Bersikap Ilmiah Menghadapi Wabah

oleh: Dr. Marah Halim*

Mengapa Covid-19 saat ini meresahkan semua orang dan semua negara adalah karena ia mengancam aspek paling berharga dari manusia dan kemanusiaan itu sendiri, yaitu hidup dan kehidupan. Covid-19 yang berpotensi besar kematian adalah kehilangan aspek yang paling berharga itu sendiri, yakni kehidupan. Secara maqashid syari’ah, aspek kemaslahatan yang terancam adalah jiwa (nyawa). Ini mengancam eksistensi bukan hanya individu, tetapi juga satu bangsa sekaligus. Di, Brazil, ada kekhwatiran wabah ini akan membunuh suku bangsa asli Brazil (indigenous), bahkan satu negara kecil bisa hilang dengan virus ini.

Tetapi, yang justru lebih meresahkan dalam upaya kita eksis dan survive dari wabah ini adalah sikap dan perilaku orang-orang yang tidak ilmiah, sementara kita hidup dalam satu “rumah”, tentu sikap-sikap seperti ini akan mengancam eksistensi semua orang yang hidup serumah, apalagi jika jumlahnya lebih banyak dan lebih berkuasa. Kejadian di Brazil, presidennya sendiri yang tidak ilmiah telah menyebabkan korban yang banyak akibat tidak adanya sikap politik yang ilmiah. Sikap-sikap tidak ilmiah itu seperti enggan mematuhi arahan pihak-pihak yang berwenang: jaga jarak, jarangkan kontak fisik, pakai masker, cuci tangan yang bersih, hindari aktivitas di ruangan tertutup. Sikap dan perilaku yang tidak ilmiah ini bisa mencelakakan orang lain ((wattaqu fitnah la tushiban alladzina zhalamu minkum khashshah)).

Menghadapi bencana yang ilmiah seperti Covid-19 ini membutuhkan sikap bersama yang mengikuti kaidah-kaidah ilmiah. Ketika pemahaman dan kesadaran itu tidak ada, maka bencana juga menimpa orang-orang yang sesungguhnya ilmiah. Kita telah melihat, kadang emosi lebih dikedepankan dalam membuat keputusan. Semua keputusan terkait dengan wabah ini: pilihan antara sekolah seperti biasa atau sekola daring, kerja di kantor atau daring, shalat jum’at atau tidak mestinya bukan karena emosi, tetapi melalui pertimbangan yang ilmiah. Begitu keputusan yang ilmiah dikeluarkan, maka sebagai masyarakat harus taat, tetapi harus dinamis.

Kita telah melihat contoh ketika tidak satu sikap menghadapi wabah ini, maka negara yang dianggap maju pun menelan korban yang banyak. Inggris, Jerman, Prancis, Spanyol, Italia, adalah diantara negara yang serius menghadapi wabah, tetapi karena masih banyak yang tidak bersikap ilmiah, maka korban menjadi sangat banyak dan sulit dikendalikan.

Tujuan kita semua sama, ingin tetap eksis dan survive dari wabah ini. Sejarah membuktikan, kematian dan kepunahan suatu masyarakat adalah diakibatkan oleh tiga hal utama: perang, wabah (bencana), dan kelaparan (paceklik). Sejak tahun 541 s/d 2010 berbagai wabah pandemic telah mendera dunia dan merenggut jutaan jiwa manusia. Ada Justinian Plaque (541 M), The Black Death (1347), Kolera (1852), Flu Spanyol (1918), Flu Hongkong (1968) AIDS/HIV (1980), SARS (2002), Flu Babi (2009), Ebola (2013). Ini artinya bahwa moyang kita, kakek-nenek, orangtua kita, bahkan kita adalah orang-orang yang survive dari macam-macam wabah itu. Tapi belum tentu dengan wabah yang sekarang ini.

Apa yang membedakan semua wabah itu dengan Covid-19 saat ini dengan pandemi-pandemi sebelumnya adalah adanya isu konspirasi (makar), pemanfaatan atau pengendalian virus oleh pihak-pihak tertentu yang disinyalir ingin eksis dan membentuk tatanan dunia baru (new order). Isu konspirasi ini dikaitkan pula dengan perang dagang yang sesungguhnya perang ilmu pengetahuan antara dua kekuatan ekonomi global, Amerika dan China.

