Reinkarnasi Konflik di Aceh

Oleh : Sabela Gayo*

 

Secara formal konflik bersenjata di Aceh sudah berakhir dengan ditandatanganinya Nota Kesepahaman antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada Agustus, 2005 yang lalu. Hal itu menandai babak baru proses pembangunan perdamaian di Aceh setelah lebih kurang 32 tahun terjebak dalam konflik bersenjata. Perubahan demi perubahan ke arah perbaikan kondisi pasca konflik terus berlangsung di Aceh, seiring dengan banyaknya lembaga internasional yang memberikan dukungan terhadap program-program perdamaian di Aceh. Lahirnya UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh semakin memberikan cahaya harapan akan langgengnya perdamaian di Aceh. Ditambah lagi dengan terpilihnya pasangan Gubernur/Wakil Gubernur dari calon independen dan beberapa Bupati/Walikota yang notabene merupakan representasi dari kekuatan sosial politik eks kombatan dan elemen sipil Aceh yang tergabung di dalam Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) menjadikan situasi perpolitikan Aceh berubah total setelah 30 tahun dikuasai oleh para birokrat dan politikus partai nasional.

Kehadiran Peraturan Pemerintah No. 20/2007 tentang Partai Politik Lokal dan menangnya Partai Aceh (partai para eks kombatan) pada Pemilu legislatif 2009 semakin mempertegas kehadiran para eks kombatan ke panggung perpolitikan Aceh. Dana otonomi khusus dan bagi hasil migas pun terus bergulir ke Aceh dalam 4 (empat) tahun terakhir yang sangat membantu mendongkrak pertumbuhan ekonomi masyarakat lokal melalui berbagai program fisik dan no-fisik. Walaupun dalam setiap tahun anggaran banyak dana sisa pembangunan yang kembali masuk ke ”kas Jakarta” sebagai akibat kurang mampunya pemerintah Aceh (red; Gubernur) bersama semua SKPD untuk mengeksekusi anggaran tersebut. Proses perdamaian dan pembangunan kepercayaan terus-menerus dilakukan oleh Badan Reintegrasi-Damai Aceh (BRA) terhadap semua korban konflik yang ada diseluruh wilayah Aceh. Program-program perdamaian berupa bantuan rumah konflik, bantuan ekonomi, biaya perobatan, beasiswa bagi anak yatim korban konflik, dan pelatihan-pelatihan tentang perdamaian membuat situasi Aceh dari segi stabilitas keamanan relatif kondusif. Banyaknya para eks kombatan yang beralih menjadi kontraktor proyek-proyek pemerintah semakin mewarnai perbaikan kondisi ekonomi para eks kombatan yang berimplikasi pada terbukanya peluang pekerjaan bagi para mantan anggota-anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) lainnya.

Selain beberapa kondisi positif diatas masih ada beberapa persoalan krusial dan strategis yang belum terselesaikan sampai hari ini, disamping munculnya beberapa faksi-faksi kecil di dalam tubuh Komite Peralihan Aceh (KPA) dan Partai Aceh yang antara satu dengan yang lainnya saling berseberangan. Masing-masing faksi saling berusaha memperlebar pengaruhnya di Aceh dengan harapan suatu saat diberikan kepercayaan oleh rakyat untuk memimpin Aceh. Ditambah lagi dengan persoalan-persoalan diluar tubuh KPA dan Partai Aceh seperti pemekaran provinsi ALA dan ABAS, Wali nanggroe, penerapan syariat islam dan pembagian dana otonomi khusus dan bagi hasil migas.

Komite Peralihan Aceh (KPA) dan Partai Aceh oleh sebagian faksi di dalam KPA dianggap hanya mewakili kepentingan para eks kombatan ”faksi Pidie” . hal ini semakin terlihat dengan proses pemilihan dan penetapan calon gubernur dan gubernur Aceh dari Partai Aceh yang dianggap berusaha  meloloskan kepentingan ”faksi Pidies” dengan mengajukan Dr.Zaini Abdullah yang notabene merupakan adik kandung Hasbi Abdullah (Ketua DPRA saat ini). Hubungan kekeluargaan yang sangat dengat tersebut dikhawatirkan oleh sebagian kalangan di Aceh baik di dalam tubuh KPA dan Partai Aceh sendiri maupun masyarakat luas akan memunculkan dinasti pemerintahan dan kepemimpinan yang absolut. Dan hal ini dianggap tidak sehat secara demokrasi oleh beberapa kelompok kritis di Aceh. Selain itu konflik kepentingan diantara sesama anggota KPA dalam hal pemilihan ketua KPA wilayah dan penetapan pasangan calon bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota di beberapa wilayah kabupaten di Aceh semakin memperkeruh dan memanaskan situasi perpolitikan di Aceh menjelang pemilukada (local election). Rasa suka dan tidak suka diantara sesama anggota KPA yang kepentingan politiknya tidak terakomodir oleh pimpinan pusat KPA akan semakin menambah rumit dan ruwetnya situasi perpolitikan lokal di Aceh.

