Oleh : Yunadi HR, S.IP*
Sejatinya, pemilukada, baik Pilkada Gubernur maupun pilkada Bupati/walikota adalah sebuah penyelenggaraan “pesta” rakyat guna suksesi kepemimpinan lima tahunan di daerah. Pesta itu akan berjalan manakala aturan-aturan yang menjadi pegangan penyelenggaraannya ditaati oleh semua fihak. Peserta,penyelenggara dan rakyat pemilih serta stakeholder lainnya memiliki kesadaran penuh, untuk menyukseskannya sesuai dengan asas-asas penyelenggaraan sebuah perhelatan pemilukada.
Riak – riak menuju kontestasi lima tahunan tersebut mulai terasa. Beberapa bakal calon, di Aceh Tengah; dengan upaya-upaya persuasif ada yang telah mulai menampakkan diri; sebut saja Alamsyah Mahmud Gayo, Zulfikar AB, Sabella, Muchsin Hasan, Khairul Asmara, M Taufik, Usman Nuzuly, Anda Suhada, juga beberapa bakal calon lainnya.
Beberapa Bakal Calon telah mengklaim diri didukung Parpol tertentu; bahkan juga ada beberapa parpol yang juga mengklaim sudah mendukung Bakal calon tertentu. Dilain sisi ada juga beberapa bakal calon yang masih malu – malu nyatakan diri maju dari jalur Independen. Penulis sebut mengklaim karena tentunya belum terdaftar resmi di KIP Aceh Tengah. Sehingga sangat dimungkinkan semua masih dapat berubah.
Sesuai dengan aturan, yang tertera dalam Pasal 201 angka (2) UU No 8 Tahun 2015; bahwa Pemilukada serentak Tahap II nasional akan dilaksanakan februari 2017;Tepatnya Tanggal 15 Februari 2017.
Di provinsi Aceh,selain Pilkada Gubernur juga akan diikuti 20 kab/kota Se-Aceh. Artinya bahwa di Aceh Juga untuk beberapa hal, Undang-Undang Nasional (UU No 8 Tahun 2015) tentang pilkada juga berlaku di Aceh, paling tidak dalam hal penentuan waktu pelaksanaan Pemilukada serentak tahap II Nasional.
Ke seksi-an Pilkada di Aceh adalah dikarenakan, Aceh Juga Memiliki UU tersendiri, yaitu UU No 11 Tahun 2006. Yang juga nantinya dalam pelaksanaan pilkada di Aceh dipastikan akan dipandu oleh Qanun Aceh Tentang Pilkada (yang saat ini menjadi Prolegda DPRA).
Saat ini para bakal calon masih menunggu – nunggu aturan yang lebih pasti. Walau sebenarnya, jadwal dan tahapan pilkada, Bulan depan sudah akan dimulai.
Regulasi baku telah menetapkan bahwa, calon peserta pemilukada akan ditetapkan sebagai calon dengan dua jalur, yaitu Jalur Partai Politik dan Jalur Independen. Baik di UU No 8 Tahun 2015 serta PKPU tentang persyaratan Calon juga dalam UU No 11 Tahun 2006, dan juga dalam Qanun 5 Tahun 2007.
Keikutsertaan bakal calon bupati Aceh Tengah dari jalur Partai manakala mampu memenuhi dukungan partai atau gabungan partai sebesar 20% dari jumlah perolehan kursi di DPRK, atau setara 6 kursi. Bila menggunakan jalur Independen maka harus memenuhi dukungan KTP sekurang-kurangnya 10% dari jumlah DPT Pilpres sebelumnya atau ± 12.700 KTP. Hal ini bila mengacu pada UU No 8 Tahun 2015.
Menjadi lebih ringan dalam hal persyaratan bila menggunakan UU No 11 Tahun 2006; Calon dari parpol atau gabungan parpol didukung oleh sekurang-kurangnya 15% dari jumlah kursi; atau setara 4,5 kursi,dibulatkan jadi 5 kursi. Jalur perseorangan sebesar 3 % KTP dari jumlah penduduk atau ± 6.600 KTP.
Mekanisme penjaringan dari parpol, para calon didaftarkan oleh parpol atau gabungan Parpol dengan ditandatangani ketua dan sekretaris parpol tingkat kabupaten; dengan melampirkan SK DPP TENTANG PERSETUJUAN Calon YANG DIUSULKAN Pengurus Parpol Tingkat Provinsi.
Sederhananya adalah, Pengurus Parpol tingkat kabupaten dalam mengusung Calon, berfungsi mendaftarkan Pasangan calon yang diusulkan Pengurus Parpol tingkat Provinsi, dan yang di tetapkan/diputuskan DPP Parpol. Hal ini sejalan dengan perintah UU No 8 Tahun 2015,pasal 42.
Sejalan dengan ketentuan diatas, dapat diartikan bahwa; manakala Pasangan Calon atas “rekomendasi” partai, maka dipastikan terjadi campur tangan yang massive dan terstruktur dari elit parpol di level provinsi dan pusat. Karena kewenangan pengusulan dan persetujuan nama-nama calon yang diusung cenderung menjadi kewenengan elit partai pada tingkat Provinsi dan DPP. Hal ini bukan tidak mungkin akan menjadikan “high cost” politik. Kemandirian tidak dapat secara penuh menjadi kewenangan pengurus parpol di level kabupaten, bahkan menurut UU tersebut terkesan, pengurus kabupaten hanya berfungsi sebagai fihak “yang mendaftarkan saja”, sementara ‘Katebelece’ nya (surat saktinya) berasal dari putusan DPP yang diusulkan Pengurus parpol tingkat provinsi.
Dibandingkan dengan jalur Independen;dalam beberapa hal, jalur parpol terasa agak berpotensi “high cost politik”. Karena tentu juga para kandidat dan parpol harus ‘menghidupkan’ mesin politik dalam proses pemenangan.
jalur perseorangan merupakan akumulasi dukungan rakyat diluar hirarkhi parpol yang sedemikian rupa. Jalur perseorangan, berpotensi lebih hemat. Akan tetapi manakala pasangan calon memilih jalur Independent, maka dibutuhkan tim dan relawan yang ekstra keras dalam bekerja mememangan paslon tersebut, dikarenakan tidak didukung oleh mesin politik,layaknya yang dimilik Parpol.
Hakikatnya, baik calon yang diusung dari jalur Parpol maupun jalur perseorangan adalah representasi dari rakyat juga. Karena Parpol juga adalah sekumpulan rakyat yang terorganisir. Hanya saja parpol memiliki hirarkhi dan jalur komando yang elitis. Dibandingkan dengan jalur independent terasa lebih “didukung” rakyat sepenuhnya, karena tidak di ikat oleh aturan dan hirarkhi yang mengikat ke provinsi dan pusat.
Saat ini, para bakal calon, beberapa sudah menetapkan hati dengan jalur TOL (parpol) yang tentu tidak gratis, karena harus menggerakkan roda dan mesin parpol, namun lebih pasti. Akan tetapi bukan juga sesuatu yang tidak kompetitive manakala para bakal calon memilih jalur Independent yang membumi, terlepas dari hirarkhi kuasa elit provisi dan pusat. Karena dalam kontestasi yang nantinya berlangsung, rakyat pemilihlah yang menjadi saksi, juga penentu arah suksesi kepemimpinan kelak di negeri ini.
Dosen UGP Takengon*