Bagaimana agar kesadaran bersama akan bahaya virus ini tumbuh dan kita bisa bersama-sama survive? Pertama, menyetel mindset bawah sadar kita tentang taqdir, bahwa ketetapan Allah harus dipahami sebagai sesuatu yang bisa diukur dan terjangkau oleh akal manusia, karena itu taqdir itu adalah apa yang bisa dikaji dengan ilmu, karena itu temuan ilmu harus terus-menerus dilakukan karena dengan semakin dekat capaian ilmu dengan kebenaran maka semakin dekat dengan sumber kebenaran itu sendiri, yakni Allah. Taqdir artinya mengukur atau memperkirakan, semua disiplin ilmu dibangun untuk itu, virologi adalah ilmu yang mempelajari perilaku virus untuk bisa melumpuhkannya.

Karena itu, sikap yang harus dibangun adalah apakah ini sungguhan atau settingan, tetapi yang jelas bahwa virus mengancam eksistensi manusia, baik secara individu, masyarakat, komunitas, bahkan sebuah negara. Satu yang jelas bahwa keberadaan virus ini nyata, dan setiap yang nyata pasti bisa dijelaskan secara ilmiah. melawannya atau untuk selamat darinya, baik secara aktif atau pasif, juga harus dengan pendekatan ilmiah. Sama halnya seperti perang nyata, bagi yang memiliki kekuatan dan kemampuan dapat terjun langsung melawan penyakit di garis depan, seperti tenaga-tenaga kesejatan, ahli pandemi, ahli virus, dan sebagainya. Sedang yang melawan secara pasif adalah orang-orang yang tidak memiliki ilmu dan pengetahuan terkait langsung dengan eksistensi virus dan penyebab penyakit itu.

Bersikap ilmiah artinya mengikuti kaidah-kaidah ilmiah dalam menghadapi sesuatu, apalagi menghadapi wabah seperti ini. Bagi orang-orang yang tidak bisa melawan virus ini dengan perlawanan aktif, maka kita harus mendengar dan mematuhi arahan pemerintah. Terbukti, negara-negara dengan jumlah korban yang sedikit adalah negara yang otoriter seperti China dan Korea, tetapi juga negara demokratis dengan kesadaran yang tinggi seperti Selandia Baru, Jepang.
Sebagai muslim kita haruslah bersikap dan berperilaku ilmiah. Kitab suci yang kita pegang sangatlah menganjurkan kita untuk itu. Ayat pertama turun memerintahkan kita untuk mencari ilmu (iqra’). Jika kita tidak tau maka kita harus tanya ahlinya ((fas’aluu ahladzdzikri in kuntum la ta’lamun)).

Kita tidak mungkin melarang, tapi harus dilawan. Tetapi bagaimana melawan yang benar? Mereka bisa berkonspirasi jahat merusak eksistensi manusia yang lain dan berperan dominan karena mereka menguasai ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan ibarat pedang tajam, yang jika dipegang oleh manusia yang berjiwa kafir (perusak, penghancur peradaban) akan mendatangkan kesengsaraan bagi manusia yang lain, karena itu ilmu pengetahuan harus dikuasai oleh manusia-manusia yang berjiwa Islam (menyelamatkan). Jiwa yang menyelamatkan itu salah satunya dibentuk oleh agama, Islam adalah agama yang membentuk perilaku manusia yang berjiwa menyelamatkan; kita tidak menampik ada agama atau ideologi lain yang juga mengajarkan untuk menjadi penyelamat.

Al-Qur’an telah memberi peringatan bahwa untuk bisa menjadi pemeran dominan dalam kekhilafahan di bumi, syaratnya adalah menguasai ilmu pengetahuan. “Wa idz qala Rabbuka lil mala’ikati inni ja’ilun fil ardhi khalifah…..wa ‘allama Adama al-asmaa’a kullaha tsumma ‘aradhahum ‘alal malaikati. Jadi, bisa juga dikatakan kita tidak mungkin jadi khalifah “pemegang peran” di bumi tanpa ilmu pengetahuan. Dan itu kenyataan saat ini, dalam ilmu pengetahuan kita hanya menjadi pemain di kasta terendah, bukan divisi utama. Di ajang Covid-19 ini saja, sesungguhnya adalah perang ilmu, perang menyetel kebenaran; tapi apakah kita dunia Islam berperan dalam “menyetir” kebenaran itu? Beberapa hari lalu 239 ahli dari 32 negara mendesak WHO untuk mengakui bahwa virus Corona menyebar lewat udara, berdasarkan penelitian mereka; pertanyaannya adakah Indonesia, Aceh dari 32 negara dan 239 ilmuwan itu?

