Oleh : Yunadi HR ,S.IP
“Setiap masa ada orangnya, setiap orang ada masanya”. Yang hakiki dan terus terjadi dari satu proses adalah perubahan. Dalam bahasa agama-nya hal itu dimaknai sebagai sebuah sunnatullah (suatu ketetapan Allah).
Ditengah – tengah perdebatan, revisi UU No 8 Tahun 2015; yang kemudian menghasillan 17 point perubahan dan penguatan. Juga masih tidak tuntasnya proses revisi Turunan UUPA terkait pilkada di Aceh, yaitu Qanun Aceh No.5 Tahun 2012, yang bahkan seakan -akan berhenti di tempat. Sungguh kita semua berharap,bahwa kepastian hukum, sebagai asas penyelenggaraan pemilu harusnya dikedepankan.
Beberapa bulan yang akan datang, tepatnya 15 Februari 2017; akan berlangsung satu proses demokrasi, yang lazimnya disebut pemilukada. Pemilukada adalah proses suksesi (pergantian) kepemimpinan di daerah (gubernur,bupati), guna meneruskan proses 5 tahun kepemimpinan di daerah.
Pemilukada tidak semata-mata, mencari pemenang guna memimpin daerah, melainkan suatu proses yang seharusnya dilaksanakan guna mencari pemimpin yang terbaik diantara yang baik. Yang terbaik bagi semua kalangan, yang terbaik sebagai pemegang amanah kepemimpinan, guna mendistribusikan keadilan dan kesejahteraan bagi khalayak luas. Rakyat Aceh Tengah secara keseluruhan.
Munculnya beberapa nama bakal calon ditengah – tengah masyarakat,tentunya layak diapresiasi. Baik yang sudah memunculkan diri atau dimunculkan lewat baliho,spanduk dan media lainnya secara terbuka. Atau juga beberapa bakal Calon yang masih “menahan” diri untuk muncul secara terbuka, namun terus melakukan pendekatan – pendekatan kepada rakyat pemilih secara persuasif.
Penulis harus menegaskan bahwa, kali ini dan seterusnya; harus mulai katakan untuk tidak lagi mengkotak – kotak an rakyat pemilih dalam istilah uken dan toa. Secara kasat mata penulis amati hal tersebut sudah sangat jauh berkurang dalam “pergaulan politik” rakyat Aceh Tengah kekinian. Dan itu adalah hal Positif..!. Bahkan penulis menghimbau untuk tidak memilih, Pasangan calon manapun kelak; manakala masih mengusung hal tersebut dalam kegiatan kampanyenya.
Tradisi baru, untuk proses alih kepemimpinan yang akan datang harus dibangun. Tradisi yang menjadikan proses pilkada harus jauh lebih bermartabat. Jauh dari hal – hal yang berbau kampanye hitam dan tindakan -tindakan yang curang dan menghalalkan segala cara.
Pemimpin baru yang akan datang harus menjadi representasi (keterwakilan) rakyat Aceh Tengah secara keseluruhan. Yang nantinya dipercayakan rakyat sebagai pengemban amanah, harus mampu mengayomi dan merangkul yang belum berkesempatan menang. Selanjutnya bersama – sama urun rembuk dan curah fikir membangun Aceh Tengah yang baru.
2017 adalah momentum akselerasi pembangunan Aceh Tengah untuk lebih terarah. Meneruskan yang telah baik, dan memaksimalkan potensi yang ada untuk terus lebih kompetitif.
2017 harus menjadi lompatan besar bersama semua elemen untuk berubah. Komitmen ini harus menjadi kesadaran kolektif, sehingga semua fihak merasa memiliki. Pilkada kedepan sekali lagi bukan ajang menang – menangan, melainkan suatu proses mulia mencari yang terbaik diantara yang baik. Bilapun harus ada “pemenang”, maka pemenang sejatinya adalah rakyat Aceh Tengah secara keseluruhan.
Penulis; Dosen Fisipol UGP.