lues dan Aceh Tenggara. Walaupun suku Gayo itu satu tetapi suara pilpres 2014 sudah pasti pecah.
Perpecahan tersebut dilakukan oleh elit-elit bupati dan wakil bupati dari masing-masing daerah. Pemimpin tersebut mengikuti koalisi partainya. Dari pecahnya suara pilpres maka bargaining politik di Gayo tidak memiliki nilai tawar yang tinggi. Sudah dipastikan siapa yang menang dalam pilpres 2014 maka provinsi ALA (Aceh Lauser Antara) sulit terwujud.
Dua pasang calon presiden ini baik Prabowo-Hatta maupun Jokowi-JK sama-sama mempunyai komitmen membangun Aceh khususnya Gayo dan memiliki kelebihan dan kelemahannya.
Seandainya dari masing-masing Bupati di Daerah Gayo memiliki nilai tawar maka terwujudnya provinsi ALA semakin mudah. Walaupun beberapa partai lokal di Aceh tidak setuju dengan pemekaran tersebut tetapi jika adanya bargaining Gayo dalam Pilpres 2014 maka semakin mudah terwujudnya. Ini juga ditambahkan dengan adanya perwakilan dari Gayo untuk duduk di DPR-RI dan DPR Aceh yang baru terpilih.
Oleh karena itu yang menjadi presiden siapa saja boleh namun yang penting nilai bargaining politik Gayo tetap ada dan jelas tujuannya. Sudah seharusnya Bupati dan Wakil Bupati di Gayo berkiblat kepada masyarakatnya jangan berkiblat kepada Partai. Dua pasang calon presiden tersebut dapat dilihat yang mana setuju dengan terwujudnya provinsi ALA yang mana tidak setuju. Ini saatnya kita milih dan memikirkan masa depan Gayo untuk mewujudkan Provinsi baru yaitu Provinsi ALA. Provinsi ALA untuk Gayo lebih sejahtera dan bermartabat.
*Anggota SiKAT (Solidaritas independent Kebijakan Aceh Tengah)