Islam itu artinya menyelamatkan atau membawa keselamatan, tapi bukan sekedar jargon seperti dalam agama-agama tertentu; menyelamatkan harus dengan ilmu; semua ilmu yang ditekuni di perguruan tinggi bertujuan menyematkan eksistensi manusia, dalam arti jika ilmu pengetahuan itu dikendalikan oleh manusia-manusia yang mengakui Tuhan, bukan manusia yang tak mengakui Tuhan bahkan menuhankan diri. Lawan Islam adalah kafir, artinya kaum perusak, bukan non-muslim dalam arti pemelukan agama. Berlarut-larutnya masalah Covid-19 ini, jika memang ada makar, maka ilmu dan kebenaran itu didominasi oleh manusia yang menuhankan dirinya. Makar seperti itu harus dilawan, bukan dengan senjata, tapi perang ilmu, pertanyaannya siapkah kita? Lawan virus adalah antivirus, sudahkah kita bisa menciptakannya sebelum si virus meminta korban yang lebih banyak? Jika virus ini memang direkayasa, maka kontra rekayasanya harus segera dilakukan. Ini masalah semangat jihad dan persatuan. “Wa makaru wa makarallah, wallahu khayrul makirin”. Melawan konspirasi harus dengan ilmu dan politik (persatuan). Kita tidak boleh hanya berharap mereka tidak melakukan makar (konspirasi) dengan ilmunya, tetapi sebagai muslim kita harus siap untuk menangkal makar, jika mereka makar dengan ilmu, maka lawan dengan ilmu juga, tidak bisa dengan emosi atau rasisme.

Tanggung jawab sebagai penyelamat itu ada pada kita umat Islam. Barangkali ini juga merupakan ujian keberislaman kita. Selama ini kita bangga dengan jumlah muslim terbesar, tetapi manakala dihadapkan pada persoalan yang membutuhkan kita tampil sebagai khalifah dalam mengatasi persoalan, justru kita tidak sanggup. Kita sangat bergantung dalam segala hal, khususnya tentang kesehatan dengan Negara-negara yang justru kita curigai sebagai pembuat kekacauan ini.

Sebagai Islam dalam arti bukan sebagai simbol agama, tetapi perilaku; menguasai ilmu pengetahuan merupakan suatu keniscayaan. Tanpa ilmu tidak mungkin persoalan yang terkait dengan kemaslahatan manusia bisa diselesaikan. Karena itu, peradaban Islam harus bangkit untuk menguasai ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan yang terkait dengan kemaslahatan manusia: agama (social), nyawa (kesehatan), akal (pendidikan), harta (ekonomi dan keuangan), keturunan (biologi), lingkungan ; seharusnya dikendalikan oleh peradaban yang menggunakannya untuk keselamatan bersama, bukan oleh peradaban yang mengekploitasi ilmu pengetahuan untuk mendatangkan keuntungan bagi dirinya.
Kesimpulannya, seberapa sikap ilmiah dari suatu masyarakat, apakah pasif atau aktif, itulah yang akan membuatnya eksis dan survive menghadapi wabah Covid-19 ini. Sikap-sikap yang tidak ilmiah dan mengedepankan emosi dan ego hanya akan mendatangkan kemudharatan bersama bagi warga serumah yang bernama Aceh ini. Karena itu, untuk penyadaran marilah kita lawan ini dengan ilmu dan politik yang kuat agar eksistensi (hidup) kita bisa bertahan. Konsep taqdir kita harus diubah dengan taqdir yang artinya semua bisa dipelajari, semua bisa dihitung, bisa diprediksi, tapi dengan ilmu, bukan akidah yang jabariyah, pasrah.

*Penulis adalah Widyaiswara BPSDM Aceh, urang Gayo di Banda Aceh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.