Beberapa poin yang tercantum di dalam MoU Helsinki dan UU PA yang sampai hari ini belum terlaksana dengan baik dan sepenuh hati khususnya mengenai pelabuhan bebas Sabang (walaupun sudah ada PP No.83 Tahun 2010 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemerintah Kepada Dewan Kawasan Sabang), Komite Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Pengadilan HAM, Komisi Penyelesaian Klaim Bersama, dan Status Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional sebagai Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) merupakan pekerjaan rumah yang harus segera dituntaskan oleh Jakarta terhadap Aceh untuk memenuhi semua janji-janji politik yang pernah diucapkan oleh perwakilan pemerintah Indonesia Hassan Wirajuda menjelang proses penandatangan Nota Kesepahaman Perdamaian di Helsinki. Ketidakjelasan implementasi beberapa poin tersebut memunculkan ”faksi baru dan kecil” di dalam tubuh KPA yang menganggap bahwa pemerintah Indonesia ”tidak sepenuh hati” dan ”ingkar janji” terhadap isi MoU Helsinki. Faksi ini beranggapan bahwa apa yang ditandatangani oleh perwakilan GAM pada saat itu di Helsinki adalah ”illegal” dan justru semakin membuat situasi perjuangan menjadi tidak jelas dan menjadikan status dan nilai tawar politik Aceh terhadap Jakarta menurun drastis. Ditambah lagi dengan ”lemahnya” pengaruh politik dan intervensi kebijakan Mediator perdamaian sekaliber Marti Ahtisaari untuk mempengaruhi Jakarta agar segera menuntaskan semua kebijakan-kebijakan politiknya yang tertunda terhadap Aceh dalam kerangka implementasi butir-butir MoU Helsinki.

Isu pemekaran ALA dan ABAS yang dianggap oleh kalangan eks kombatan sebagai upaya pemerintah Indonesia untuk mengagalkan proses perdamaian Aceh terus bergeliat di beberapa kabupaten/kota di wilayah pedalaman Aceh seperti Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Kota Subulussalam dan Aceh Singkil. Isu pemekaran ALA dan ABAS diterjemahkan oleh kalangan eks kombatan hanyalah akal-akalan pemerintah Indonesia agar Aceh terpecah dan terbelah ke dalam 3 (tiga) Propinsi sehingga pelaksanaan MoU Helsinki akan semakin gelap dan suram. Tetapi kalangan yang mengaku pejuang ALA dan ABAS mengklaim bahwa perjuangan mereka merupakan murni keinginan rakyat setempat untuk mendirikan propinsi baru dengan beberapa alasan seperti ketimpangan pembangunan antara wilayah pesisir timur Aceh dengan kawasan Tengah-Tenggara dan kawasan pesisir barat Aceh. Jauhnya rentang kendali, ketidakadilan pembagian dana anggaran pembangunan, dominasi politik tokoh-tokoh kawasan pantai timur Aceh di panggung politik dan pemerintahan Aceh. Terlepas klaim siapa yang benar dan yang salah, yang pasti bahwa konflik dan isu identitas kewilayahan semakin mengemuka ke panggung politik Aceh. Isu identitas kesukuan dan perkauman yang selama ini dianggap ”tabu” dan ”sensitif” semakin berani diungkapkan oleh tokoh-tokoh seniman, budaya, akademisi, aktivis dan tokoh politik terutama yang berasal dari kawasan Tengah-Tenggara.

Kawasan Tengah-Tenggara yang didominasi oleh etnis Gayo yang merasa dirinya sebagai pemukim pertama (the first settler) dan secara kenyataan memang memiliki perbedaan baik dari sisi budaya, bahasa, pola prilaku, dan adat-istiadat dengan masyarakat pesisir Aceh lainnya semakin ”mempertajam” ruang konflik antara propinsi dengan masyarakat yang tinggal di kabupaten/kota di wilayah pedalaman Aceh. Ditambah lagi dengan ditemukannya situs-situs pra-sejarah di daerah Mendale Takengon yang akan semakin menambah ”kepercayaan diri” rakyat Gayo seiring dengan proses pencarian identitas diri dalam menuntut hak-haknya sebagai masyarakat asli (indigenous people) di Aceh. Perjalanan sejarah Gayo yang lebih panjang dibandingkan dengan perjalanan sejarah Aceh itu sendiri menjadikan rakyat Gayo terlegitimasi dan tergerak untuk berpartisipasi dalam menentukan masa depan Aceh. Hal ini merupakan isu yang mau tidak mau, dan suka tidak suka harus segera dicari jalan penyelesainnya agar tidak meluas menjadi konflik yang lebih besar.

Sebelum MoU Helsinki, Konflik yang selama ini bersifat vertikal nasional antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Indonesia (Jakarta) maka pasca MoU Helsinki seolah berpindah ruang dan wilayah konfliknya menjadi konflik bersifat vertikal lokal. Hal ini merupakan sinyal kepada pemerintah Aceh bahwa pemerintah Aceh harus pro terhadap kepentingan kelompok minoritas dan indigenous people di Aceh. Harus diakui bahwa, Aceh memiliki kaum yang berstatus sebagai masyarakat asli (indigenous people). Isu-isu yang terkait dengan keberadaan kelompok minoritas dan kaum masyarakat asli bukan merupakan isu baru di Aceh, hal tersebut merupakan titik kulminasi dari proses panjang dialektika antara masyarakat di kawasan pedalaman Aceh terutama etnis Gayo dengan kelompok pengambil kebijakan Aceh. ”Penolakan” masyarakat Gayo mengaku sebagai orang ”Aceh” juga terkait dengan disparitas makna antara kaum asli dan kaum pendatang.

Pengelolaaan dana otonomi khusus dan bagi hasil migas juga menimbulkan persoalan baru di Aceh khususnya bagi para bupati/walikota yang tidak berasal dari kalangan ”GAM”. Hal terkait dengan sentralistiknya pengelolaan dana otonomi khusus dan bagi hasil migas di mana kabupaten/kota hanya berfungsi sebagai pihak ”penerima” saja tanpa mampu berperan lebih aktif dalam proses tender proyek dan pengelolaan dana. Sehingga berakibat pada kurang maksimalnya pengawasan dan evaluasi dalam pengerjaan proyek-proyek pemerintah yang bersumber dari dana otonomi khusus dan bagi hasil migas. Dengan demikian, banyak proyek-proyek yang dananya bersumber dari dana otonomi khusus dan bagi hasil migas terbengkalai, dana proyek  sudah diambil 100 % tetapi proyek tidak selesai dan ditinggalkan begitu saja oleh para kontraktornya tanpa ada yang merasa bertanggung jawab untuk menjawab persoalan tersebut. Hal tersebut terjadi, tidak terlepas dari masih buruknya mekanisme tender di Aceh walaupun sudah berganti pemerintahan dari pemerintah ”Indonesia” kepada pemerintahan ”Aceh”. Proyek-proyek pemerintah Aceh yang bersumber dari dana Otsus dan bagi hasil migas sebagian besar dilaksanakan oleh para ”kontraktor-kontraktor baru” yang banyak bermunculan pasca MoU Helsinki. Sehingga para ”kontraktor-kontraktor baru” tersebut masih euforia  dengan situasi pasca perdamaian. Hal tersebut merupakan suatu yang wajar karena mungkin dulunya para ”kontraktor-kontraktor baru” tersebut merupakan pendukung Gubernur incumbent sehingga ia merasa ”berhutang budi” dan berusaha membalasnya dengan memberikan sejumlah pekerjaan berupa pengerjaan proyek-proyek pemerintah. Disatu sisi hal tersebut sangat disambut positif sebagai upaya untuk memberdayakan mereka pasca perdamaian tetapi yang namanya kualitas proyek dan tanggung jawab publik harus dikedepankan tanpa kompromi karena sumber proyek-proyek tersebut merupakan dana publik (milik semua rakyat Aceh) dan sekaligus merupakan ”uang duka” yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia kepada Aceh dalam rangka membangun daerahnya pasca konflik. Sehingga penggunaannya pun harus lebih ketat dan dipertanggung-jawabkan secara transparan kepada publik. Selanjutnya bagi ”kontraktor-kontraktor baru” yang ”nakal” harus diberikan sanksi yang tegas agar tidak main-main dalam melaksanakan pekerjaan yang bertujuan mensejahterakan publik.

Konflik-konflik baru yang muncul di Aceh akhir-akhir ini merupakan suatu hal yang wajar dalam proses transisi dan transformasi masyarakat dari situasi pasca perang pada situasi damai. Masih banyak ”pekerjaan rumah” yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah Aceh khususnya terkait dengan isu-isu lokal seperti pola hubungan propinsi dan kabutpaten/kota terkait peneglolaan dana Otsus dan bagi hasil migas, isu hak-hak kaum minoritas dan indigenous people. Tanpa penyelesaian isu-isu tersebut maka nantinya hal tersebut akan kontraproduktif dengan konsep pembangunan Aceh baru. Konsep pembangunan Aceh baru harus melibatkan peran aktif setiap elemen masyarakat, diakuinya hak-hak asasi kaum minoritas dan masyarakat asli (indigenous people) di Aceh. Setiap konflik yang terjadi harus dicarikan solusinya secara tepat dan bukan sebaliknya malah dihindari, ketika konflik semakin dihindari maka akan semakin memicu banyak bermunculannya konflik-konflik baru. Dengan berbagai kondisi sosial diatas, Adakah kemungkinan reinkarnasi konflik di Aceh?.

 

*Mahasiswa Program Ph.D.in Planning and Development of University Northern Malaysia (Universiti Utara Malaysia) dan Wali World Gayonese Association (WGA).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments